Sesuai janji Arfan tadi, sesudah menyelesaikan tulisannya, ia kembali menemui Adera. Dengan senang hati Adera berbagi ilmu dengan temannya itu. Meski tidak semua materi karena sebagian masih belum dijelaskan oleh guru.
"Gimana? udah lumayan paham kan?" tanya Adera
"Gak susah-susah banget ya ternyata materinya, apalagi penjelasan dari loe itu ringkas dan padat, jadi cepet masuk ke otak. Coba aja gurunya kayak loe, pasti lebih seru. Bu Dina tuh jelasinnya berbelit-belit, susah dipahamin. Selain itu juga suasananya membosankan, makanya banyak yang mengantuk." ucap Arfan mengeluarkan keluh kesahnya
"Gak boleh gitu, kan cara orang ngajar tuh beda-beda. Dia itu guru kita, orang tua kedua, dia juga memberi kita ilmu. Oleh karena itu, kita harus menghormatinya." ucap Adera
"Iya deh, susah ya ngomong sama ustadzah, selalu di ceramahin." ucap Arfan dengan nada bercanda
Adera memukul pelan bahu kiri Arfan, namun cowok itu malah lebay seperti ada anak panah yang menancap dibahunya.
"Aduuh, sakit banget ini. Jadi cewek kasar banget ya, kalo tulang gue retak gimana?" Arfan menampakkan muka sedihnya, pinter bersandiwara nih cowok.
Adera lantas tertawa setelah Arfan mengatakan hal itu, sampai-sampai matanya berair.
"Dipukul pelan aja reaksinya gitu banget. Mau bohong? mau ngebohongin anak PMR? gue tau kali kondisi kalo tulang retak itu gimana."
"Kok ketahuan? apa gara-gara akting gue kurang bagus atau loe yang terlalu pinter sampai susah buat dibohongin? eh tapikan gue anak teater, akting gue juga lumayan bahkan pernah tampil dalam drama." tanya Arfan heran
"Yaiyalah ketahuan, gue mukulnya pelan tapi bilangnya sakit banget, ketahuan bohong itu."
Adera masih belum menghentikan tawanya, bahkan air matanya mulai mengalir. Arfan yang melihat itu berniat mengusap air mata Adera, namun keburu gagal karena ditepis Adera.
"Mau ngapain?" tanya Adera
"Ngusap air mata loe, ntar malah dikira gue bikin nangis anak orang." jawab Arfan
"Gak usah pegang-pegang, gak boleh. Gue gak nangis, cuma terlalu tertawa doang." ucap Adera datar
"Waktu dia mukul gue, gue gak marah. Giliran gue lembutin, mau bantu ngusap air matanya eh reaksinya datar banget. Aneh banget sih." gumam Arfan
Tiba-tiba ada yang megang bahu Arfan.
"Siapa yang megang bahu gue? aduuh mbak kunti ngapain muncul siang bolong gini sih, gak ada kerjaan banget. Sana balik ke pohon kemboja, ngerumpi kek sama temen loe yang sesama kunti, jangan ganggu gue." ucap Arfan tenang tanpa melihat ke belakang. Dasar cowok drama.
Sebuah jitakan mendarat di kepalanya, membuat Arfan menoleh pada orang yang mengganggu waktunya itu.
"Kampret, gue yang ganteng gini dibilang kunti, mata loe rabun?! sama pake kacamata minus." ucap Gavyn, si ketua kelas
"Serah gue, ngapain loe kesini?"
"Sibuk pacaran ya loe, sampe tugas gak diperhatikan lagi." ucap Gavyn kesal karena banyak hal yang harus diurus tapi Arfan tak membantunya
"Siapa yang pacaran? gue lagi belajar kali."
"Loe sama Adera bukannya pacaran?"
"Ya nggak lah, sotoy loe!" Arfan balas menjitak Gavyn
"Kenapa debat sih? udah dong." lerai Adera, hari ini di sudah 2 kali melerai perdebatan Arfan.
"Ngapain loe kesini?" tanya Arfan sekali lagi
"Bantuin gue bawa buku ke ruang guru."
"Itu doang?"
"Buruan, ntar keburu diomelin."
"Loe sendiri gak bisa?"
Arfan sedang malas jalan menuju kantor guru, karena jaraknya cukup jauh.
"Tangan gue cuma 2, mana sanggup bawa tumpukan buku!" Gavyn mulai emosi
"Santai aja bro, gue bantuin kok." Arfan beranjak pergi untuk membantu Gavyn. Namun sebelumnya ia sempat mengelus kepala Adera lebih dulu, ralat lebih tepatnya mengacak jilbabnya sampai membuat si empunya kesal.
"Arfan iih, jilbab gue berantakan." ucap Adera kesal
"Woy buruan, pacarannya nanti aja!" teriak Gavyn
Arfan segera menemui Gavyn, takutnya atasannya itu marah-marah lagi. Dan juga kalo ia berada di dekat Adera, nanti malah kena ceramah dan omelan karena membuat jilbabnya berantakan. Arfan memilih jalan aman.
Mereka berdua keluar kelas sambil membawa buku-buku yang memenuhi tangan mereka.
Jangan lupa vote and comment🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di Atas Luka
Teen FictionAdera Aurelia Fathina hanyalah gadis sederhana, meskipun keluarga termasuk keluarga berada. Ia hidup dengan kasih sayang orang tua, sahabat dan orang-orang di sekitarnya. Ia bergabung dengan organisasi PMR, alasannya karena ingin menolong banyak ora...