10. Menghilang?

211 4 0
                                    

Seminggu lagi akan diadakan penilaian akhir sekolah atau biasa disingkat PAS. Tapi jam pelajaran hari senin itu kosong. Beberapa siswa langsung memanfaatkannya dengan bermain-main di dalam kelas. Ada yang tidur, menari diiringi musik sound sistem kelas, mengumpul menjadi satu, bergosip, dan kegiatan lainnya yang kurang berfaedah.

Berbeda dengan Alena, dia sibuk menulis dibukunya. Beberapa ringkasan materi dari bab biologi. Teman-temannya yang lain menatapnya penuh keheranan. Setelah membuat heboh dengan gaya rambutnya yang baru, Alena kini lebih banyak diam dan fokus dengan buku-buku di depannya.

"Lo sakit Len?" Kanila memegang dahi Alena dan dahinya sendiri untuk membandingkan. Hasilnya sama, dahi Alena tidak lebih panas dari dahinya.

Alena masih diam tidak merespon pertanyaan Kanila. Membuat Kanila semakin bingung. Lebih baik Alena marah-marah dengannya daripada mendiaminya seperti ini.

"Len, kantin yuk! Lo nggak bawa bekal terus ini udah lewat jam makan siang dan lo belum beranjak dari sini," kata Kanila dengan hati-hati. Dia tahu seberapa kecewanya Alena dulu dengan nilai-nilainya di rapor yang jauh dari kata kemampuannya. Tapi seingatnya Alena tidak mempermasalahkannya sampai seperti ini.

Alena meletakkan bolpoinnya di samping tangannya. Lalu dia menoleh menatap Kanila, "gue mau cerita." Alena melepaskan earphone-nya.

Kanila bernapas lega, akhirnya perempuan itu mau membuka mulutnya. "Gue siap dengerin."

"Jujur, gue masih suka sama Delvin. Tapi gue benci sama dia. Gimana caranya gue bisa hilangin dia?" tanya Alena mendramatisir. Bukan, tapi dia benar-benar sudah frustasi dengan perasaannya pada Delvin. Semakin dia berusaha melupakan, semakin dia ingat. Justru kenangan itu semakin berputar-putar di kepalannya. Apalagi wajah Delvin yang tergambar dengan jelas.

"Lo jangan inget dia. Anggep aja dia cuma orang yang sekedar lewat."

"Susah. Tapi, gue pengen tahu. Dia itu nyari gue nggak kalau gue nggak ada?"

"Kayaknya-" belum sempat Kanila menjawab, Alena justru mengucapkan asumsinya.

"Palingan juga enggak. Dihatinya kan cuma ada Nabila seorang." Alena beralih menyangga rahangnya, bahunya melengkung lesu. Benar-benar tidak ada tenaga.

"Siapa tahu Len, hati orang nggak ada yang tahu. Bisa jadi dia suka sama lo juga. Nggak ada yang nggak mungkin. Ingat, hati manusia mudah dibolak-balik."

Alena menghembuskan napasnya dengan berat. Alena beralih mengacak-acak rambutnya yang kini sudah pendek, tidak takut akan terlihat tidak rapi.

"Jadi, lo potong pendek kayak dora gini alasannya masih tentang Delvin?" tanya Kanila memastikan. Dulu Alena pernah berkata padanya kalau dia tidak akan memotong rambutnya lagi, tapi sekarang malah Alena memotongnya. Perempuan itu memang mudah berubah-ubah.

"Heeem. Ya gitu. Tapi baru kali ini gue nggak nyesel udah potong sependek ini." Alena meniup pony barunya yang menjuntai menutupi dahinya. Dia belum terbiasa, rasanya geli jika terkena kulit dahinya.

"Lo bener-bener mau ngelupain dia?"

"Dari dulu kali. Tapi gagal mulu. Mungkin kali ini berhasil."

"Yaudah semangat buat lo. Gue yakin berhasil."

Alena keluar dari kelasnya setelah bel berbunyi beberapa menit yang lalu. Keadaan kelas sudah cukup kosong. Kelas lainnya pun dalam keadaan yang sama. Langit mendung yang berada di atasnya kini terlihat mengerikan. Hal yang paling ditakutkan Alena bukan hujan, melainkan pemandangan langit yang menggumpal berwarna hitam yang membuatnya ngeri.

Langkahnya semakin cepat menuju ke arah parkiran sekolah. Dia berharap hujan kali ini turun setelah dia sampai di rumah. Ponsel di sakunya bergetar, menampilkan Elvara yang menelponnya. Tanpa membuang waktu, dia mengangkatnya.

"Halo." Alena mengeluarkan kunci motornya meski parkiran masih jauh dari tempatnya saat ini.

"Kak, bunda nyuruh kakak cepat pulang. Keburu hujan, nanti nggak bisa lewat."

"Iya ini kakak udah mau pulang. Bilangin sama bunda jangan khawatir."

"Yaudah, hati-hati kak."

Setelah Elvara memutuskan sambungan telponnya. Kilap petir terlihat di angkasa, disusul dengan suara petir yang menggelegar. Alena sangat takut akan keadaan cuaca saat ini. Dia yang kaget, reflek menutup mata dan telingannya. Tubuhnya dia senderkan ke tembok sambil berjongkok. Niatnya untuk pulang cepat harus dia urungkan. Dia menetralkan jantungnya terlebih dahulu.

"Len!" seseorang memegang pundak Alena. Membuat perempuan itu berdiri dan berteriak histeris. "Hehh." Perempuan itu mengguncang tubuh Alena yang masih terpejam. "Ini gue Ara."

Alena akhirnya membuka matanya. Dia menghembuskan napas lega. "Kok lo belum pulang?"

Ara memutar bola matanya jengah, "gue kan udah bilang tungguin gue. Gue mau ngumpulin buku pkn di mejanya pak Dira sama Liam, lo malah ninggalin gue."

"Sorry, gue nggak denger tadi. Beneran gue nggak denger Ra, maaf." Alena merasa bersalah. Baru kali ini dia melupakan semuanya.

"Udah ayo pulang, keburu hujan. Atau lo mau di sekolahan ini sendirian?" tanya Ara yang ada benarnya.

"Nggak mau. Udah ayok ah."

Mereka berjalan ke parkiran. Di sana masih ada beberapa motor siswa yang belum pulang. Alena mengamatinya, dari beberapa motor itu. Ada satu motor yang dikenalnya, motor Delvin. Dia berharap Delvin pulang dengan selamat sebelum hujan turun membasahi bumi.

***

"Lo kenapa nggak mau bantuin dia?" tanya Miko pada Delvin yang melihat Alena ketakutan dengan suara petir.

"Itu lebih baik." Delvin hanya membalas pendek.

"Gue tahu semua tentang dia sama lo. Gue pernah baca chat lo sama dia, sama isi chat lo sama Hera juga."

"Ohh." Delvin mengatakannya dengan ringan. Seolah itu bukan sebuah hal yang berarti baginya.

"Apa lo nggak pernah sedikit aja ngerasa nyaman sama Alena?" tanya Miko penuh selidik.

Bukannya menjawab, justru Delvin memilih memakai helmnya dan meninggalkan Miko begitu saja di parkiran. Miko tentu bukan cenayang yang bisa membaca segala hal. Namun, jika mengingat perilaku Alena yang riang dan penuh cerita ketika tidak sengaja dia melihat interaksi perempuan itu dengan temannya, siapapun setuju jika perempuan itu layak dijadikan teman.

—--Bersambung--—

Between Us √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang