17. Pertemuan Di Ujung Lorong

190 4 0
                                    

Jika Alena ditanya bagaimana awal mula dia menyukai Delvin. Dia tidak tahu. Semua itu hatinya sendiri yang memilih. Justru sedari awal dia sudah wewanti-wanti dirinya agar tidak menyukai Delvin. Perasaannya mengatakan dia akan terluka seperti perasaannya dulu dengan teman masa lalunya. Sudah cukup dia merasakan yang namanya sakit hati saat mencintai. Memang tidak ada yang salah. Lagipula kodrat manusia memiliki hati yang digunakan untuk bisa mencintai. Tidak ada yang bisa memilih menyukai siapa dan bagaimana caranya. Hanya saja hati memilih sesuai dengan apa yang dirasa nyaman.

Mungkin sebagian orang berbicara bahwa cinta itu tidak penting, tapi percayalah bahwa semua orang pasti pernah mencintai dan ingin dicintai. Bohong jika tidak merasa begitu. Mereka hanya menyangkal karena mungkin ada sesuatu hal yang membuatnya menjadi seperti itu. Sakit hati mungkin.

Alena sadar, sebesar apapun usahanya untuk menjauhi Delvin itu tidak akan berpengaruh. Semakin dia berusaha menjauh, semakin dia sering bertemu dengan Delvin apalagi alasan organisasi mereka. Itu cerita dulu. Sekarang semakin dia berusaha melupakan Delvin, dia juga semakin diuji dengan pertemuan mereka.

Jika Alena bisa menghindar saat ini. Itu hal yang mudah. Namun perasaan untuk berbicara dengan Delvin setelah sekian lama itu dia inginkan. Kini Delvin ada diujung lorong duduk di depan kelasnya. Alena bisa saja melewatinya seperti biasa. Tapi dia ingin berdamai dengan masa lalu. Mungkin sedikit senyum untuk menyapa Delvin bisa dicoba. Hanya saja jika dia tahu akhirnya seperti apa, dia tidak akan mencobanya.

"Darimana Len?"

"Hah!" Alena menghentikan langkahnya. Dia terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan Delvin. Delvin terkadang memang menyapanya, hanya saja itu sangat jarang karena balasan dari Alena hanya senyum datar tanpa ekspresi. Siapapun pasti enggan menyapanya.

"Gue dari sana. Eh. Dari koperasi," jawab Alena dengan suara bindeng akibat terkena flu. Hari kemarin dia nekat hujan-hujanan dan meminum es.

"Bisa ngomongnya sambil duduk?" tanya Delvin dengan tenang. Berbanding terbalik dengan Alena yang gugup, takut, dan merinding. Dia sendiri bingung bagaimana tepatnya perasaannya kali ini. Apalagi lorong yang sepi sangat terlihat kontras dengan apa yang terjadi. Hari ini memang puncak-puncaknya acara pensi sebelum hari libur. Alena tidak ikut melihat, dia lebih memilih tiduran di kelas. Hari pertama flu selalu membuatnya lesu. Apalagi lendir diselaput hidungnya terkadang memenuhi jalannya pernapasannya.

Alena mendudukkan dirinya, agak jauh dari tempat Delvin. Dia hanya tidak ingin terlalu dekat. "Sakit flu?" tanya Delvin memecah keheningan. Kali ini tidak memungkinkan untuk Alena berbicara panjang lebar. Suaranya terdengar sangat tidak nyaman. Lagipula biarlah Delvin memimpin pembicaraan kali ini.

"Heemm," gumamnya seperti biasa. Delvin memaklumi itu.

"Ohhh." Begitulah Delvin. Masih seperti biasa. Cowok itu memang tidak bisa membuat suasana menjadi lebih friendly.

"Apa ada yang perlu dibicarain lagi Vin?" tanya Alena setelah mereka terdiam cukup lama. Alena tahu ada banyak hal yang ingin ditanyakan laki-laki itu. Namun seperti hari kemarin-kemarin, Delvin lebih banyak diam. "Yaudah kalau nggak ada. Gue mau tidur." Belum sempat Alena beranjak dari duduknya. Tangannya dipegang oleh Delvin. Membuat perempuan itu terkejut.

"Gue tahu lo sering hujan-hujan padahal bawa jas hujan. Gue tahu lo nggak suka hujan. Tapi daripada lo sakit gini. Mending lo pakai." Delvin menggenggam tangan Alena.

Hangat, masih hangat dan akan tetap hangat. Dia pernah berjabat tangan dengan Alena. Tangan perempuan di depannya itu memang hangat tapi kali ini lebih hangat daripada biasanya. Suaranya juga seperti berdengung tidak selepas biasanya.

Alena menarik tangannya. Dia tidak suka disentuh seperti itu. Yang berakibat pada meremangnya bulu-bulu tangannya. Dia menatap lantai. Entah harus kalimat apa yang dia ucapkan kali ini dia juga tidak mengerti.

"Kenapa lo peduli?" Tidak ada jawaban. Alena menghembuskan napasnya. Menyiapkan semua kata yang sudah dipikirnya matang-matang. "Jangan kayak gini. Gue jadi ge-er ngerasa lo peduliin. Padahal lo tahu gue suka sama lo. Tapi lo-" Alena menghembuskan napasnya kembali. Berat untuk mengatakan yang sebenarnya. Namun itu lebih baik daripada harus di simpan lebih lama lagi. "Suka sama Nabila. Gue tahu gimana rasanya diposisi lo dan lo tahu gimana rasanya diposisi gue."

"Lucu emang," gumam Delvin lirih. Alena tidak bisa, dia akan selalu menjadi pihak yang sangat banyak berbicara. Mungkin beginilah akhir kisahnya, cukup hanya dianggap angin lalu. Seharusnya Alena percaya pikirannya tentang itu. Tapi dia selalu menyangkal.

"Lagipula gue tahu lo nggak akan pernah nganggap gue pernah dihidup lo. Gue tahu bagi lo gue cuma iklan lewat doang. Yang bahkan tidak menarik seperti iklan lainnya. Gue cuma orang sekilas yang nggak berarti dihidup lo. Dan gue tahu posisi gue seperti apa. Ini bukan salah lo, ini salah gue yang terlalu berharap sama lo. Sikap lo yang cuek ke gue justru bikin gue penasaran. Tapi gue seharusnya nggak gitu."

"Thanks buat kado lo." Alena menggigit bibir bawahnya. Rasa menyesakkan mendengar semua kalimatnya tidak dipedulikan. Delvin selalu begitu, ngajak ngomong serius tapi sekalinya diseriusin justru Delvin mengubah topik yang lain.

"Kepala gue pening. Tambah pening ngomong sama lo." Alena beranjak dari duduknya, dia lelah. Dia sudah tidak ingin berbicara lagi dengan Delvin. Begitu mudahnya dia memancing Alena berbicara mengeluarkan semua perasaannya. Sekali lagi dia kecewa. Apa yang dia harapkan tidak akan pernah terjadi. Delvin tetaplah Delvin. Laki-laki dingin dengan karakter yang sulit ditebak olehnya.

"Padahal lo unik Len," lirih Delvin. Hal itu benar-benar tidak berguna. Alena sudah masuk ke dalam kelasnya. Dia tahu bagaimana rasanya mencintai namun tidak dicintai. Dia tahu seberapa sakitnya. Namun apa yang bisa dilakukannya jika perasaan untuk Nabila masih lebih dominan. Terkadang dia merasa dirinya sendiri yang bersalah.

Memang tidak ada yang salah dalam mencintai. Yang ada hanya salah jika terlalu mencintai tanpa melihat kenyataan.

***

Alena menutup mulutnya. Matanya meneteskan air mata. Dia lupa sudah ke berapa kalinya dia menangis untuk Delvin. Semua tentang Delvin itu menyakitkan baginya. Dan dia seharusnya tahu untuk berhenti. Namun hatinya selalu mencoba kembali percaya dengan semua hal bahwa mungkin dia punya rasa yang sama. Kenyataannya itu hanya kalimat bijak untuk memotivasi seseorang yang jatuh cinta.

Kenyataan pahit harus diterima. Jika sepahit kopi saja bisa memikat lidah pencintanya untuk kembali diteguk, maka seperti itulah cinta. Sepahit apa yang terasa tetap akan kembali untuk dicoba.

Rasa sesak di dada Alena semakin bertambah. Apalagi rasa pening pada kepalanya disertai dengan semua kilas balik pertemuannya dengan Delvin kembali terputar bagaikan komedi putar yang diatur putarannya dengan cepat. Lalu dia seharusnya bagaimana? Melupakan sangat sulit. Bukannya semakin lupa, justru dia semakin banyak menerima rasa sakit dari apa yang dia suka.

Benar memang jika kita menyukai sesuatu, maka kita akan dilukai lewat rasa suka itu. Alena tahu itu sangat sakit sekali seperti kali ini.

"Kenapa gue lupa bawa dompet sih tadi." Rio dengan gerutuannya masuk ke dalam kelas. Keringat di tubuhnya sangat kentara. Pasti habis bermain futsal seperti biasanya.

Wajah terkejut tergambar dengan jelas. Meski Alena adalah musuhnya-dalam konteks yang tidak sama-dia terkejut dengan tangisan Alena yang begitu terlihat memilukan. Sebenarnya dia sudah menganggap Alena sebagai adiknya sendiri. Matanya berkeliling mencari siapa saja yang sekiranya ada diruangan itu yang bisa menceritakan alasan Alena menangis. Nihil, karena di dalam kelas tidak ada siapapun.

"Len!" Rio jongkok di samping bangku Alena. "Lo ada masalah sama siapa?" tanya Rio hati-hati. Dia tidak tega melihat Alena menangis seperti ini.

"Gue..... Ntahlah gue pengen nangis aja." Alena menjawabnya dengan cepat. Butuh beberapa detik Rio baru mengerti maksud Alena.

"Lo lebih baik cerita sama orang lain Len. Kalau nggak ada yang bisa kasih saran buat lo. Seenggaknya lo punya pendengar yang baik."

Rio beralih ke tempat tasnya berada. Dia mengutak atik ponselnya. Mengirimkan pesan pada Kanila. Dia kadang mendengar Alena dan Kanila membicarakan banyak hal. Entah dari mulai masalah pribadi maupun segala hal yang tidak ada kaitannya sama mereka.

To : Kanila

Temen lo lagi butuh sendiri. Besok mungkin kalau nggak ya hari selanjutnya dia baru cerita. Sekarang lo sama temen-temen lo jangan tanya dia macem-macem

—--Bersambung--—

Between Us √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang