(32)

1.5K 57 1
                                    

Bibir Aurine terangkat sedikit, seraya mengerjap. Ia memundurkan sedikit inci punggungnya. Ia tidak lagi bermimpi. Namun ia ingin kalau apa yang ada di depannya yaitu sosok jakung yang berdiri ini hanyalah sosok orang dalam mimpi saja, tapi tidak. Ia yakin matanya tadi membulat dan terkejut hingga terpaku, dan membisu cukup lama.

Dengungan sembarang arah terdengar, Aurine sadar dari kebekuaan tadi. "A-Apa tadi kau mengatakan sesuatu?" Aurine bertanya, anehnya ia sedikit kehilangan kata-kata karena pikirannya mengosong.

Aurine lupa sudah berapa lama mata dingin itu tidak muncul ditatapnya. Ia bahkan yakin bahwa mata dingin itu tidak akan pernah beruba lembut. Akan selalu dingin dan tajam sewaktu-waktu.

"Aku ingin membeli lukisanmu ini."

Aurine mengarahkan pandangan ke lukisan yang di maksud. "Matamu menilai sesuatu yang sangat bagus, Tuan Alexander Georgie Helander."

"Panggil nama Alex saja, aku seperti orang tua ketika kau memanggil nama lengkapku."

Aurine mengambil napas pelan-pelan, sehingga tidak mengundang perhatian Alex.

"Baik jika itu maumu." Aurine dapat mengontrol dirinya menjadi sangat tenang. "Jika tidak ada yang lain kau perlukan, silahkan menuju meja kasir untuk membayarnya."

Mata Alex mengerling pelan. "Aku ingin melihat-lihat sedikit lama lukisan-lukisan ini. Mungkin ada lagi yang menarik perhatianku, tak ada yang tahu lukisan-lukisanmu bisa saja kubeli semuanya."

Aurine mendengkus. Ia sedikit kesal kini Alex mengeluarkan cara terbaik; punya segala karena uang. "Terserah padamu saja."

"Jadi, bisa temani aku melihat-lihat? Penjelasan sedikit darimu seperti deskripsi atau arti lukisanmu ini aku ingin tahu."

Aurine mengulir bola mata ke atas, tugas tur menyebalkan bersama orang menyebalkan. Ia menatap kembali kepada Alex. "Mari ikuti aku."

Alex mengikuti Aurine. Langkah mereka bersejajar.

"Aku baru tahu bahwa kau sangat berani menerapkan konsep toko roti berkafe, dan studio lukis." Alex di samping berbicara.

"Kakakku mempunyai ide toko roti berkafe," jawab Aurine. "Aku hanya ingin toko roti dan studio khususku melukis di lantai 2 sebelumnya."

"Oh. Keluargamu punya perusahaan, dan kenapa tidak kau jalankan juga?"

"Aku ingin mandiri." Aurine tahu bahwa dirinya harus turut mengoordinasi perusahaan keluarga Kenar, tapi sudah ada Sang Kakak yang mengurusi perusahaan-perusahaan itu walau kadang-kadang, ia kadangkala di minta menghadiri rapat lalu datang setiap waktu kosong untuk mengobservasi berbagai data statistik akuntan perusahaan agar sistem perusahaan tetap berjalan sedemikian bagus.

"Omong-omong, Paman Ryan sudah datang bertemu denganmu?" tanya Alex.

Aurine menolehkan wajah. "Siapa Paman Ryan?"

"Jadi kau belum tahu?" Alex berhenti melangkah.

"Apa?" Aurine mengernyit bingung. Ia tak tahu apa pun bahkan tentang Paman Ryan. Siapa dan mengapa. Ia hanya menatap Alex menunggu respon pria itu.

Alex menggeleng. "Lupakan saja."

Tak ada yang tahu kapan mereka akan bertemu lagi. Atau Aurine akan segera tahu cepat atau lambat tentang perjodohan tidak masuk akal itu, akan tetapi telah masuk akal: hanya karena utang budi.

"Kita lanjutkan saja melihat-lihat." Alex berjalan, tapi tidak sejajar lagi langkah keduanya.

Aurine berjalan di belakang Alex. Punggung Alex menegap dan aura wibawa pria itu menyeruak, Aurine dapat merasakannya, hawa aneh yang tertutup, protektif, dan bersiaga setiap waktu, seolah-olah pria itu adalah manusia berdarah dingin penuh antisipasi perhitungan.

"Aku ingin membeli lukisan ini." Alex berkata tiba-tiba. Aurine mendelikan mata di belakang.

Kepala Aurine memutar ke samping kanan. Lukisan lampu merkuri malam di trotoar jalan balai kota bersama bangku besi panjang adalah lukisan yang Alex inginkan.

"Kau menggambar lukisan ini memikirkan musim apa?" tanya Alex seraya menyakukan satu tangan lalu melangkah ke arah tempat lukisan itu.

"Musim panas."

Pertama kalinya, Alex tersenyum. Tatapan Alex berubah lembut. Aurine cukup lama terpana memandang ekspresi baru dan kelembutan yang ternyata masih ada di dasar diri Alex.

"Kadang-kadang aku seperti di dalam lukisan ini. Maksudku duduk di bangku tepat di balai kota, melihat orang-orang berjalan ke berbagai arah, mempelajari ekspresi mereka yang terselip emosi-emosi sulit terbaca."

Sudut-sudut bibir Alex tertarik hingga menyunggingkan senyum lebar dan itu cukup manis.

Aurine mengerjap lagi dan sangat pelan. Ia terpesona lagi oleh senyum Alex. Pria itu sangat tampan ketika tersenyum seperti itu, seakan Alex menikmati angin musim semi. Aurine tersenyum dalam hati ia akan menyimpan senyum Alex itu dalam memori ingatannya.

Dan dering ponsel terdengar. Alex memasukkan tangan ke dalam saku celana. Dia mengambil ponsel lalu menjawabnya.

Aurine tidak memerhatikan Alex sedang menerima ponsel. Ia beralih menatap orang-orang datang satu persatu dalam studio.

"Apa kau punya pulpen?" tanya Alex tiba-tiba setelah mengakhiri panggilan ponsel tadi. "Tolong berikan padaku."

"Tunggu sebentar." Aurine menjawabnya lalu mengambil pulpen yang berada di saku belakang celana jinnya. Menyodorkan pulpen itu kemudian kepada Alex.

Aurine tersentak, Alex tiba-tiba menarik satu tangannya lalu menuliskan: 15049. Apartemen STAR No. 187.

Lalu Alex mengeluarkan dompet dan kemudian kartu hitam; sebuah kartu kredit elit dengan pembayaran eksklusif. Alex meletakan kartu hitam bersama pulpen di atas telapak tangan Aurine dan berkata dengan suara sedikit terburu-buru, "Gunakan kartu hitam ini sebagai pembayaran lukisan yang kubeli. Lima angka adalah kata sandi kartu hitam ini dan apartemenku telah kutuliskan. Aku tidak bisa berlama di sini. Kembalikan saja kartu hitam ini di apartemen yang kutuliskan di tanganmu."

Alex pergi dengan langkah lebar. Meninggalkan kebingungan bertanya-tanya dalam benak Aurine. Tak lama setelah itu Aurine tahu apa maksud Alex. Aurine kembali memandang ke arah bekas bayangan punggung Alex menghilang dan tersenyum tipis.

_______________________

Support me with vote or comments.
Thank you ...

Salam dan peluk hangat,
Ennve.

TD5BS [1]: Chasing Back of MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang