19. Liburan Versi Alena

166 6 0
                                    

Definisi liburan bagi Alena. Bangun pagi-pagi sesuai jadwal sholat subuh. Kemudian tidur sampai jam sembilan pagi. Alena rindu hal itu. Kini dia masih terbaring di atas kasur. Padahal sudah pukul sepuluh.

"Lenn!!" teriakan bundanya yang ada di luar kamarnya kini menggema di dalam kamarnya. Ditambah suara ketokan pintu yang membabi buta. "Lenaaaa bangun! Mandi! Anterin catering bunda. Lennnn!"

Nihil, Alena begitu menikmati tidurnya seakan esok hari tiada waktu untuk bersantai. Sebenarnya dia mendengar suara bundanya. Hanya saja dia belum ingin membuka mata. Bantal, guling, dan kasurnya bagai magnet yang terus menarik besi di sekitarnya.

"Lennn! Kalau kamu nggak bangun, mama nggak akan buatin kamu cheescake lagi." Bundanya memang tahu kelemahannya. Mana mungkin Alena rela melepaskan makanan itu.

Alena bangung dari tidurnya. Dia mengambil handuk dan sabun pencuci wajahnya berjalan ke arah pintu. Ternyata bundanya masih di sana sambil menenteng spatula. Tatapan ibu-ibu garang langsung di dapatkannya.

"Masih bisa bangun? Bunda kirain udah nggak ke tolong," kata bundanya dengan sarkas. Mereka berjalan menuju dapur.  Di mana Alena berada di belakang bundanya.

"Gitu amat sih bun sama anaknya." Alena menguap, sebenarnya dia masih ingin tidur hanya saja bayangan cheescake di pikirannya tidak bisa dia tolak. "Berarti cheescake-nya jadi kan bun?"

Bundanya berbalik menatap anak gadisnya yang menguap lebar tanpa menutupnya. "Itu mulut lebarnya ngalahin gua, mau kalau serangga masuk?"

Alena mengamit lengan bundanya dengan manja. Maklum dia jarang bisa berinteraksi dengan bundanya. Tugas sekolah dan kesibukan anak sekolah lain selalu menjadi alasan Alena tidak bisa memiliki waktu berbicara panjang lebar dengan orang tuanya. Maka hari libur adalah hari yang benar-benar di tunggu.

"Bunda, buatin ya!" Alena merengek manja. Sudah lama juga dia tidak memakan cheescake buatan bundanya yang legend itu.

"Iyaa. Udah sana mandi. Terus anterin catering bunda. Nanti pas kamu pulang pasti udah siap sedia." Bundanya mengelus rambut Alena dengan sayang. Meski anaknya itu jarang keramas, satu minggu sekali tapi rambutnya masih wangi dan lembut.

"Yeyyyy!"

***

Seorang gadis dengan balutan baju lengan panjang berwarna kuning dengan gambar anak ayam di depannya dan celana panjang berwarna coklat mengendarai motornya dengan kecepatan penuh sebelum berhenti di tempat yang dituju. Kakinya yang berbalut sepatu kets berwarna abu-abu menjejak di pelataran salah satu lembaga bimbel terkemuka. Motornya dia parkirkan di sana. Berderet dengan motor siswa lainnya.

Alena sebenarnya ingin ikut menjadi siswa di bimbel itu. Namun sayang, uang kedua orang tuanya tidak sebanyak itu. Lagipula jika dipikir-pikir, biaya bimbel lebih mahal daripada biaya sekolahnya saat ini. Dia yakin tanpa bimbel dia pasti bisa diterima di universitas yang dia inginkan.

Alena menurunkan beberapa catering yang sudah disusun oleh bundanya. Dia membawa empat susunan itu. Sebenarnya cukup susah, apalagi tangannya tidak sebesar atau sepanjang tangan laki-laki pada umumnya.

"Mbak, saya mau mengantar catering ini!" Alena mengangkat tangan kanannya, memperlihatkan dua susun kotak catering. Resepsionis itu tersenyum kemudian mengangguk. "Sini mbak ikut saya. Mau saya bantuin?" tawar resepsionis itu dengan ramah. Alena mengangguk, dia memang kesusahan tidak ada salahnya jika mengiyakan.

Alena di bawa menyusuri lorong menuju kantor tutor. Beberapa ruang kelas terlihat muridnya dari kaca jendela. Ruangannya begitu indah dan bersih dengan pendingin ruangan yang ada di sana. Dekorasinya di sekitar lorong pun cukup menjual. Tidak salah jika biaya untuk menjadi siswa di sini begitu mahal. Mungkin uang delapan juta untuk bimbel bagi orang lain murah, tapi bagi keluarga Alena itu lebih dari cukup untuk tabungan.

"Di sini ruangannya. Bisa pegang ini dulu?" Resepsionis itu mengulurkan satu susun kotak yang di bawa. Dengan sigap Alena mengambilnya. Sang resepsionis lalu mendorong pintu kaca yang ada di depannya. Dinginnya angin ac langsung menyapa kulit Alena.

Ruangan dengan banyak meja dan beberapa orang yang sibuk di tempatnya menandakan tempat itu seperti ruang guru jika di sekolah. Alena lagi-lagi terpaku dengan suasana di sana. Terlihat begitu nyaman saat mendengar sang tutor berbicara ditelepon dengan siswanya.

"Bisa letakkan di sini." Resepsionis menyuruhnya meletakkan susunan kotak itu di samping meja depan. "Masih ada lagi? Kelihatannya itu masih kurang."

"Ohh. Iya mbak, masih ada dua susun di sana. Saya ambil dulu."

"Okee. Saya ada urusan lagi. Nggak papa ya kamu sendiri."

"Ohh nggak papa mbak. Saya bisa sendiri kok." Resepsionis itu pamit terlebih dahulu.

Alena kembali ke parkiran. Beberapa siswa yang baru datang menatapnya dari atas sampai bawah. Meneliti pakaian yang dikenakan Alena. Merasa risih dengan keadaan, Alena lebih memilih mempercepat langkahnya sampai ke parkiran.

"Dasar menyebalkan. Ngelihatinnya itu lohh pengen diculek pake garpu matanya," gerutunya sambil menurunkan dua susunan catering dari motornya.

"Alena?!" seru seseorang dari samping kanannya. Dia terkejut akan kedatangan Delvin. Alena menoleh ke arah tulisan yang ada di atas gedung bertuliskan Ganesha Operation. Dia lupa jika Delvin terdaftar sebagai siswa di sini. Bagaimana dia bisa ingat jika tujuannya melupakan Delvin? Tentu semua hal yang berkaitan dengan laki-laki itu berusaha dia lupakan. "Butuh bantuan?" tanyanya kemudian setelah melihat Alena membawa barang yang cukup berat.

"Tidak!" Alena menjawab dengan datar. Namun Delvin justru mengambil satu susunan itu. Alena terpengarah dibuatnya. Di saat dia sudah bertekad melupakan Delvin. Pasti ada saja hal yang secara tidak sengaja mempertemukannya dengan Delvin seperti kali ini. Apakah memang takdir yang mengecohnya? Entahlah yang jelas Alena hanya ingin segera lulus dan berhenti mengurusi semua hal ini. Dia sudah lelah dengan permainan takdir yang membawanya mendekat dan menjauh dari Delvin.

"Ayooo!" Delvin lebih dulu masuk ke dalam ruang bimbel. Alena memilih diam dan mengekori Delvin. Laki-laki itu tahu kemana dia harus membawa barang yang dibawanya. Ada kelegaan tersendiri. Apalagi Delvin tidak menanyainya hal yang macam-macam. Delvin diam bahkan setelah mereka selesai menaruh di ruang tutor berada.

"Makasih." Alena beranjak pergi meninggalkan Delvin. Dia berterima kasih tanpa menatap Delvin. Bahkan ketika Delvin memanggil namanya, Alena tidak berhenti maupun menoleh. Dia tidak akan kembali terperangkap dalam perasaan itu. Tekadnya sudah benar-benar bulat. "Maaf Vin, ini jalan yang terbaik buat aku," gumam Alena setelah keluar dari ruang bimbel.

Dia kembali melajukan motornya keluar area bimbel. Matanya melirik ke arah ruang keluar, hanya saja tidak ada Delvin. Dia memang berharap jika Delvin mengejarnya. Namun dia juga tahu itu tidak mungkin, dia tidak seberharga itu untuk Delvin.


—--Bersambung--—

Between Us √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang