14. Tomat Cherry

216 4 0
                                    

Sudah lama sekali Alena melupakan tomat cherry. Kini dia kembali mengingatnya setelah menonton drama korea beberapa hari yang lalu dan kini dia menyukai itu kembali. Dia menyukai buah atau bisa disebut sayuran itu karena bentuknya yang kecil dan berwarna merah.

Alena kembali mengingat kegilaannya dulu ketika masih menyukai Delvin. Delvin itu seperti tomat cherry baginya, yang belum pernah dia makan tapi sudah berhasil membuatnya ingin memeliharanya. Seperti itulah Delvin baginya jika dianalogikan dengan tomat cherry.

Delvin dan Alena tidak pernah berteman. Justru mereka seperti dua orang yang sangat dingin dan sangat hangat secara bersamaan. Tidak ada yang bisa menebak perilaku masing-masing.

"Kak Len pilih bunga yang mana?" Elvara menyadarkannya pada lamunanya menatap tumbuhan seperti tomat cherry di depannya. Kecil-kecil dengan buah warna merah di beberapa tangkainya. Beberapa hari lalu Elvara mengajaknya membeli bunga. Di sinilah hari sabtu mereka, di salah satu tempat penjual tanaman berada. Setelah menjemput Elvara disekolahnya, Alena langsung mengajak Elvara ke tempat itu.

"Ini aja." Sang pemilik toko yang berdiri di samping mereka memajukan tubuhnya.

"Yang ini mbak?" tanya pria itu dengan sopan seperti kebanyakan pedagang umumnya.

"Ini tomat cherry pak?" tanya Alena memastikan asumsinya.

"Maaf mbak ini tomat hias. Tomat cherry yang seperti apa ya?" tanya penjual itu bingung. Mungkin terdengar asing, masalahnya tomat cherry tidak seterkenal tomat dipasaran indonesia.

"Itu lhooo pak tomat yang bisa dimakan. Tapi buahnya kecil juga."

"Ohhh. Kalau itu nggak ada mbak. Ini namanya tomat hias. Tapi ini jadi diambil?"

Alena sedikit kecewa mendengarnya. Dia mencari tomat cherry, bukan tomat hias. Tapi dia pikir tumbuhan sejenis tomat di depannya ini nantinya masih bisa dimakan, mungkin. Alena akan mencobanya nanti dirumah. Namun perkataan penjual selanjutnya semakin membuat dia kecewa.

"Ini nggak bisa dimakan lhoo mbak." Alena merasa cengo mendengarnya. Tapi dia tidak enak untuk membatalkan transaksinya. Jika dilihat-lihat tumbuhan itu juga cukup bagus.

"Yaudah pak, saya tetep ambil. Lagian bagus kok."

***

Waktu tes akhir semerter tiba. Alena disibukkan dengan belajar materi yang akan diujikan. Kali ini dia ingin nilainya naik. Dia ingin memperlihatkan bahwa dia bisa mendapat nilai yang lebih baik dari semester kemarin.

Hanya saja Alena mudah sekali bosan dalam belajar. Dia cenderung lebih suka berimajinasi. Dari mulai berimajinasi menjadi seorang desainer sampai menjadi salah satu pemilik perusahaan terkenal di dunia. Terkadang waktu satu jam yang dia jadwalkan untuk belajar terbuang tiga puluh menit hanya untuk menuntaskan imajinasinya.

Terkadang dia merasa sebal dengan pendidikan di Indonesia. Yang menekankan semua siswa belajar semua hal. Padahal di negara lain tidak seperti itu. Sangat berbeda sekali. Mereka mendidik anak-anak sesuai bidang yang mereka sukai, sedangkan di Indonesia di didik untuk menguasai semua bidang tanpa mereka menyukainya. Well, bagi Alena itu tidak efektif.

Alena kembali menekuni buku sejarah indonesianya. Dia anak ipa, namun dipaksa untuk belajar sejarah juga. Alena pandai dalam hafalan hanya saja dia sudah lebih fokus pada hitungannya. Baru beberapa menit membaca dia sudah mengantuk. Dia menutup bukunya hendak tidur. Namun dia berhenti pada sesuatu yang menarik perhatiannya. Pohon tomat cherry kecilnya yang dia letakkan dijendela kamar.

Secangkir air putih dia tuangkan beberapa mili ke tanamannya. Dia mengambil satu buah tomat yang ada di sana. Memotongnya lalu meletakkan ke tanah polibeg yang lain. Yang sudah dia buat kemarin. Tujuannya untuk memperbanyak tanaman itu.

"Kak Len!" suara Elvara bersamaan dengan kepalanya menyembul di pintu kamar membuat Alena menoleh. "Disuruh makan siang dulu sama bunda."

Alena beranjak dari tempatnya. Tidak seperti biasanya dia pulang sore. Dengan adanya tes, dia bisa pulang lebih siang dan sang bunda pasti sudah menyiapkan makanannya.

Alena mendudukkan tubuhnya di depan bundanya yang mengambilkan nasi untuknya. Dia sangat menyukai kehangatan keluarga yang seperti ini. Jika dihitung seberapa bahagiannya dia, maka dia akan menjawab bahwa kebahagiaan bersama orang tua itu tidak akan pernah bisa dihitung. Lagipula bukan materi yang menjadi kunci kebahagiaan semata. Namun rasa sayang yang cukup diaplikasikan setiap harinya. Dan Alena besyukur mendapatkan kebahagiaan itu.

"Besok tes kamu apa Len?" tanya bundanya sambil memberinya satu piring nasi. Kemudian berganti mengambilkan nasi untuk Elvara. Adiknya itu kini memakan beberapa lauk yang seharusnya dimakan bersamaan dengan nasi.

"Ohhh. Matematika wajib sama sejarah wajib, bun." Alena menyendokkan nasi ke mulutnya.

"Kamu mau masuk jurusan apa?" tanya bundanya lagi dengan pertanyaan yang sama seperti hari kemarin.  Seperti inilah kepedulian orang tua yang dirasakan Alena. Meski jarang sekali ada kata sayang diantara mereka, namun keduanya tahu masing-masing rasa sayang itu.

"Psikolog bun." Dan Alena akan menjawab dengan jurusan yang sama.

"Ohh. Masih pengen yang itu? Ngurusin orang stress gitu-kan?" Parah sekali bukan presepsi orang awam tentang psikolog.

"Bunnn. Bukan orang stress tapi orang yang punya masalah. Orang stress mah yang dirumah sakit jiwa. Itu pekerjaan psikiater. Sukanya kok nyamain." Alena kembali memasukkan satu sendok nasi ke dalam mulutnya. Masakan bundanya memang benar-benar enak.

"Belajar yang rajin Len. Bunda sama ayah bakal ngusahain dananya. Kamu mau ngambil di mana?"

"UNS aja bun. Yang deket juga dari sini," balas Alena. Sebenarnya dia ingin ke Unpad, hanya saja dia tidak ingin membebani kedua orang tuanya.

"Bunda harap kamu bisa diterima. Oh ya. Bunda nggak mau kamu pacaran dulu." Celetukan bundanya itu membuat Alena berhenti memasukkan nasi ke dalam mulutnya. Memangnya sejak kapan Alena pacaran? Suka sama orang aja cukup menyakitkan.

"Ehhh. Nggak kok bun." Alena menjawabnya tanpa ragu sedikitpun.

"Bunda tahu meski kamu nggak bilang sama bunda. Kamu suka sama seseorangkan? Kata ayah, ayah pernah liat kamu ngeprint foto laki-laki di printer ayah."

Glek

Alena menelan kunyahanya dengan susah. Rasanya serapi apapun dia menyembunyikan semuanya terasa tidak ada gunanya. Orang tuanya tetap tahu. Nasib memang, apalagi yang perlu dielakkan. Alena hanya mengangguk kaku di tempatnya. Memang hanya orang tua yang tahu baik buruk anaknya sendiri.

"Bunda harap, kamu berhenti. Kalau kamu masih ingin menggapai cita-cita kamu." Lagi-lagi Alena mengangguk kaku di tempatnya. Sedangkan yang menjadi pendengar, tertawa tanpa suara ditempatnya. "Kamu juga Elvara. Bunda nggak mau lihat kamu mainan hape mulu. Atau mau bunda sita?"

"Jangan bun. Elvara janji bakal ngatur pake hapenya."

"Baguss. Bunda hanya nggak pengen kalian dewasa sebelum waktunya."

Mereka berdua mengangguk di tempat masing-masing. Setelah ini Alena janji dia akan lebih fokus pada sekolahnya. Bukan orang lain. Karena dia tahu, seberapa bagusnya orang itu dimatanya tidak akan ada gunanya jika bukan untuk bersama nantinya. Alena tahu dia hanya terjebak dalam cinta semu yang saat ini terjadi pada masa putih abu-abunya.


—--Bersambung--—

Between Us √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang