3. Disudut Ruang Hati

313 11 1
                                    

Mentari pagi sudah menampakkan wajahnya. Seorang gadis terlihat duduk di kamarnya dengan selimut yang masih menempel. Hawa dingin di pagi hari memang terkadang membuatnya malas untuk bergerak. Tadi pagi setelah sholat subuh dia kembali menidurkan tubuhnya. Rasa lelah tentu masih melekat dipunggung yang terasa pegal. Begitulah anak sekolah, yang pergi kurang dari pukul enam pagi dan pulang pada pukul setengah empat sore.

"Alenaaaa!!" teriakan bundanya sudah nyaring sekali dipendengarannya. Gadis itu menggaruk rambutnya, lalu menyingkap selimut yang membuatnya nyaman. Dia berjalan keluar kamar. Langkahnya terhenti di dapur.

"Masak apa bun?" tanya Alena sambil mencium wangi masakan bundanya.

"Masak enak pokoknya. Udah sana mandi."

Bukanya mandi, Alena justru membuka kulkas dan menuangkan susu ke gelas yang diambilnya dari rak. Kebiasannya saat pagi agar gemuk, padahal kenyataannya Alena sampai sekarang masih kurus. Dia kemudian duduk di meja makan. Adiknya-Elvara menghampirinya. Elvara sudah memakai seragam sekolah smp-nya, perempuan itu baru membuat simpul dasi di lehernya. Sangat berbeda bukan dengan Alena yang masih baru bangun tidur.

"Kak mandi buruan gih!" Suruh Elvara pada Alena, sedangkan sang kakak hanya diam sambil meminum susunya.

"Lenn. Ayoo mandi sana!" Bundanya datang membawa lauk pauk dan juga nasi secara bergantian. Lalu mengambil piring, kemudian gelas.

"Nahh, sana kak mandiii." Elvara telah selesai membuat dasi. Perempuan itu kini mengambil makanan.

"Heeem."

"Kak, sana deh!" Alena masih bergeming, dia berniat ingin langsung sarapan tapi dicegah bundanya.

"Mandi dulu sana." Tak ada pilihan lain, daripada dirinya makin kelaparan. Alena lalu bangkit berdiri. Dia menatap Elvara yang kini menjulurkan lidahnya.

"Daripada lo. Dandan dari jam lima pagi sampe kakak berangkat masih ngadepin cermin." Giliran Alena yang mencemooh Elvara.

"Daripada kakak nggak mau mandi," balas Elvara kemudian. Jelas hal itu membuat Alena gemas. Ditariknya rambut adiknya yag sudah rapi. Setelahnya dia berlari ke dalam kamar mandi menghindari amukan Elvara dan bundanya.

"Kakkkk Lenaaaaaaa!!" benar saja, perempuan itu langsung berteriak mengisi kesunyian ruang makan.

Alena hanya membutuhkan waktu lima belas menit untuk mandi sampai berdandan. Dia mencangklong tasnya menuju ruang makan. Di sana ada ayah, bunda, juga Elvara sudah mengisi meja makan. Bunda dan ayahnya berbicara satu sama lain, hanya Elvara yang kelihatannya masih kesal karena ulahnya.

"Pagi yah, bun." Alena menarik kursinya. "Pagiii Varaaa." Sapa Alena dengan nada menggoda.

"Len, adikmu kali ini bareng sama kamu ya. Sepedanya rusak, nanti mau dibawa ke bengkel." Alena menoleh, dia tidak suka mengantar Elvara sampai ke sekolahnya. "Kaliankan sekolahannya se arah, nggak papa ya."

"Tapi ma, Lena harus masuk dulu ke dalem gang. Nggak mau ah." Tolak Alena dengan ketus. Kini dia mengambil nasi, ikan goreng, sayur, dan sambal.

"Cuma ke gang sedikit kok."

Alena memutar bola matanya malas. Dia sering dipaksa, karena Alena memang tipikal orang yang keras kepala. Tidak mempan jika hanya satu kalimat atau dua kalimat. "Iya bun, iya."

Setelah selesai dengan sarapan pagi. Bunda Alena memberinya bekal, seperti biasa sebelum berangkat sekolah. Alena memasukkannya ke dalam tas.

"Assalamualaikum bun." Alena mencium tangan bundanya, bergantian dengan tangan ayahnya. Elvara juga turut mengikuti kegiatan Alena. Setelahnya mereka berjalan ke motor yang sudah disiapkan ayahnya di halaman depan rumah.

Motor Alena kini melaju dengan kencang, dia hampir terlambat mengikuti tambahan kelas pagi. Elvara memang tidak berbicara kali ini, tapi dia tahu adiknya itu sedang ketakutan akibat kelakuannya.

Hanya butuh waktu lima menit Alena sudah sampai di sekolah Elvara. Dia mengecek jam dipergelangan tangannya. Pukul 06.00, sepuluh menit lagi kelas tambahannya akan dimulai. Alena buru-buru menjalankan motornya dengan kecepatan sedang, dia tidak mungkin melaju melebihi delapan puluh kilometer per jam. Itu terlalu cepat baginya.

Alena sampai diparkiran sekolah tepat pukul 6.05 menit. Setelah menjejakkan kakinya di tanah, kini perempuan itu bersiap untuk berlari. Namun, ada yang memanggil namanya. Alena hanya menoleh, melihat siapa yang memanggilnya.

"Alena!" panggilan yang singkat. Alena cukup hafal dengan suara itu, meski hanya sebentar saja dia mengenalnya. Laki-laki itu berjalan ke arahnya. Tidak, jantung Alena berdetak biasa, dia sudah terlalu kecewa dengan lelaki ini. "Emmm, boleh gue minta nomor ponsel lo?"

Kening Alena mengerut, dia membenci lelaki di depannya ini. Setelah menghilangkan diri, dia dengan seenaknya muncul dan meminta nomornya. Alena tidak akan lupa akan hal yang pernah dilakakan Delvin.

Alena menghembuskan napasnya dengan kasar. Delvin masih saja menyebalkan dimatanya. "Lo lupa? Lo ganti hape, ganti nomor telponkan karena lo mau ngehindarin gue. Sekarang kenapa lo jadi kayak gini? Lo itu terlalu membingungkan. Mungkin lo pikir gue akan tetap ngejar lo. Tapi gue bukan cewek bodoh." Alena membuang wajahnya ke kiri. Jika laki-laki ini tidak berniat berbicara lagi, dia akan berjalan ke kelasnya.

"Gue minta nomor lo bukan karena gue yang mau. Tapi Dio yang nyuruh."

Jlebb! Alena merasa dunianya semakin hancur. Hati yang sudah lama dia pulihkan, kini kembali diremas dengan kuat oleh Delvin. Memang, berada di dekat Delvin tidak membuatnya bahagia melainkan membuatnya semakin tersiksa. Entah apa yang harus dia katakan, hatinya terlalu sakit mendengar pengakuan Delvin. Wajahnya bertatapan dengan Delvin, tapi raut wajahnya tanpa ekspresi. Dunianya seolah direngut paksa tanpa meninggalkan sisa. Benar memang, mencintai seseorang sama dengan menyakiti hati sendiri.

"Gue emang terlalu berharap." Alena berkata lirih, tapi cukup di dengar oleh Delvin. Mata Alena tanpa sadar berkedip, air matanya mengalir dari kedua kelopak matanya. Dia berbalik, berlari menuju kelasnya.

Sebelumnya, Alena sadar jika disudut ruang hatinya masih berharap Delvin menyukainya. Masih menyimpan sedikit cinta untuk Delvin. Tapi dia tahu, Delvin tetaplah Delvin yang hanya akan menyukai satu orang dan satu nama, Nabila Kusuma. Seharusnya Alena mendesak perasaan sukanya untuk hilang, namun hatinya terlalu bodoh ketika masih berharap. Kini dia tahu, dia harus benar-benar menghilangkan perasaannya.

—--Bersambung--—

Between Us √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang