1. Diantara Kita Adakah Takdir Yang Terhubung?

791 28 6
                                    

"Alenaaaaaaaa!!!!!!" Teriakan Nila menggema diseluruh penjuru sekolah. Matanya masih mengamati dengan lekat seorang perempuan yang kini berlari menjauhinya. Siapa lagi kalau bukan Alena Prisia, sahabatnya yang super jail. Hampir setiap hari bahkan Alena mengerjainya, seolah perempuan itu tidak pernah puas.

Kanila atau yang biasa dipanggil Nila itu turut berlari mengikuti jejak sahabatnya. Mulai dari lorong kelas sepuluh sampai kelas dua belas dia tidak berhenti berlari mencari Alena. Terakhir sebelum napasnya habis, dia berhasil menemukan Alena diujung lapangan basket bersama seorang anak laki-laki kecil yang berumur dua tahunan. Nila segera berjalan ke arahnya, takut perempuan itu butuh bantuan.

"Len, siapa?"

Alena memutar kepalanya. Wajahnya terlihat bingung tak tahu harus bagaimana. Nila mengerti maksud wajah Alena saat ini. Dia ikut berjongkok di depan tubuh anak kecil itu. Akan tetapi, anak kecil itu justru langsung memeluk Alena. Keduanya bertatapan bingung.

"Lo apain ini anak tadi?" tanya Nila dengan suara lirih pada Alena, takut jika anak laki-laki itu bertambah ketakutan.

"Gue tadi nggak sengaja jatuh kesandung tali, terus gue lihat ini anak nangis dipojok ring basket, yaudah gue tanyain. Tapi dianya malah diem aja."

"Ohhh, gue kirain lo nggak sengaja jahatin dia."

"Ya enggaklah. Lo kira gue apaan." Alena bangkit berdiri, dia menggendong anak kecil di depan dadanya. Sedangkan tangan anak itu melilit lehernya. "Lebih baik kita ke koperasi, nyari es krim buat dia."

"Okee. Eh bentar gue baca chat dulu." Alena mengelus rambut anak kecil itu dengan lembut sambil menunggu Nila membaca pesan. "Yah, gue harus ke ruang bk nih, ngurusin nilai gue yang turun. Gue duluan ya."

Sepeninggal Nila, Alena memilih berbelok ke kanan ke arah koperasi. Setelah membelikan es krim, dia memilih taman belakang sekolah yang cukup tenang. Tapi untuk situasi adanya rapat saat ini, pasti telah ramai. Beruntung Alena dapat menemukan satu bangku panjang yang kosong terletak di bawah pohon. Dia mendudukkan anak kecil itu di bangku. Alena memilih berjongkok, dia memperhatikan wajah anak laki-laki itu. Perasaannya mengatakan kalau dia pernah melihatnya.

"Dek, kakak tanya nanti kamu jawab ya?" kata Alena dengan lemah lembut. Tangannya masih mengusap permukaan tangan anak kecil di depannya. Tangisannya telah reda, meninggalkan bekas air mata.

Setelah anak kecil itu mengangguk, Alena mulai bertanya tentang beberapa hal. "Nama kau siapa dek?"

"Di-o kak." Alena membuka satu es krim rasa coklat. Dia memberikannya pada Dio. Dengan ragu-ragu Dio mengambilnya. "Dio tadi ngapain bisa sampai ke sana?"

"Nggak tahu kak," jawab Dio dengan mulut belepotan dengan es krim.

"Dio suka es krimnya?"

"Suka kak, tapi Dio nggak dibolehin sama om makan es krim."

"Yaudah, kalau Dio mau es krim, sama kakak aja."

"Kakak namanya siapa?"

"Nama kakak Alena Prisia. Panggil aja kak Lena."

"Kak Ale-n-a? Aku panggil kak Len aja ya kak." Alena tersenyum mengiyakan, dia belum pernah berinteraksi dengan anak kecil sepintar ini. Alena yang cuek dan terkesan antipati sudah melekat didirinya. Tapi sisi keibuannya tidak pernah luntur, hanya aja tertimbun di luar.

*****

"Vin, ML yuk!"

"Ayukk." Delvin mengiyakan ajakan Miko, dia mulai mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasinya. Lagipula saat seperti ini memang cocok untuk bermain mobile legend. Mereka duduk di depan kelas dengan siswa lainnya. Sejenak pikiran Delvin berlayar diserunya area permainan mereka. Dia melupakan Dio-keponakannya yang saat itu ikut bersamanya karena kakaknya yang rapat di sekolah kali itu membawa Dio.

Dio berjalan tanpa sepengetahuan Delvin. Keasikannya bermain diarena dunia maya membuatnya lupa dengan dunia nyatanya. Barulah sekitar tiga puluh menit bermain sebanyak tiga kali permainan, dia baru mengingatnya.

"Mik, Mik." Delvin mengguncang tubuh Miko ketika dirinya tidak menemukan Dio disekitarnya. Pasti anak kecil itu merasa bosan dan meninggalkannya tanpa dia tahu. Seperti yang sudah-sudah, Delvin memang tidak pernah belajar dari pengalaman.

"Lah bukannya tadi disini?"

"Kalau dia ada disini gue nggak bakal nyari dia. Lo sih ngajakin gue main."

"Ya salah lo mau aja diajak main. Mending cari dia. Lo kesana. Gue kesana."

Delvin mulai berjalan ke arah bagian yang ditujukan Miko. Letaknya di sebelah bagian sisilapan barat sekolah. Daerah kantin, koperasi, lapangan futsal, dan lapangan basket. Berbeda dengan arah Miko yang mendapat bagian timur sekolah. Disana daerah kelas sepuluh, kelas sebelas, masjid, dan area parkir.

Delvin sudah mencari di kantin, koperasi, lapangan futsal, lapangan basket,  tetapi belum ada tanda-tanda keberadaan Dio. Dia ingin berbalik ke arah kelasnya, mungkin Dio sudah di sana. Namun, langkahnya justru ke arah taman belakang sekolah. Kecil kemungkinan memang jika anak sekecil itu sudah sampai di taman belakang. Apa boleh buat, Miko juga belum mengabarinya. Selagi masih satu area saja, makanya Delvin memilih ke sana.

Taman belakang sekolah biasanya sepi, tapi ketika Delvin menginjakkan kakinya di sana. Taman itu terlihat ramai. Banyak anak-anak yang bermain atau anak sma yang duduk di sana. Maklum, semua jam pelajaran kosong, guru-guru juga berada di kantor karena rapat orang tua atau wali murid.

Delvin sudah hampir menyusuri semua sudut di taman itu tetapi masih belum juga menemukan Dio. Dia hendak berbalik, tapi sebuah siluet yang dikenalnya berada di sana. Alena Prisia, perempuan yang menyukainya. Delvin mendapat informasi itu dari adik kelas yang cukup dekat dengan Alena, namanya Hera. Delvin baru menyadari kalau Alena sedang bersama anak kecil. Dia membulatkan matanya, itu adalah Dio. Delvin segera berjalan ke arah mereka.

"Dio!" panggil Delvin dengan suaranya yang terkesan khawatir.

"Om Delvin?" kata Dio dengan ekspresi terkejut. Hanya sebentar, setelah itu dia kembali menikmati es krim yang sisa setengah ditangannya itu.

Delvin beralih menatap Alena. Perempuan itu terlihat tak peduli akan kedatangannya. Dia beralih menatap Dio lagi, keponakannya itu tidak mudah dekat dengan orang asing. Dio sangat pemilih dalam hal apapun itu, tapi melihat Alena bisa berinteraksi dengan baik bersama Dio berarti Alena mempunyai sifat yang berbeda. Delvin semakin tidak mengerti bagaimana seorang Alena sesungguhnya. Apalagi jika mengingat informasi bahwa Alena menyukainnya. Dari dulu sampai sekarang, Alena itu sama. Dia perempuan yang cuek, mana mungkin menyukainya.

"Dio. Kamu udah sama om kamukan. Kakak pergi dulu ya."  Alena mengatakannya dengan lembut sembari mengelus rambut hitam Dio. Dia masih tidak peduli dengan Delvin. Alena berbalik, tapi tangannya digengam oleh Dio. "Apa sayang?"

"Kakak kapan-kapan main ke rumah Dio ya?" pinta Dio dengan ekspresi yang sangat memohon. Anak kecil itu bahkan terlihat tidak rela jika harus berpisah dengan Alena. Padahal mereka baru bertemu tidak kurang dari satu jam.

"Dio, kak Alena pasti bakalan mau dateng ke rumah Dio. Sekarang Dio lepasin tangan kak Alena," bujuk Delvin membantu Alena lepas dari Dio.

"Beneran kak Len?" tanya Dio memastikan.

"Heem. Kak Len janji. Udah ya, kakak ada kerjaan." Dio melepaskan tangan Alena, perempuan itu meninggalkan mereka tanpa menoleh sedikitpun.

Rasanya Delvin ingin menyuruh Alena untuk tinggal. Akan tetapi, Delvin tahu Alena tidak akan mau. Delvin memang bodoh mengabaikan perasaan Alena, tapi dia juga tidak ingin kege-eran. Masalahnya, Alena terlalu sulit ditebak.

—--Bersambung--—

Huhuu. Apa kabarnya? Yep yep. Akhirnya bisa nulis cerita yang seperti ini.

Fyi, aku nulis udah lama dan hahaa. Selesainya tepat dihari ini. Mungkin karena orang yang buat ide ngalirnya lagi ultah ya makanya jadi selesai hari ini dan ngepost pertama kali hari ini juga.

But, yang ultah 21 Desember met ultah. Meski nggak tahu aku nulis disini.

Thanks yang udah baca

Between Us √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang