26. Yang Teristimewa

205 7 4
                                    

Tahun baru sudah dimulai. Semester barupun sudah menanti. Kelas dua belas apalagi. Mereka semakin disibukkan dengan ujian sekolah, ujian nasional, tes sbmptn, dan tes kedinasan-bagi yang mengikuti. Semua rasanya tidak ada waktu untuk bersantai-santai. Cukup di saat liburan kemarin. Itupun beberapa sudah mulai sedikit belajar, menghabiskan waktu liburan.

Di semester kedua ini benar-benar terlihat berbeda. Semua siswa lebih serius saat diterangkan, tidak ada guyonan atau kegaduhan lain yang biasa mengisi kelas. Mereka juga seolah lupa dengan hal-hal sepele seperti ponsel yang sering mereka bawa atau bergosip di saat waktu luang.

Semuanya memanfaatkan waktu dengan baik. Waktu luang digunakan untuk sharing membahas soal yang tidak mereka bisa pada teman lainnya.

"Len, caranya ngitung sudut yang dimensi ruang itu gimana? Gue masih nggak ngerti deh." Feya bertanya pada Alena. Mereka kini berada satu meja. Alena, Feya, Melodi, Ara, Kanila, dan Shea. Berkumpul melingkar sambil membahas pelajaran yang tidak di mengerti.

"Gini caranya Fey. Kita tarik garis a,c, sama g. Terus garis a e kita lihat. Nah yang disebut dua kali itu yang dicari sudutnya. Inikan disuruh nyari sin. Nah tinggal nyari depan sama miringnya udah deh selesai." Feya manggut-manggut dengan penjelasan Alena.

"Makasih Len. Gue baru ngeh. Salah sendiri pak Juan kalau njelasin kayak kereta, cepet banget ngga bisa diputus lagi."

"Hahaa. Dinikmatin aja Fey." Shea menceplos kalimat absurdnya. Ya kalimat absurd untuk digunakan disuatu situasi yang tidak tepat saat ini.

"Heh heh. Udah ah. Mau anterin gue ke kamar mandi nggak?" tanya Alena menatap mereka bergantian. Ara bangkit dari duduknya.

"Ayoo Len. Ngantin sekalian yuk, haus gue."

"Okee."

"Ehh gue nitip dong." Itu suara Kanila, disambung dengan Shea, Feya, dan Melodi yang ingin titip juga.

Meski mereka sudah lebih serius dengan kegiatan belajar. Namun kebiasaan jajan di kantin di saat jam kosong masih melekat. Tidak hanya mereka, beberapa teman sekelasya bahkan lebih dulu keluar sejak tadi.

Setelah mengingat pesanan yang lainnya. Alena dan Ara keluar dari kelas. Suasana di lorong kali itu sangat sepi. Tidak ada kelas yang membuka pintu atau memutar sound sistem dengan keras seperti biasa. Yang ada hanya suara guru yang mengajar terdengar sampai ke luar.

"Sepi ya Len. Pada fokus sama ujian kayaknya."

"Ya gitu Ra. Apalagi banyak tes yang akan kita hadapi. Nggak ada waktu buat santai."

"Iya sih. Tapi ya jangan ngoyo juga belajarnya. Entar salah-salah saraf kita yang kena. Bisa putus kalau kebanyakan mikir."

"Nahh iyaa, seharusnya kita itu disuruh mikir aja apa yang kita suka. Bukan mikir semua hal yang bahkan pas kerja kita butuh atau nggak."

"Ya gitu deh Indonesia."

Pembicaran mereka lagi-lagi berpusat di sistem pendidikan yang saat ini diberlakukan di Indonesia. Memang daripada mereka mengeluh ini itu, lebih baik mereka mempermasalahkan sistemnya bukan pelajarannya. Ya memang pelajaran tidak akan ada tanpa sistemkan.

Alena dan Ara berjalan ke arah kamar mandi yang terletak di samping mushola sebelum menuju ke kantin.

Mungkin Alena sedang tidak beruntung. Dia berpapasan dengan Delvin dan Miko. Namun tidak seperti biasanya. Biasanya Alena akan cuek dan seolah tidak melihat kedua orang itu. Sekarang berbeda. Alena berani menatap Delvin dan Miko, meski Delvin menunduk melewatinya tapi dia bisa melihat senyuman tipis dibibir laki-laki itu.

Alena tersenyum membalas tatapan Miko. Meski sebenarnya dia ingin menatap mata Delvin bukan mata Miko. Tapi Alena tetap tersenyum pada orang itu.

Tidak masalah jika Delvin memilih menundukkan pandangannya. Setidaknya laki-laki itu tidak bersikap acuh tak acuh lagi padanya. Saat ini lebih baik. Meski cintanya tidak bersambut dan mereka juga tidak berakhir menjadi teman. Namun semuanya terasa lebih baik dari sebelum pertemuannya dengan keponakannya Delvin-Dio.

Dia kini membenarkan ucapan Kanila tempo lalu yang mengatakan bahwa Dio adalah penghubung dirinya dan juga Delvin. Mungkin kedatangan Dio diantara mereka membuat semuanya lebih baik. Lebih terasa masuk akal daripada sebelum Dio ada. Anak kecil itu seolah menjadi alasan pertemuan mereka untuk membuat semua hal yang tidak pasti yang dulu masih dipertanyakan Alena menjadi suatu kepastian.

Entah memang seperti itu tujuannya atau tidak. Tapi kini Alena merasa lebih bebas. Semuanya tidak terasa abu-abu lagi. Dia sudah menemukam semua jawaban yang dia butuhkan. Semuanya begitu terasa melegakan untuk hatinya. Dia memang tidak berakhir dengan Delvin. Namun bertemu Delvin adalah hal yang teristimewa untuknya. Dari mjlai mereka saling menyapa lewat sosial media atau secara langsung. Pertemuannya dengan Delvin juga mengajarkannya tentang arti kesabaran. Ada satu kata yang selalu Delvin katakan untuknya "have fun" setiap Delvin mendengar keluhannya.

Dan memang benar cinta bisa mengubah segalanya. Mungkin sebagian tidak, tapi pasti ada yang berubah. Merasa bahagia, sakit, sedih, terluka, senang, berharap. Semua itu ada dalam satu kata yang berjuta makna yaitu cinta.

-------

Between Us √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang