4. Tanpa Dia Tahu

280 8 0
                                    

Masih teringat dengan jelas bagaimana wajah itu meneteskan air matanya. Tapi dari pandangannya kini, wajah itu terlihat gembira. Dia tertawa bersama teman-temannya. Meski kali ini tanpa melirik ke arah kelasnya. Dia tidak tahu ucapannya tadi pagi menyakiti hati perempuan itu. Dia hanya berusaha jujur, namun kejujuran yang dia perlihatkan malah melukai perempuan itu. Perempuan yang dia tahu menyukainya. Kini dia sedikit yakin jika perempuan itu memang menyukainya. Hanya saja terkadang dia menepisnya, dia masih bertanya apakah perempuan itu memang benar suka atau tidak. Dia semakin dibuat penasaran. Alena super cuek dengannya, bahkan dengan orang lain. Tidak salah jika dia mempertanyakan apakah perempuan itu benar-benar menyukainya.

"Vin, kanti yuk." Ajak Miko teman sebangkunya. Dia kini berjalan tidak jauh dari gerombolan Alena.

Alena berserta temannya yang berjalan di sampingnya membicarakan suatu hal, berbeda dengan ke empat temannya yang berada di belakang. Mereka membahas hal yang berbeda-beda.

"Len!" Alena menatap orang yang memanggilnya, Rio. Lelaki itu kini berdiri di depannya, sedangkan teman-temannya yang lain berdiri di belakang Rio. Menunggu laki-laki itu tentu saja.

"Apa?" Alena bingung apa yang dilakukan Rio kali ini. Laki-laki itu berdiri tidak jauh darinya. Tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Perasaan Alena kini berubah tidak nyaman, dia rasa akan terjadi sesuatu hal yang tidak mengenakkan.

Jebret! Benar saja, Rio kini menjebret kepala Alena dengan karet gelang bekas makanan. Setelahnya Rio berbalik dan menertawakan Alena. Alena meringis kesakitan, laki-laki itu benar-benar suka menggodanya.

"Auuuuu." Alena memegang dahinya yang terasa panas. "Mana karetnya?" tanya Alena pada temannya.

"Itu Len!" Ara menunjuk karet gelang tadi yang berada di atas batu bata. Alena segera mengambilnya. Kemudian berjalan cepat ke arah Rio.

"Rioooo!" Rio berhenti tertawa, kini dia berbalik menatap Alena. Tapi tanpa dia sangka, kini Alena meluncurkan jebretannya ke arahnya. Tepat mengenai hidungnya yang ujung, alhasil hidungnya terasa sakit dan kini berubah warna menjadi merah. Belum sempat dia memaki Alena, tapi perempuan itu sudah dibawa pergi oleh teman-temannya ke arah kantin.

Semua kedekatan antara Alena dan Rio tak luput dari perhatian Delvin. Pikirannya melayang ke masa lalu yang pernah melibatkan dirinya dan juga Alena. Alena sangat tertutup dengannya, bahkan jarang tersenyum ke arahnya. Jika melihat hal tadi, ada rasa iri atas perlakuannya. Mengapa dia sangat berbeda dalam bersikap dengan orang lain.

"Ck ck. Dulu di organisasi, Alena tidak pernah senyum atau tertawa. Kenapa perempuan itu berbeda ya?" gumam Miko yang dapat di dengar oleh Delvin.

Delvin menggeleng tidak mau berpikir tentang Alena lagi. Mereka kini melanjutkan jalannya ke arah kantin. Mengisi perut mereka yang kosong dengan makanan yang tersedia dikantin.

***

"Bener-bener menyebalkan." Alena masih menggerutui pertengkarannya tadi dengan Rio. Lelaki itu benar-benar menguji kesabarannya. "Kenapa sih suka banget ganggu gue?" tanya Alena sambil mengaduk-aduk soto dipiringnya.

"Ya karena lo lucu kalau lagi marah Len," balas Feya sambil tertawa cekikikan. Alena langsung menatap Feya dengan wajah sebal khasnya.

"Lennn! Alenaa!" teriak Feya, Ara, Kanila secara bersamaan. Biasanya teman-temannya akan meneriakkan namanya jika ada Delvin disekitarnya. Benar saja, ketika Alena menoleh ke kanan. Delvin dan Miko berjalan melewati kantin yang di tempati mereka.

Delvin menoleh ke arah Alena. Mata mereka bertemu. Jika biasanya Alena langsung menghindar, kini dengan berani dia menatap mata itu sampai hilang diperaduan matanya. Meskipun pertemuan mereka secara sekilas, tapi Alena akan mengulang-ulang kejadian tadi dikepalanya sampai pertemuannya dengan Delvin kembali.

Bagaimana Alena bisa benar-benar menghilangkan perasaannya jika sekali saja bertemu dia akan mengingatnya selalu. Bagaimana Alena bisa membenci Delvin dengan penuh jika dia selalu begitu dengan mudahnya memaafkan Delvin. Alena tidak habis pikir dengan perasaannya sendiri yang mudah terbolak-balik. Bahkan ketika Delvin benar-benar menghancurkan perasaannya dia masih berharap akan adanya perasaan yang menyambut.

"Udah Len, udah tatapannya. Sekarang dimakan sotonya gih. Lo perlu tenaga buat move on juga." Alena memutar kepalannya ke arah Shea. Kali ini gantian perempuan itu yang meggodanya. Alena kesal setengah mati, mengapa semua orang selalu menggodanya. Alena hendak mengeluarkan kata-kata balasan untuk Shea, namun tangannya yang memegang sendok berisi soto dituntun Melodi ke mulutnya. Benar-benar sahabat yang baik bukan.

Setelah menyelesaikan acara makan siangnya. Mereka berjalan menuju kelas kembali. Namun, Alena harus ke kelas dua belas ipa satu terlebih dahulu untuk mengambil bukunya.

"Lo sendirian nggak papa?" tanya Kanila. "Nggak papa." Alena melangkahkan kakinya ke arah dua belas ipa satu. Setelah berbincang dengan Fara temannya, Alena kembali berjalan ke arah kelas. Namun tangannya dicekal oleh seseorang.

Alena diseret ke belakang kelas tanpa melihat siapa pelakunya. Alena lalu berbalik, dia terkejut akan orang itu. Dari dulu sampai sekarang jika berdekatan dengan orang itu, dia akan menampilkan keengganannya untuk berbicara. Alasannya masih sama, dia tidak ingin orang itu menyukainya. Padahal Alena tentu tahu jika orang itu tahu mengenai perasaannya.

"Apa?"

"Kelas lo disuruh ngambil buku seni rupa."

Alena memutar bola matanya. Dia kira Delvin akan meminta maaf akan perlakuannya tadi pagi, namun dia seharusnya tidak memikirkan hal itu. Alena tahu Delvin tidak akan meminta maaf karena memang Alena sendiri yang selalu salah.

"Oh ya. Gue bener-bener minta nomor lo. Dio rewel banget pengen video call sama lo."

Alena rasanya ingin pergi dari sini sekarang. Dia tidak habis pikir bagaimana bisa ada orang semenyebalkan itu yang mampir dikehidupannya.

"Nomor gue nggak ganti. Lagian gue bukan artis yang gonta-ganti nomor mulu." Alena memilih pergi, dia tidak ingin berlama-lana di dekat Delvin. Hanya di dekat Delvin semua perasaannya campur aduk, marah, sedih, senang, apapun itu. Entah sampai kapan dia akan seperti itu. Dia sudah lelah dan ingin segera lulus. Hanya dengan lulus dan berbeda univ nantinya, dia akan lebih mudah untuk menghapus semuanya. Semua tentang Delvin.


—--Bersambung--—

Between Us √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang