21. Pasar Malam

101 14 0
                                    

Setelah makan di cafe tadi, Dicky memutuskan untuk mengajak Adera ke pasar malam. Adera sangat bersemangat ketika tiba di sana. Suasananya berbeda saat di cafe tadi. Matanya berbinar melihat berbagai arena permainan.

Dicky rasa dia tak salah tempat. Buktinya Adera terlihat sangat bahagia. Adera menarik tangan Dicky dengan tidak sabaran. Padahal Dicky baru saja memarkirkan motornya. Dicky hanya berjalan di belakang karena tarikan di tangannya.

"Wah, banyak banget permainannya. Aku pengen coba semuanya." ucap Adera girang

"Serius mau coba semua?"

"Kalo bisa aku mau coba semua. Kelihatannya seru gitu. Aku baru punya beberapa pengalaman naik wahana permainan di pasar malam. Makanya kalo bisa aku mau cobain semuanya."

"Banyak banget lho." ucap Dicky

"Gak papa, kalo aku bisa naik semuanya kenapa harus nggak?"

Dicky hanya berjalan mengikuti langkah Adera tanpa komen lagi. Dengan melihat senyuman Adera sudah menjadi hiburan sendiri untuknya.

Mereka sudah berada di tengah-tengah pasar malam. Semakin banyak orang yang berdesakkan. Takut nantinya terpisah, Dicky melepaskan tangan Adera yang berada di lengannya dan menautkan jari mereka.

Adera yang memimpin jalan, dengan Dicky yang berada di sampingnya. Bahu keduanya bahkan bertubrukan. Dicky semakin erat menggenggam tangan Adera.

Adera berhenti di salah satu wahana, bianglala. Ia menunjuk-nunjuk sambil menatap ke arah Dicky.

"Aku mau naik bianglala."

"Gak takut?" tanya Dicky

"Nggak, aku gak pernah naik itu. Makanya mau ngerasain gimana berada di sana. Aku gak takut ketinggian kok." ucap Adera meyakinkan

Dicky mengangguk. Dia menarik Adera menuju penjualan tiket. Tak perlu waktu lama, 2 tiket bianglala sudah berada di tangan Dicky.

Kini giliran mereka yang masuk. Mereka duduk berseberangan. Sangkar yang mereka tempati mulai naik. Dicky menatap mata Adera. Tidak ada rasa takut sama sekali. Matanya memancarkan kebahagiaan. Bibirnya melengkung membentuk senyuman.

"Aku seneng. Aku bisa liat pemandangan pameran dari sini. Coba kamu liat deh. Indahkan lampu-lampunya?"

Dicky ikut melirik sampingnya, sama seperti yang di lakukan Adera. Pemandangan dari atas memang indah. Mereka bisa melihat keramaian dan lampu-lampu yang bersinar.

Tangan Dicky terulur untuk mengelus kepala Adera. Mata Adera yang semula menatap pemandangan pameran kini beralih menatap wajah Dicky. Seakan menghipnotisnya.

Tangan satunya dia gunakan untuk menggenggam tangan Adera. Dia merasakan tangan yang dulu merawatnya, menyuapinya, dan memberinya kehangatan. Kelembutannya masih sama, tidak ubah sedikitpun.

"Gue lebih suka liat senyuman loe." ucap Dicky lembut, namunya efeknya begitu besar untuk Adera. Sekali Dicky berucap, maka jantung Adera yang akan bermasalah. Jika seperti ini terus, bisa-bisa Adera akan mati muda.

Suasana menjadi canggung. Dicky berdehem berupaya meredam kecanggungan ini. Sementara Adera masih berusaha menormalkan detak jantungnya yang terus saja berpacu cepat jika Dicky sudah bicara.

Waktu permainan sudah habis. Dicky turun lebih dulu kemudian membantu Adera turun. Padahal tanpa dibantu pun, Adera bisa sendiri.

Mereka berjalan-jalan memilih wahana selanjutnya yang akan mereka naiki.

Dicky dengan sigap menahan tubuh Adera yang hampir saja terjatuh akibat bertubrukan dengan pengunjung lain yang berjalan berlawanan arah. Tangannya merangkul pinggang Adera possesive. Takut-takut kejadian barusan terulang. Ia hanya tidak ingin Adera terluka, itu saja.

Cinta di Atas LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang