22. Sekat

16 5 4
                                    

Hari ini seolah menjadi hari yang sangat panjang bagi dua saudari kembar yang saat ini berada di dalam kamarnya masing-masing. Dera dan Dara kedua kakak beradik yang memiliki wajah yang sangat mirip, bahkan bisa dikatakan akan sulit untuk membedakan keduanya saat orang-orang baru mengenal mereka.

Saat menjelang sore hari keduanya baru sampai di rumat tepat pukul 16.00, setelah menjalankan rutinitas hariannya di hari libur saat ini. Bahkan secara tak sengaja keduanya sampai dirumah secara bersamaan. Dera dengan Fauzan yang mengantarnya, hingga depan gerbang rumahnya dan Dara yang terlihat berjalan kaki dari arah gerbang kompleks. Mungkin apa yang dilakukan Dara terlihat seperti hal biasa bagi sebagian orang yang memerhatikan gadis itu, namun tidak bagi Dera sendiri yang paham atas apa yang terjadi hari ini.

Cukup untuk mengguncang mental serta hatinya, ketika mengetahui satu fakta yang tak pernah ia harapkan. Mengenai satu tawa yang mampu meruntuhkan setiap kepercayaan yang dibangunnya. Hingga Dera dan Dara masuk bersama ke dalam rumah, keduanya bahkan tak mengucap apapun saat Dera ingin menyapa, Dara mendadak mempercepat langkahnya membuat Dera kembali membungkam mulutnya. Menyimpan setiap pertanyaan yang terpantri dalam otaknya yang menginginkan sebuah jawaban pasti atas apa yang telah dilihatnya tadi.

Hingga keduanya masuk ke dalam kamar masing-masing Dera masih saja memikirkan mengenai kejadian janggal yang ditemuinya. Mengenai Dara yang membohonginya, mengenai apa yang dilakukan oleh saudari kembarnya disana saat itu, tentang apa yang terjadi hari ini. Semua seolah membuatnya semakin menekan dirinya sendiri dalam satu waktu, membuat Dera sedikit menggeram menahan setiap perasaan yang ditahannya.

"Sebenarnya ini ada apa sih?" gumam gadis itu seolah bertanya-tanya dengan apa yang terjadi, namun pada dirinya sendiri.

Dera bergelung diatas ranjang miliknya seraya membenamkan wajahnya pada bantalan yang terdapat pada ranjangnya. Dengan helaan napas kasar gadis itu perlahan merasakan panas pada matanya. Seolah ingin menangis, namun tidak dapat menumpahkannya begitu saja.

"Setelah Bunda dan Papa, lalu siapa lagi yang bakalan jatuhin aku?"

"Setelah bepuluh tahun cuman ngerasain kasih sayang nenek dan kakek, terus dijatuhin sama keluarga sendiri. Habis itu siapa lagi yang mau bikin drama klasik ini gak tamat-tamat?"

"Terus jatuh, jatuh, jatuh, dan jatuh sampe kaki aku gemetar buat nyoba berdiri terus. Iya?"

Seperti seseorang yang terlihat tidak waras Dera menggerutu dengan beberapa pertanyaan yang entah ia lontarkan untuk siapa. Entah dia ajukan untuk siapa dan entah siapa orang yang bersedia untuk menjawabnya.

"DER, DI SURUH BUNDA MAKAN!"

Teriakan itu terdengar dari arah pintu kamar Dera, membuat si empunya kamar kembali mendesis setelah mendengar suara siapa yang membuyarkan lamunannya.

"Iya."

Dera hanya menjawab lirih tanpa orang diruang kamar mendengarnya, hingga sebuah gedoran yang cukup kencang mampu membangkitkan tubuhnya dengan paksa untuk melihat seseorang itu.

"Lo budek ya? Gue sudah teriak-teriak dari tadi loh," kata seseorang itu dengan mimik wajah yang nampak geram dengan nada suara sedikit dinaikan dan panggilan yang diubah.

"Lagian kamu ngapain teriak-teriak kayak tadi hm? kan gak ada yang suruh kamu, gak ada yang suruh kamu gendor-gendor pintu kamar aku juga dan kamu harusnya lebih bisa pelan-pelan kayak biasa tanpa harus naikin nada suara kamu, Dar."

"Terserah lo, cepetan turun!"

Setelah itu Dara pergi meninggalkan kamar Dera, berjalan menuruni tangga dan membiarkan Dera dengan sekelebat pertanyaan yang kembali bersarang pada otaknya.

"Dia kembaran aku, 'kan? Tapi kenapa dia biasa aja waktu bentak-bentak aku kayak gitu?"

Adera dan Adara~

Setelah Dera turun dari kamarnya dan saat ini tengah menduduki salah satu kursi yang berada di meja makan, gadis itu makan dengan lahap menghabiskan nasi dan juga lauk yang telah disiapkan oleh Bundanya.

"Gimana tadi jalan-jalannya, Der?" tanya Tania yang saat ini tengah duduk di sisi kanan Dera.

"Seru, Bun tadi aku main ke tama—"

"Telan dulu makananmu, Dara. Lagian Bunda lagi nanyain Dera bukan kamu," ucap Tania tanpa menatap kearah Dara membuat gadis itu sedikit mendengus dan dengan terpaksa melanjutkan makanannya.

"Biasa aja, Bun," jawab Dera setelah suasana menjadi hening seraya menoleh kearah Tania dan tersenyum.

"Emang tadi kemana aja?"

"Beli beberapa buku aja kok, Bun."

Tania hanya tersenyum mendengar jawaban Dera seraya mengusap kepala belakang Dera, lalu memerhatikan Dara yang saat ini ada di hadapannya dengan tatapan yang terlihat sedikit tidak suka.

"Dara, sendiri jadi pergi sama siapa tadi?" tanya Tania yang saat ini memfokuskan tatapannya pada Dara.

"Sama Ax—"

"Bun, aku keatas dulu," kata Dera memotoong penjelasan Dara yang justru membuat Dara tersenyum seraya menatap kepergiannya.

Dan sepeninggal Dera, kini hanya ada Dara dan Tania yang berada di meja makan, sedangkan Zainal sejak sore tadi tengah berada dirumah kerabatnya. Dara memerhatikan Tania, begitupun dengan Tania yang sejak tadi memerhatikan Dara dengan manik mata yang tidak ia lepaskan dari anak sulungnya itu.

"Dara, ada apa kamu sama Dera hm?" tanya Tania dengan nada yang sedikit menyelidik dan tatapan ia fokuskan sepenuhnya pada Dara.

"Gak ada, Bun aku gak suka aja dia dekat sama Axel."

"Harusnya yang bilang begitu Dera bukan kamu sayang dan harusnya kamu tau posisi kamu saat ini, sedangkan Dera? Dia pacarnya Axel loh."

"Aku gak peduli, Bunda aku gak suka pokoknya!"

"Kamu gak ngerasa apa yang Dera rasain? Ketika Dera sedih atau dia merasa sakit, kamu gak ngerasain apa yang dirasain juga?"

"Ngerasain, tapi aku gamau terus-terusan mikirin dia sampai aku lupa sama kebahagiaan aku."

Tania menghela napas sebelum menjawab, "harusnya semua kata yang kamu ucapin itu Dera yang sampaikan ke Bunda sama Papa. Bagaimana bisa kamu melupakan saudara kembar kamu sedangkan sejak kecil kamu yang selalu kami prioritaskan, Dar. Bahkan Dera seperti orang lain dikeluarganya sendiri, tapi dia tetap mau menerima Bunda ketika Bunda yang menjadi salah satu alasan dia jatuh berkali-kali dan juga kamu. Sebenarnya apa yang kamu harapkan dari kehidupannya Dera yang tidak lebig baik dari kamu hm?"

Seolah menulikan telinganya Dara bahkan tak menjawab apa yang dibicarakan oleh Tania, mengabaikan setiap kata yang Tania lontarkan melalui kalimatnya mengenai saudari kembarnya. Padahal jika boleh jujur Dara sendiri dapat merasakan kesedihan yang kentara dalam manik mata milik Dera, ketika gadis itu menangis atau merasakan dirinya terpuruk Dara juga ikut merasakan apa yang Dera rasakan.

Seolah telah menyalur pada dirinya yang notabenenya adalah saudari kembarnya. Dara hanya menyangkal dan membiarkan ego menguasainya, hingga ia lupa bahwa jalan hidupnya sedikit lebih beruntung dibanding Dera yang tak pernah merasakan perhatian maupun hal hal kecil seperti, bermain dengan kedua orang tuanya.

Terkesan egois, namun Dara tetap tak ingin mengalah pada Dera. Sekalipun kedua orang tuanya memperlakukan secara tak adil pada Dera, namun Dara seolah mengingikan setiap orang untuk terus memperhatikan dan hanya melihatnya saja tanpa adanya Dera.

Dan kini Dara seorang memberi sekat pada Dera untuk sekadar melakukan interaksipun Dara enggan melakukannya. Ia seakan memberikan batasan pada Dara saat ini, agar saudaranya tidak terlalu masuk dalam urusan pribadinya. Apalagi menyangkut satu orang yang saat ini sangat dekat dengannya. Bagi Dara sendiri Dera adalah boomerang baginya mengenai hal yang saat ini sedikit rumit bagi keduanya.

"Dar, Bunda cuman minta satu tolong jangan jatuhin Dera untuk kesekian kalinya."

"Bunda gak—"

"Aku sudah, Bun mau ke kamar," kata Dara memotong ucapan Tania. Tania hanya menghela napas melihat tingkah anak sulungnya yang sedikit aneh terhadap Dera.

Adera dan AdaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang