2. Tak Tahu Tempat Beradu

440 13 3
                                    

Alena cukup sadar apa yang telah diperbuatnya. Membantu Delvin menjaga Dio, secara tidak langsung Dio mempertemukannya dengan Delvin. Mengembalikan rasa sukanya pada Delvin. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk melupakan Delvin. Hanya saja lelaki itu sungguh berhasil membuat Alena kembali memiliki rasa yang sama ketika bertemu kembali. Sungguh otaknya menolak menerima kenyataan bahwa hatinya masih ingin menyukai Delvin. Laki-laki yang entah mengapa bisa membuatnya jatuh terlalu dalam. Bahkan Alena tahu, tidak hanya dirinya yang menyukai Delvin. Teman satu kelas Delvin yang cukup dikenal Alena juga menyukainya. Bagaimana bisa lelaki itu disukai banyak orang? Bahkan jika dia memilih salah satu diantara mereka pasti tetap masih ada yang menyukainya. Sayangnya hanya Alena dan sahabat Alena-yang diberi tahunya- bahwa Delvin menyukai sahabatnya sendiri semasa smp.

"Sumpah aku tidak ingin bertemu denganmu lagi Delvin." Alena masih menggerutu di dalam hatinya. Tanpa sadar langkah kakinya sangat cepat dan wajahnya menatap lurus ke depan. Bahkan teman laki-laki di kelasnya yang berpapasan dengan Alena dibuat bingung. Alena memang judes, tapi perempuan itu jika bertemu dengan segerombolan laki-laki pasti menunduk. Tidak seperti sekarang yang menatap lurus dan kaku.

"Dia kenapa?" tanya Rio-laki-laki yang sering menjahili Alena.

"Nahh. Malah tanya gue. Mana gue tahu. Udah yok ke kantin aja." Fero tidak memperdulikan Alena yang aneh, dia malah memilih menarik Rio ke arah kantin seperti tujuan awal mereka.

Sementara Alena kini memilih masuk ke dalam kelas. Menyibukkan dirinya membaca buku. Raut wajahnya sangat kentara kalau dia sedang kesal. Hal itu tak luput dari pandangan ke lima temannya. Kanila, Feya, Ara, Melodi, dan Shea hanya saling tatap. Kanila menyuruh mereka mendiamkan Alena lewat tatapan gelengan kepalanya, saat Alena seperti itu mereka memang hanya bisa diam. Lagipula Alena memang lebih memilih diam jika ada masalah. Dia tidak mau memarahi setiap orang agar melepaskan rasa amarahnya.

Alena mendongak ketika tangannya di pegang oleh Rio. Dia menarik Alena dan membawanya keluar kelas. Mereka berjalan cukup jauh sampai ke depan gerbang. Satpam yang menjaga terlihat biasa saja melihat mereka berdua berada di sana. Hal itu langsung dimanfaatkan Rio untuk membawa Alena keluar gerbang. Berbelok ke arah kiri lalu lurus sekitar seratus meter. Dia membawa Alena ke gedung tempat ayahnya bekerja. Sebenarnya ada larangan, hanya saja ayah Rio sedikit memiliki kuasa di sana meskipun tidak sebagai pemilik, maupun direktur.

Di sekolah mereka tidak ada atap gedung yang terbuka, maka dari itu Rio memilih kantor tempat ayahnya bekerja. Dia selalu datang ke sana setiap ada masalah yang membuatnya galau.

"Sekarang lo bisa bebas berekspresi di sini Len. Gue tahu lo lagi galau. Teriak kek, nangis kek, atau apalah agar lo bisa meluapkan apa yang lo rasa." Rio kali ini tidak diam, dia mendorong Alena mengeluarkan semua kekalutan dipikirannya. Dengan dorongan kata-katanya tentu saja.

"Gue benciiii samaaaa Riioooooo." Alena akhirnya berteriak dengan kencang. Sedangkan Rio kini tersenyum masam dibuatnya. Dia tidak menyangka justru namanya yang disebut sebagai kekesalan perempuan itu.

Rio mengetuk kepala Alena sedikit kencang. Dia ingin membuat Alena sadar bahwa bukan dirinya yang seharusnya disebut. Melainkan kekesalan perempuan itu. Padahal dia berniat baik pada Alena. Jarang-jarang dia perduli dengan orang disekitarnya. Apalagi Alena adalah orang yang sering dijahili Rio demi menghilangkan rasa sepinya di kelas.

Alena menatap Rio dengan tajam. Dia kira kepala Alena adalah batok kepala, seenaknya saja Rio mengetuknya seperti mengetuk pintu rumah. "Sakit tahu." Alena menggeram marah. Dia memegang lengan Rio dan melepaskan tangan itu di udara.

"Salah lo sendiri. Gue berusaha bantu nyenengin lo. Eh lo malah bikin gue kesel. Bener-bener nggak tahu diri." Ada nada kesal yang tertangkap ditelinga Alena. Dia tahu niat Rio baik, hanya saja dia tidak tahu harus meneriakkan apa lagi.

"Terimakasih Yo. Gue tahu lo berusaha baik. Tapi gue emang nggak tahu harus teriak apa. Makanya gue sebut aja tadi."

"Heeem serah lo deh." Rio berjalan ke tempat duduk yang ada di sana. Matahari sangat terik untuk berdiri di bawahnya.

Alena mengikuti Rio duduk di kursi satunya. Kini Rio menyerahkan satu botol susu kotak rasa vanila ke depan Alena dan ada tiga coklat juga. Rio tadi memang sempat ke minimarket untuk membelinya. "Lo suka susu vanilakan? Biasanya gue lihat lo beli itu soalnya."

"Heeem. Makasih kalau gitu. Sebenernya jangan kasih gue makanan kalau gue sedih, ntar kebiasaan malah bikin gue nagih terus, pas sedih makan terus gue jadi gemuk nanti." Alena mengatakan yang sebenarnya dari apa yang pernah dia baca dari akun instagram seorang psikolog.

"Hehhh. Lo itu kurus kering gini malah mikir kalau gemuk. Terus gue dibilang apa? Gajah?" tanya Rio sedikit sewot.

Rio semasa smp memang gemuk, Alena pernah melihatnya dari buku tahunan siswa yang dibawa temannya. Tapi sudah berbeda dari Rio yang sekarang. Lebih kurus sedikit, bahkan dia pernah mendengar Rio berbicara di kelas dengan yang lain kalau dia sedang diet. Rio memang agak gemuk, tapi tidak segemuk seperti bola. Dia tinggi, seperti laki-laki di kelas lainnya. Tapi tubuhnya terlihat lebih besar.

"Nggak lah. Kalau gue temenan pas smp sama lo. Maka gue bakal bilang itu. Tapi lo nggak segemuk dulu. Diet lo berhasil. Kempesin tuh perut, biar kalau naik motor CBR sama Fania, lo lebih agak keren dikit."

"Ekhhhh. Berani sekarang lo sama gue."

"Tentu, lo nggak nyadar emang kalau gue berani banget sama lo?"

Rio tercengang, Alena memang perempuan yang berbeda. Perempuan itu langsung mengucapkan apa yang ada dipikirannya tanpa menutupinya sedikitpun. Sangat berbeda dengan kebanyakan perempuan yang pernah dikenalnya.

"Nyadar, bahkan aneh kalau gue nggak nyadar. Lo kan cewek paling absurd di kelas. Kayak gini nih. Beda wajah beda hati."

"Ohhh gue spesial dong kalau gitu?" tanya Alena dengan wajah yang sedikit manis.

"Iyain aja biar seneng." Alena merasa dunianya lebih baik dari yang tadi. Meskipun dengan sangat terpaksa Rio mengucapkannya tapi dia sudah cukup mendapatkan obat untuk kekesalannya tadi.

Sejenak dia bisa melupakan Delvin. Tidak masalah jika hanya sebentar. Setidaknya dia bisa menormalkan detak jantungnya.

—--Bersambung--—

Between Us √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang