18. Percakapan Singkat

18 7 3
                                    

"Kita pulang dulu ya, Der," kata Raevy seraya melambaikan tangannya kearah Dera.

"Kak, duluan," ucap Galang dan Raga secara bersamaan.

"Gue pulang dulu lo jangan sedih-sedih lagi," kata Fauzan berpamitan seraya mengusap kepala belakang Dera dan diakhiri dengan laki-laki itu yang mengacak-acak rambut Dera.

Dera hanya mengangguk sebagai jawaban atas setiap ucapan yang dilontarkan oleh Raevy, Fauzan dan kedua adik kelasnya. Dera sengaja memesankan taksi yang berada di depan perumahannya untuk mereka dan menyuruh sang sopir untuk mengantarkan mereka pada tujuan mereka masing-masing.

Selepas kepulangan teman-temannya Dera masuk ke dalam rumahnya, namun saat baru beberapa langkah suara deru mobil terdengar dari luar gerbang rumahnya dengan langkah lebar Dera menuju gerbang, membukakan pintu dan memberi akses mobil sedan berwarna hitam tersebut untuk masuk ke pekarangan rumahnya. Setelah terparkir dengan rapi kedua orang tuanya keluar dari dalam mobil dan tersenyum hangat pada Dera.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Dera menyalami satu persatu telapak tangan Tania dan Zainal dengan senyum merekah yang tercetak jelas dibibirnya.

"Dara kemana?" tanya Tania yang kini mulai melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam rumah.

"Keluar, Bun tadi sama Axel," jawab Dera dengan nada yang sedikit lesuh.

Tania tau dengan nada bicara Dera yang terkesan sangat tidak bersemangat, ketika ia menjawab pertanyaan Tania. Tania tersenyum memberikan tasnya pada Zainal yang langsung diterima suaminya itu dengan senang hati.

"Papa mandi dulu ya."

Kini Dera dan Tania berjalan kearah sofa, mendudukan diri mereka masing-masing diatas sana dengan Dera yang mengambil duduk berdekatan dengan Bundanya. Tania duduk berhadapan dengan Dera menyisiri rambut putrinya itu menggunakan tangannya, memilinnya, lalu menyisirinya kembali.

"Kamu cemburu lihat Axel sama Dara hm?" tanya Tania yang masih terus memilin rambut Dera.

Tanpa menunggu lama Dera menganggukan kepalanya mantap tanpa mengeluarkan sepatah katapun dan menikmati setiap sentuhan pada rambutnya yang dilakukan oleh Tania.

"Sekalipun Dara itu saudari kembar kamu sendiri? Kamu bakalan tetap cemburu?"

Sekali lagi Dera mengangguk mengiyakan setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh Tania. Tania tersenyum dalam diamnya dalam beberapa saat ini, hingga membuatnya memeluk putri bungsunya dengan usapan lembut yang ia berikan pada belakang kepala milik Dera. Dera merasakan kelembutan itu pada bagian kepala belakangnya dan ia langsung balas memeluk Tania, mengusap punggung Bundanya dan menyembunyikan wajahnya diceruk leher Tania.

Sungguh hal kecil seperti inilah yang Dera inginkan sejak kecil. Suatu perasaan sayang yang diberikan oleh kedua orang tuanya pada dirinya yang menjadi seorang anak. Sebuah dekapan dan usapan lembut yang setiap pagi ia impikan kini telah menjadi sebuah kenyataan yang dapat ia rasakan.

Hingga tak terasa setetes demi setetes air mata jatuh membasahi kaos yang dipakai oleh Dera. Tania–Bundanya menangis dalam dekapannya dan dalam diam. Dera merasakan tubuh Tania bergetar hebat dalam pelukannya, membuat gadis itu semakin erat mendekap Tania. Di rengkuhnya tubuh tua yang nampak rapuh itu dan sesekali mengelus punggung kecil milik Tania.

"Bunda...." Dera memanggil Tania dengan lirih tepat ditelinganya, namun bukannya menjawab, tangisan yang awalnya tidak bersuara kini berubah menjadi isakan yang terdengar sedikit kencang.

"Bunda...." Sekali lagi Dera mencoba memanggil bundanya dengan berbisik ditelinganya.

Setelah itu Tania melepaskan pelukannya dari Dera dengan mengusap sisa-sisa air mata yang mengalir di pipinya. Tania tersenyum, lalu mengecup kening Dera dengan penuh kasih sayang. Dan tak lama Zainal terlihat berjalan kearahnya dengan Bundanya, lalu mengambil duduk di seberang tempatnya duduk saat ini.

"Bundamu kenapa?" tanya Zainal pada Dera yang kini tengah memfokuskan tatapannya pada Tania.

Dera hanya menghendikan bahunya tidak mengerti. Lalu Tania beranjak dari duduknya.
"Aku ke kamar dulu mau mandi, nanti kita lanjutkan pembicaraannya," kata Tania. Setelah itu berdiri meninggalkan Dera dan Zainal.

Zainal dan Dera yang hanya berdua dalam satu ruangan memilih bungkam tanpa mengeluarkan sepatah katapun, baik Zainal maupun Dera memutuskan untuk saling diam satu sama lain. Dera yang sibuk memainkan kukunya, sedangkan Zainal yang sibuk memerhatikan Dera. Menatap lamat-lamat anak bungsunya yang kini telah beranjak menjadi gadis remaja.

Zainal menarik kedua sudut bibirnya keatas, tersenyum seraya memerhatikan Dera dari seberang tempat duduknya.

"Bagaimana dengan sekolahmu, Dera?" tanya Zainal yang sukses membuat Dera menolehkan kepalanya dengan ekspresi yang sedikit kebingungan, karena mendapat pertanyaan tersebut dari Papanya.

"Baik," jawab Dera singkat. Membuat Zainal menghembuskan napasnya mendengar jawaban dari anak bungsunya tersebut.

"Kamu mencintai Axel?" tanya Zainal yang kini telah mendapat perhatian penuh dari Dera.

Pertanyaan yang sama diajukan oleh Bunda dan Papanya mengenai Axel. Entah kenapa ia merasa ada sesuatu yang seolah ditutupi darinya mengenai Axel maupun hubungannya, hingga membuat keluarganya menanyakan perihal perasaanya pada Axel yang sudah jelas terlihat dengan mata kepala mereka sendiri. Bagaimana Dera yang bersikap seolah bergantung pada Axel. Bagaimana gadis itu terus menjaga hubungan baiknya dengan Axel, menyelesaikan setiap masalah yang ada dalam hubungan keduanya secara bersama-sama. Namun mengapa semua hal itu masih dipertanyakan oleh keluarganya sendiri?

"Iya, Pa." Hanya jawaban singkat yang diberikan Dera pada Zainal tanpa mau memberikan penjelasan atau memperpanjang kalimat ucapannya.

"Sejauh apa hubungan kalian?" Sekali lagi Zainal melontarkan pertanyaan pada Dera membuat gadis itu tersenyum pada sang ayah sebelum mulai menjawab.

"Dera gak tau pasti sejauh apa hubungan kita, tapi Dera sama Axel sudah yakin satu sama lain soal komitmen yang kita bangun sejak 5 tahun yang lalu, Pa," jawabnya lancar seolah meyakinkan Papanya mengenai hubungannya dengan Axel yang menurutnya dalam jenjang yang mungkin akan naik pada tahap yang lebih serius.

Zainal mendengar jawaban Dera yang mantap dan yakin tanpa ragu membuat pria paruh baya itu tersenyum samar.

"Dera, kamu tau kalau yang 10 tahun saja bisa putus bagaimana dengan kalian? kenapa kamu bisa seyakin itu sedangkan kalian masih anak SMA yang bahkan belum mendapatkan ijazah resmi dari negara mengenai kelulusan kalian pada sekolah tingkat akhir untuk saat ini," kata Zainal dan bertanya dalam waktu yang bersamaan, membuat Dera mengernyitkan keningnya mengenai hal yang dibicarakan oleh Papanya.

"Bahkan yang satu bulan baru bertemu saja mereka bisa melanjutkan dalam tingkat yang lebih serius, Pa. Seenggaknya aku sama Axel sudah berusaha buat menjaga hubungan kita, memperbaiki apa yang salah, mengintropeksi diri sendiri, setidaknya aku sama Axel sudah usaha hingga sejauh ini, gak ada salahnya untuk mencoba terus berjalan dan melihat ke depan, Pa."

Zainal hanya terdiam mendengarkan setiap penjelasan panjang dari anak bungsunya itu, ia tidak pernah menyangka, jika Dera akan seyakin itu mengenai hubungannya dengan Axel yang notabenenya adalah anak dari sahabatnya semasa sekolah dulu.

Hingga tak lama dari itu Tania keluar dari dalam kamar dan melangkah dengan langkah kecil-kecil menghampiri suami dan anaknya dengan penampilan yang lebih bersih dan wajah yang terlihat segar.

"Biarkan Dera menentukan apa yang baik dan tidak untuknya, Pa kita bisa membimbingnya dari awal saat ini dan biarkan ia menjaga apa yang ia miliki saat ini," kata Tania seraya mengambil tempat duduk disamping suaminya.

Zainal yang memerhatikan istrinya hanya bisa mengangguk dan mengiyakan apa yang istrinya katakan.

Dan tanpa sadar percakapan itu membuat seseorang yang berdiri dibalik pintu utama rumah sedikit menggeram dan mengepalkan tangannya, karena terlihat kesal dengan apa yang baru saja di dengarnya.

"Lihat aja nanti," katanya lirih seraya tersenyum dibalik pintu berwarna cokelat gelap tersebut.

Adera dan AdaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang