12. Olahraga

216 9 0
                                    

Hari jumat terkadang hari yang dibenci beberapa siswa, namun sebagian ada yang menyukainya alasannya tak lain dan tak bukan karena sebagai penghujung sekolah.

Semalam suntuk Alena belajar memahami pelajaran fisika dan mengerjakan soal-soalnya. Dari mulai soal teori sampai soal hitung-hitungan dia kerjakan. Pukul setengah tiga pagi dia baru tertidur. Alhasil paginya dia bangun kesiangan.

Mandi pukul 06.30, dan baru keluar rumah pukul 6.45. Jantungnya berdetak sangat cepat, dia benar-benar terlambat hari itu. Alena tidak mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, hanya sedang saja. Karena mau secepat apapun dia melajukan motornya dia tetap terlambat. Namun jantungnya berdetak tidak karuan. Untuk pertama kalinya dia datamg terlambat.

Pukul 7.05 dia sampai di sekolah. Keadaan gerbang yang terbuka sedikit membuat motornya bisa masuk. Di lapangan sudah ada Bu Fika, dan Bu Nita yang mengurus anak yang terlambat lebih dulu darinya. Bu Nita berjalan ke arahnya lalu mengambil kunci motornya. Menyuruhnya berbaris bersamaan dengan anak terlambat lainnya.

"Kamu terlambat kenapa?" suara Bu Nita yang menanyai siswa di depannya membuat Alena bingung jika nantinya sampai pada dirinya yang ditanyai.

Alena tidak mendengarkan jawaban dari siswa itu. Dia lebih sibuk mengisi buku yang diserahkan Bu Fika. Buku itu berisi catatan siswa yang terlambat. Setelah selesai mengisinya, Alena kembali menyerahkan buku itu pada Bu Fika.

"Nanti pasti ada lagi yang terlambat. Coba saja," kata Bu Nita. Bu Nita memang lebih cerewet daripada Bu Fika. Padahal Bu Nita lebih tua, entahlah orang tua memang terkadang lebih cerewet.

Benar apa kata Bu Nita, ada dua orang lagi yang terlambat setelah kedatangannya. Alena melihat jam digital yang dipasang di depan hall sudah menunjukkan waktu pukul 07.30. Jam pelajaran pertama kelasnya hari itu adalah mapel olahraga. Di kejauhan dia bisa melihat beberapa siswa yang berjalan ke gedung olahraga yang ada di sebelah barat lapangan hall. Bukan teman sekelasnya, melainkan teman sekelas Delvin. Rasa was-was tiba-tiba mampir di dadanya. Dia takut jika nantinya Delvin melihat keterlambatannya.

Jadwal olahraga kelas XII IPA 5 dan XII IPA 8 memang bersamaan. Terkadang Alena sangat kesal dengan jadwal yang dibuat waka kurikulum itu.

"Masih ada yang terlambat atau tidak." Bu Nita kembali bergumam.

"Nggak ada bu udah." Alena membalasnya tanpa sadar. Dia sudah lelah berdiri selama tiga puluh menit.

"Yeee. Itu mau kamu biar nggak berdiri lagi."

"Ya emang bu." Balasan Alena yang seperti berbicara dengan teman seumurannya itu menyulut tawa dari beberapa siswa yang mendengarnya.

"Yaudah sana ke ruang bk. Nanti ambil kunci juga." Akhirnya Bu Nita membubarkan barisan mereka. Alena sempat merasa khawatir jika nantinya Delvin lebih dulu melihatnya terlambat. Mau ditaruh mana mukanya.

Alena dan adik kelas yang terlambat yang sama-sama menggunakan motor, mendorong motornya ke arah parkiran yang cukup jauh dari hall.

"Kak, nanti tungguin ya," kata adik kelasnya yang tidak diketahui siapa namanya.

"Heem. Eh parkir sini aja dek." Alena membeloklan motornya dan memarkirnya di depan, agar adik kelasnya bisa parkir di belakangnya.

Setelah memarkirkan motor, mereka berjalan menuju ruang bk yang melewati ruang guru. Saat itu Alena berpapasan dengan teman-temannya.

"Lohhh Len, telattt?" tanya Feya dengan nada menggoda khasnya. Dasar perempuan itu.

"Husssttt. Berisik lo malu gue."

"Ohhh malu ya Len!" kata Shea menambahkan godaannya dengan suara yang lebih cempreng. Alena tidak tinggal diam. Dia membekap mulut sahabatnya itu. Tanpa sengaja matanya bertatapan dengan mata Delvin yang berjalan melewatinya.

Alena langsung melepaskan bekapannya pada Shea. Dia memilih berlari ke arah ruang bk mengurus keterlambatannya yang terhenti. Sebenarnya dia hanya ingin menghindar dari Delvin.

Setelah menyelesaikan urusannya di ruang bk, Alena mangganti seragamnya dengan pakaian olahraga. Sepatunya juga berganti dengan sepatu olahraganya berwarna moka. Rambutnya yang pendek dia biarkan, hanya pony-nya yang depan dia jepit dengan jepit rambut jepang.

"Haiii Len," sapa Shea, Feya, Ara, Melodi, dan Kanila.

"Hai. Ini olahraganya ngapain?" tanyanya ketika melihat kun diletakkan dipinggir kanan, kiri, dan tengah.

"Di suruh lari Len," jawan Ara sambil melihat lapangan yang sudah berganti siswa.

"Alena!" teriak Bu Syifa selaku guru olahraga.

"Lohhh kok gue?" tanya Alena dengan heran.

"Tadi laki-laki dulu Len, ini giliran perempuan. Udah sana." Kanila mendorong Alena mendekati start.

"Nomor absen lo diawal Len, kalau lo lupa." Gantian Feya yang berteriak menyadarkannya.

"Heh, dasar kedua toa itu." Alena menggumamkan kedua tingkah temannya yang memalukan.

"Siap, start, mulai!" suara nyaring dari peluit Bu Syifa menandakan dimulainya lari dua ratus meter itu.

Alena cukup cepat dalam hal berlari, bahkan dia jauh lebih dulu sampai di garis finish. Memang tidak ada yang meragukan kecepatan lari Alena. Perempuan itu jika sudah berlari bisa secepat kijang.

"Kijang!" gumam Delvin tanpa sadar.

"Uhuuuu." Alena tersenyum bangga setelah menyelesaikan larinya. Dia mendekat ke arah temannya. Mereka mengacak-acak rambut Alena dengan gemas. "Rambut gue rusak nanti."

"Rambut lo bagus sih. Jadi gue suka nguyel-nguyel. Lembut kayak rambut kucing." Ara masih belum selesai mengacak-acak rambut Alena. Padahal pemiliknya sudah memanyunkan bibirnya. "Udah jangan manyun. Tuh diliatin Delvin."

Alena bergerak memutat kepalanya. Mencari wajah yang sudah tidak asing itu. Dia menemukannya di antara anak laki-laki yang lain. Memang benar Delvin sedang menatapnya.

Hati Alena masih terlalu lemah untuk bertemu Delvin. Buktinya dia kini kembali merasa detak jantungnya berpacu lebih cepat seperti sebelumnya. Jika sudah seperti ini pasti dia akan semakin susah melupakannya. Padahal Delvin hanya menatap, bukan tersenyum padanya.

"Ingat, katanya mau move on." Suara Ara yang berhembus di telinga samping kirinya membuat Alena merinding.

"Kayak hantu aja lo."

"Udah, jangan diliatin. Habis ini olahraganya loncat tinggi. Yok ke sana."

Mereka kembali berjalan mendekat ke arah Bu Syifa yang masih menilai yang lain. Sebelum Alena sampai di tempat Bu Syifa. Kepalanya lebih dulu dihantam dengan bola voli. Alena terduduk di lantai sambil memegang kepalanya. Teman-temannya terkejut dengan apa yang terjadi.

"Auhhhh." Alena meringis kesakitan sambil mengelus-elus kepalanya.

"Ehhh. Gimana sih main bola kok asal. Nggak tahu disini banyak orang." Melodi langsung memarahi laki-laki yang berjalan ke arah mereka dengan wajah datar seperti biasa tanpa merasa bersalah.

"Sorry." Balasan singkat dari laki-laki itu membuat Melodi kesal. Alhasil dia menendang bola voli yang hampir di ambil orang itu.

"Lo kok nyolot!" laki-laki itu ikut kesal dengan tingkah Melodi yang dengan seenaknya menendang bola yang akan diambilnya.

"Apa salahnya minta maaf sih?! Kasihan temen gue kesakitan gara-gara lo."

"Lo nggak papa?" tanya laki-laki itu pada Alena. Alena menggeleng sebagai jawaban. "Puaskan! Temen lo aja bilang gapapa. Lo kok ribet." Laki-laki itu pergi meninggalkan Melodi.

"Udah Mel, udah. Ayok ke uks aja." Ara menarik tangan Melodi ke uks menemani Alena.

"Sumpah nyebelin banget itu cowok. Nggak punya rasa bersalah."

"Jangan gitu, nanti lo jadi suka malah sama dia."

"Amiit amiit."

—--Bersambung--—

Between Us √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang