DUA PULUH DUA

6.4K 597 12
                                    

Setelah lebih dari lima bulan Reno berperang dengan pelajaran, kini akhirnya ia bisa lulus dan diterima di sebuah universitas ternama. Walau begitu, tidak ada raut bahagia sama sekali di wajahnya. Reno justru terlihat seperti orang yang baru bangun dari tidur panjangnya, wajahnya sama sekali tidak menampilkan semangat atau gairah kehidupan. Padahal ia sudah belajar segiat mungkin akan melupakan semuanya, namun nyatanya pikirannya masih tertuju pada kejadian di kantin tempo dulu.

Reno tidak habis pikir, bagaimana bisa ia menghabiskan waktunya hanya untuk terus memikirkan tangan Dika yang gemetar---yang bahkan mungkin sekarang Dika sudah baik-baik saja. Ia sudah mencoba menghindari Dika sebisa mungkin, namun sepertinya otaknya memang tidak pernah mau bekerja sama dengannya. Yang ada di pikiran Reno selalu dan terus menerus soal Dika.

Nino yang saat itu tengah makan malam dan duduk di hadapan Reno, menatap kakaknya dengan pandangan khawatir.

"Kakak sakit?" tanyanya sambil mengerutkan dahinya dalam, menatap Reno yang berada tepat di hadapannya.

Reno hanya melirik sekilas ke arah Nino dan kembali menatap makanannya yang sama sekali tidak menggugah seleranya. Tidak menerima jawaban apapun dari Reno, Nino pun bergegas turun dari meja makan dan menghampirinya. Ia menyentuh kaki Reno dan menggoyangkannya sedikit.

"Kak Ren gak makan?" Suara Nino lagi yang berhasil menarik perhatian Reno hingga pemuda itu menatap ke arah Nino.

"Makan," jawab Reno pelan. Ia mengelus pucuk kepala Nino kemudian mengambil sesendok makanan untuk ia masukkan ke dalam mulut. Melihat Reno akhirnya makan, Nino langsung tersenyum lebar, ia berlarian kecil dan kembali ke tempat duduknya untuk melanjutkan juga makannya yang sempat terhenti.

"Juna udah lama gak main ya," suara gumaman Nino terdengar sampai ke telinga Reno. "Juna masih belum dibolehin main kah? Kan sekarang udah naik ke kelas dua, jadi harusnya dia udah gak usah belajar terus dan bisa main ke sini lagi," katanya lagi sambil mengembungkan kedua pipinya dan terlihat bersedih.

Soal itu, Reno mengarang sendiri cerita bahwa Arjuna tidak dibolehkan main ke rumahnya karena memang kebetulan saat itu waktu yang pas dengan kenaikan kelas. Untungnya Nino percaya saja dengan bualannya tersebut, tapi akhir-akhir ini Nino mulai kembali membicarakan soal Arjuna.

Waktu itu sempat Nino memaksa Reno untuk mengunjungi Arjuna, akhirnya karena kesal diberikan pertanyaan seputar Dika, Reno sampai membentak Nino dan mengusirnya keluar dari kamarnya hingga membanting pintu di hadapan anak kecil tak bersalah itu. Nino sampai menangis kencang dan akhirnya ditenangkan oleh Azam. Daddy mereka yang ketika itu sedang bekerja pun langsung pulang ke rumah saat itu untuk mendamaikan kedua putranya tersebut. Reno bahkan sampai tidak diberikan uang jajan sepeser pun selama dua minggu karena bertingkah terlalu kasar pada adiknya. Tapi saat itu, Reno hanya diam dan tidak memperdulikannya sama sekali. Jika biasanya ia akan mencoba bernegosiasi, tapi tidak dengan hari itu karena pikirannya sedang sangat kacau.

"Kalau udah boleh juga bakal dibilangin," sahut Reno seadanya pada Nino.

Dering telpon dari ponsel Reno mengalihkan pikirannya yang terus mengawang kemana-mana. Reno melirik ke ponselnya yang menyala dan mengernyit heran ketika melihat nama Eron di sana, karena memang sejak Rega dan Eron pergi ke luar negeri mereka sudah tidak pernah saling menghubungi.

"Siapa yang telepon, kak?"

"Temen," jawab Reno singkat. Ia meminum minuman di gelasnya hingga tandas lalu bangkit dari duduknya. "Kakak mau angkat dulu."

Tanpa menunggu jawaban dari Nino, Reno pun pergi ke kamarnya untuk mengangkat panggilan tersebut.

"Halo, Reno. Apa kabar?" Suara Eron di sebrang sana yang pertama kali terdengar di detik kedua setelah panggilannya dijawab oleh Reno. "Lagi sibuk?"

Cinta yang TabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang