23. Klarifikasi

181 3 0
                                    

Jika saja Alena tidak peduli kesopanan, mungkin dia sudah pergi dari pesta ini bahkan sebelum acara selesai. Sayangnya dia sudah dilatih untuk tidak melakukan hal seperti itu. Keluarganya selalu menjunjung tinggi kesopanan. Apalagi sebagai orang jawa, tentu kesopanan sudah melekat sejak dia belum ada.

Rasanya takdir ingin mempermainkanya kali ini. Benar memang jika dia duduk di meja dia tidak akan berdekatan dengan Delvin dan Nabila. Lain halnya jika kedua orang itu justru yang malah mendekat ke arahnya. Beberapa menit yang lalu Nabila meminta izin duduk di meja tempat dia mengamati pesta.

"Heiii, aku boleh duduk di sini? Karena semua meja sudah penuh." Suara lembut dari perempuan berpakaian gaun pesta berwarna hijau tosca di depannya seolah-olah menyihirnya. Ya, siapa yang tidak akan terpesona dengan suara lembut bagaikan melodi dawai yang dipadu dengan kecantikan wajah khas orang asia di depannya saat ini. Bahkan mungkin tidak akan ada yang bisa menolaknya.

Alena melihat sekeliling. Tidak ada lagi meja kosong yang tersisa. "Duduk saja," kata Alena mempersilakan tanpa tahu apa yang akan terjadi menit berikutnya.

Hanya hening yang menyelimuti keduanya. Nabila dan Alena terdiam dengan masing-masing kue yang ada di depan mereka. Sesekali mereka menyendoknya ke dalam mulut. Suasana berubah ketika Delvin ikut duduk di meja itu. Awalnya Delvin tidak tahu jika Alena ada di sana sebelum Nabila yang membuka suara terlebih dahulu.

"Heiii. Kita belum kenalan, nama kamu siapa?" tanya Nabila yang membuat Alena menghentikan suapannya.

"Alena," balas Alena singkat. Dia kembali memasukkan kuenya ke dalam mulut. Sejujurnya dia hanya mengalihkan kegugupannya akan pandangan Delvin yang menatap ke arahnya ketika dia memperkenalkan diri.

"Aku Nabila Kusuma. Panggil saja Nabila."

Gue udah tahu kali.

Ingin rasanya Alena meneriakkan kalimat itu. Hanya saja dia justru memilih diam. Diam bersama dadanya yang sesak melihat dua orang yang selalu menghantuinya ada di depannya.

Alena ingin menjerit jika saja dia tidak tahu tempat. Pasalnya, kedua orang di depannya kini seolah-olah menganggapnya tidak ada. Lebih buruk lagi, Delvin dengan santainya mengelap bekas sisa krim yang ada di bibir Nabila dengan tisu. Apa Delvin lupa jika ada dirinya yang menyukai laki-laki itu? Atau memang Delvin sengaja? Atau lebih buruknya lagi dia hanya mencoba mempermainkan perasaannya?

Alena mengalihkan pandangannya. Jika mata yang membuatnya bisa melihat betapa serasinya mereka, maka matanya juga yang harus dihindarkan. Keramaian yang ada di pesta itu sudah hampir menghilang. Malam semakin larut, dia juga ingin segera pulang.

Alena beranjak berdiri, dia bingung harus pamit dengan kedua orang di depannya atau tidak. Dia hanya tidak ingin menggangu acara kebersamaan mereka. Maka, Alena memilih opsi yang kedua. Dia pergi tanpa pamit. Lagipula tidak ada yang menghentikannya. Dia berjalan ke arah Valeya.

"Kak, saya pulang dulu ya."

"Lohhh. Sendirian?" tanya Valeya khawatir.

"Nggak kak, saya mau pesen grab."

"Jangan ngegrab malam-malam. Kamu perempuan lohhh. Biar kakak suruh Delvin buat nganterin."

"Nggak-" Belum sempat Alena menyuarakan pendapatnya. Valeya lebih dulu melenggang pergi ke arah Delvin berada. Entah apa yang mereka omongkan disana. Alena tidak peduli.

"Len, kamu tunggu di depan ya. Delvin mau nganter kamu."

"Iyaa kak." Tidak ada yang bisa dia lakukan selain mengiyakan kata-kata Valeya. Sebenarnya memang dia merasa ngeri jika harus naik grab malam-malam begini. Apalagi memang dia perempuan. Pasti mungkin bisa terjadi apa-apa. Siapa yang tahu memang.

Seperti yang dibilang Valeya. Alena menunggu di depan rumah. Kakinya menggesek-gesek sepatu dilantai. Kadang memang jika tidak ada kerjaan, Alena melakukan hal itu. Membunuh kebosanan katanya.

"Hai, kamu nunggu jemputan ya?" tanya Nabila. Alena meliriknya sekilas. Pandangannya lebih tertarik menatap jalanan kompleks daripada wajah yang mengajaknya berbicara.

"Iyaaa."

Delvin berhenti di depan kedua orang itu. Delvin menatap Alena seolah menyuruh perempuan itu naik. Tatapannya kemudian beralih pada Nabila. Dia tersenyum dengan hangat.

Sesuai arahan Delvin, Alena duduk di jok belakang motor Delvin. Laki-laki itu masih tersenyum memperhatikan Nabila seolah berpamitan sebelum mengegas motornya. Tangannya mulai memutar gas motor. Namun suara Nabila menghentikan kegiatannya.

"Vin! Sebenarnya tidak ada yang menjemputku pulang."

Delvin kembali menatap Nabila. Dia tidak tega jika membiarkan Nabila pulang sendiri. Memang rumah mereka masih satu kawasan, tapi cukup jauh dari rumah kakaknya saat ini. Delvin memutar kepalanya menyamping ke kiri, ke arah Alena yang duduk menyamping di jok belakangnya.

"Maaf Len. Nabila lebih butuh gue anterin."

Seharusnya Alena tahu itu sebelum Delvin berbicara terus terang. Seharusnya memang dia menolak, seharusnya dan memang seharusnya. Kata itu bagaikan kata andaikan yang selalu hadir ketika semua penyesalan datang terlambat. Memang, tapi Alena masih ingin setidaknya untuk kali ini Delvin peduli padanya. Tidak adil jika Delvin memilih mengantarkan Nabila. Jelas-jelas rumah Alena lebih jauh dari tempat mereka berada saat ini. Alena akan mencoba, lagipula dia ingin mengklafikasi kata-kata Valeya yang seolah mengatakan bahwa Delvin menyukainya.

"Rumah gue lebih jauh Vin. Dia bisakan naik grab?!" kata Alena menyuarakan ketidaksetujuannya.

"Bagaimana kalah lo aja yang naik grab. Sama ajakan ceritanya?" Entah mengapa suara Delvin yang terdengar tegas, baginya adalah sebuah penolakan yang menyayat hatinya? Kini dia sudah mendapatkan jawaban dari semua yang dia pertanyakan. Dia akan selalu sama, tidak terlihat dimata Delvin. Seharusnya dia sadar, tapi hatinya terlalu egois untuk itu. Kini dia benar-benar tahu. Hatinya begitu hancur. Hancur berkeping-keping seolah tidak ada yang tersisa lagi.

"Seharusnya memang aku tahu tempatku berada." Alena turun dari jok motor Delvin. "Nabila memang pantas dijaga. Lagipula siapa yang ingin berbuat macam-macam sama gue. Lucu ya gue." Alena berjalan ke arah Nabila. Dengan sangat terpaksa dia tersenyum ke arah perempuan itu. Apalagi yang bisa diperbuatnya. Semuanya sudah jelas dan tidak terlihat abu-abu.

"Lohhh kamu nggak jadi pulang?" Alena tersenyum miris mendengar pertanyaan bodoh dari Nabila. Padahal jelas-jelas dia turun karena Delvin yang menyuruhnya. Delvin yang memilih untuk mengantarkan Nabila, bukan mengantarnya.

"Aku ada urusan lain. Jadinya ya Delvin biar nganterin kamu aja."

"Ohhh begitu. Yaudah aku duluan kalau gitu."

Baik Len. Kamu sungguh pandai berakting. Alena menatap kepergian kedua orang itu. Dia berusaha tersenyum meski tanpa sadar tangannya menggenggam dengan kuat. Dia beralih menatap halaman samping kanan rumah Valeya. Di sana dia melihat tanaman yang dia berikan pada Delvin. Ternyata Delvin memberikannya pada Valeya. Kini dia benar-benar tahu apa arti dirinya di mata Delvin.

Alena beranjak pergi dari kediaman Valeya. Tangannya mengotak-atik ponselnya. Bukan untuk mencari tukang grab disekitar. Dia justru menelepon Rio sahabatnya, dia ingat jika rumah Rio tidak jauh dari rumah Valeya saat ini.

"Halo?"

"Heii. Bisa jemput gue?"

"Tumben lo butuh jemputan?"

"Gue share lokasinya. Lo cepetan kesini."

"....." Belum sempat Rio mengucapkan kalimatnya, Alena kembali berbicara.

"Tolong!" Lirih Alena dengan sangat. Dia memutuskan sambungan itu secara sepihak.

Tidak ada air mata lagi yang membasahi pipinya. Tidak ada buliran air yang keluar dari matanya. Seolah semuanya tidak akan berarti apa-apa jika air mata keluar dari matanya. Juatru jika dia menangis itu akan terlihat mengenaskan untuk dirinya nanti. Namun, dia berjalan di jalanan itu dengan cepat. Sakit di kakinya akibat memakai wedges tinggi tidak dia perdulikan. Justru yang lebih sakit saat ini adalah hatinya. Selain itu dia seolah tidak merasakan rasa sakit yang lain.

-------

Between Us √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang