SEPULUH

8.4K 783 25
                                        

Siang ini seperti biasa, Dika langsung pulang ke rumahnya begitu jam sekolah telah usai. Pemuda itu segera mengemasi barang-barangnya dan berniat pergi meninggalkan sekolah.

"Dika, lo mau pulang?" Dika menoleh saat mendengar suara Teo, ia pun mengangguk sebagai jawaban.

"Iya."

Teo berjalan mendekat. Tangan kanannya melingkari pundak Dika, merangkul pemuda itu. Namun sepertinya Dika sama sekali tidak masalah dengan itu.

"Gue anter sampe depan," kata Teo. Dika menaikkan sebelah alisnya.

"Lo gak pulang?" Teo mengangguk. "Oh, ada urusan sama Bunda lagi kah?" tanya Dika lagi. Teo kembali mengangguk-angguk tanpa melepaskan rangkulannya tersebut dari bahu Dika.

"Lo pengertian banget sih sampe tau kebiasaan gue, ciee," ujarnya sembari menoel pipi Dika jahil. Bola mata Dika langsung berputar ketika Teo melakukan hal tersebut. "Jadi mirip kayak istri gue aja deh."

Dika memukul lengan Teo sebal. "Gue cuma nebak, cih." Ia segera melepaskan rangkulan Teo dan berjalan lebih dulu meninggalkan teman dekatnya itu.

"Eh? Tunggu dong, beb!"

"Gak denger!"

Langkah Dika bukannya melambat justru semakin cepat, ia menutup kedua telinganya agar tidak mendengar lagi ocehan Teo yang menyebalkan itu.

.

.

.

Seperti biasa, suara gumaman Dika yang bernyanyi terdengar di sepanjang perjalanan pulangnya. Ia bernyanyi pelan untuk sekedar menghilangkan rasa bosannya, terkadang Dika berharap akan memiliki teman pulang bersama, tapi sepertinya itu sedikit mustahil mengingat banyaknya orang yang membencinya akibat ulah Rega dan kawan-kawannya. Namun Dika tidak terlalu mempermasalahkannya lagi.

Tanpa Dika sadari, sedaritadi ada sesosok pria berbadan besar yang tengah mengikutinya. Awalnya memang terlihat hanya seperti orang lewat saja, namun lama kelamaan pria itu terlihat jelas tengah mengikutinya.

Dika yang mulai merasakan hawa berbeda itu pun langsung berlari kencang sebisa mungkin. Padahal ia belum tahu kebenarannya, apakah orang itu memang mengikutinya atau tidak. Tapi instingnya berkata bahwa ada orang jahat yang tengah mengikutinya!

Dika berlari dan lalu berbelok di sebuah tikungan, namun ia justru bertabrakan dengan seseorang.

"Maaf---"

Belum sempat Dika mendongak untuk melihat siapa yang telah ia tabrak, tiba-tiba saja seseorang membekap mulutnya dari belakang. Dika mencoba untuk memberontak, namun perlawanannya kian melemah ketika kepalanya mulai terasa pusing dan berat. Dika pun jatuh dan tidak sadarkan diri akibat mencium obat tidur yang berasal dari sapu tangan tadi.

"Cepat bawa ke mobil."

***

Reno mendelik kesal pada adik kecilnya yang kini tengah duduk di atas kasurnya.

"Nino! Udah kakak bilang, jangan masuk sembarangan ke kamar kakak," omel Reno masih menatap Nino tajam. Nino melirik Reno sekilas lalu kembali menunduk dan sesenggukan, walau begitu Reno tidak merasa iba sedikit pun.

"Lagian, hiks, tadi Nino udah minta tolong b-buat telponin Mas Dika. Kakak malah gak mau, hiks. Aku jadi masuk sendiri mau p-pinjem ponsel kakak," jawabnya menggemaskan sambil mengusap kedua matanya dan masih menangis. Reno menghela nafasnya panjang.

"Yaudah sih, gak usah nangis." Reno duduk di sebelah adiknya dan menepuk pelan kepala Nino dua kali. "Kamu mau ngapain nelpon Dika?" tanya Reno yang kini merangkul dan mengelus pundak Nino lembut, entah kenapa sikap kasar Reno pada adiknya makin lama menghilang dan kini ia bisa jauh lebih sabar.

"Mau---"

"Arjuna, kan?" Reno memotong jawaban adiknya. Nino mengangguk kecil, tangannya sudah tak lagi mengusap kedua matanya. Nino mendongak, mata bulat yang berkaca-kaca itu kini menatap ke arah Reno. Reno yang melihatnya sampai terkekeh kecil karena merasa adiknya sangat menggemaskan.

Kenapa Reno baru sadar?

"Kakak...."

Reno mengangguk. "Iya, kakak telponin. Gak usah nangis, cengeng." Reno bangkit dari duduknya dan berjalan ke meja belajarnya, ia mengambil ponselnya lalu kembali duduk di atas kasur. Ia mencoba mencari nomor telpon Dika dari ketua kelas, tentu saja Reno tidak punya nomor telpon Dika. Mereka tidak pernah bertukar nomor telpon.

Nino beringsut untuk lebih mendekat. Ia sudah tidak menangis, ia menatap ponsel Reno penuh harap. Nino sangat rindu pada Arjuna, ia ingin kembali bermain bersama adik Dika itu. Bahkan Nino sudah berniat untuk mengajak Juna untuk menginap nanti jika memungkinkan!

"Dika gak ngangkat," gumam Reno yang sedaritadi mencoba untuk menelpon nomor Dika yang diberikan oleh ketua kelas, namun tidak ada tanda akan ada yang mengangkatnya.

"Mas Dika masih sekolah?"

"Ya enggak lah. Kakak aja udah pulang masa Dika masih di sekolah," jawab Reno yang mengernyitkan dahinya. Reno mencoba sekali lagi untuk menelpon Dika, dan kali ini tersambung!

"Dik---"

"Ah~ Kebetulan banget, Reno?" Orang di sebrang telpon tertawa geli. Reno diam dan mengecek apakah ia telah menelpon ke nomor yang benar, namun ia memang tidak salah menelpon. Ini nomor Dika.

"Kenapa diem aja, hm? Nyari Dika, kan?" Orang di telpon kembali bersuara setelah cukup lama Reno hanya terdiam. "Dia ada di sini. Mau ngobrol sama dia?"

"Mas Dika!" Nino tiba-tiba berteriak memanggil nama Dika. "Mas Dika dimana? Om siapa? Mana Mas Dika? Jangan culik Mas Dika!" ucapnya sedikit memekik karena khawatir.

Nino sudah lebih dulu cepat tanggap bahwa Dika dalam bahaya, sedangkan Reno hanya membuka mulut tanpa mampu berkata-kata.

"R-Re-no...."

Seperti disengat aliran listrik, Reno tersentak mendengar suara Dika di telpon.

"Dika?!"

"Re ... j-jangan ke sini, lo--akh! A-agh." Suara pukulan yang cukup kuat terdengar bersamaan dengan pekikan dan rintihan Dika. Reno seketika itu pula panik sampai ia melompat turun dari kasur dan berdiri tegak.

"Dika?! Lo dimana?! Lo gapapa?!"

"Hahahaha, Reno gimana? Mau nyelamatin dia atau enggak?" Tanya suara pertama yang tadi mengangkat panggilan Reno. "Lo bisa ke sini kalau mau nyelamatin dia, tentu aja dengan gak bawa polisi. Paham, Reno?"

"R-Re ... jangan---"

Sambungan telpon dimatikan secara sepihak. Reno menggertakkan giginya, ia harus menyelamatkan Dika bagaimana pun caranya. Dika tengah dalam bahaya yang sejujurnya Reno sendiri tidak tahu.

"Mas Dika, Kak, M-Mas Dika." Nino kembali menangis dan turun dari kasur, ia memeluki kaki Reno dengan wajahnya yang terlihat ketakutan.

Reno berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Nino, sebagai kakak ia harus menenangkan Nino yang masih kecil. Reno memeluk Nino dan membisikkan kata-kata penenang.

"Jangan takut, kakak bakal ke sana dan selamatin Dika."

To be continued

Cinta yang TabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang