DUA PULUH SEMBILAN

6.9K 516 34
                                    

Uap halus dari gelas kopi di hadapan Dika sudah tidak terlihat. Benda mati itu menjadi saksi kecanggungan diantara kedua pemuda yang tengah saling berkeliaran dalam pemikirannya masing-masing.

"Dia siapa, Dika?"

Suasana ramai kafetaria yang terasa sepi dan sesak bagi Dika, juga seseorang yang terus mendorongnya dengan pertanyaan membuatnya kebingungan.

"Mas aku beneran minta maaf," katanya mencoba kembali memperjelaskan penolakannya secara halus. "Aku bakal jujur kalau aku emang gak ada ketertarikan sama perempuan. Aku gak jijik atau benci sama Mas sama sekali, tapi aku gak bisa ... maaf, Mas! Aku bener-bener minta maaf," kata Dika kemudian menunduk dalam.

"Kalau lo emang sama kayak gue, kenapa gak bisa terima cinta gue, Dik?"

"Karna aku gak bisa...."

"Kenapa?" Ilham sejujurnya sama sekali tidak puas dengan jawaban yang Dika berikan, tapi begitu pemuda di depannya mengangkat wajahnya kembali bisa ia lihat ada genangan air mata di pelupuk mata pemuda itu. Hatinya seakan runtuh seketika begitu melihat sosok yang baru saja ia sadari keberadaannya ada di hatinya itu, menangis.

"Dika---"

Dengan cepat Ilham berpindah tempat di sebelah Dika dan merengkuh tubuh itu ke dalam pelukannya. "Please jangan nangis, gue minta maaf udah maksa lo," bisik Ilham yang merasa bersalah dan baru tersadar dengan keegoisannya.

Dari awal bertemu dengan Dika Ilham sudah mengganggapnya seperti adiknya sendiri, pria itu menyayangi Dika bagai keluarganya. Seharusnya memang begitu sejak dulu, sebelum akhirnya perasaan sayangnya semakin berkembang dan berubah menjadi keegosian dimana Ilham hanya ingin Dika bersamanya seorang. Demi apapun, ia tidak pernah mau menyakiti seseorang yang sudah dianggap seperti adik kandungnya sendiri.

"Mas...."

Ilham masih memeluk Dika, bahkan walau beberapa mata di kafetaria sudah tertarik dan menatap ke arah mereka, Ilham sama sekali tidak perduli. Beruntunglah tidak ada yang berpikiran buruk karena mereka sudah kembali ke aktifitasnya masing-masing, tidak ada yang terlalu perduli. Kecuali satu orang.

"Gue harusnya jaga lo bukan malah bikin lo nangis kayak gini," kata Ilham. Suaranya sudah sedikit melunak dari sebelumnya---yang terus menekan perkataannya untuk mendesak Dika. "Lo udah kayak adik gue, Dika."

Dika sendiri tidak tahu bagaimana bisa emosi seseorang bisa berubah secara drastis di waktu yang berdekatan, tapi mendengar nada penyesalan Ilham membuatnya merasa lega. "Makasih, Mas," balas Dika kemudian tersenyum dalam pelukan Ilham.

Dika membalas pelukan Ilham sejenak kemudian melepaskan pelukannya lebih dulu. Ia menatap Ilham sedikit buram, memang benar sebelumnya Dika hampir ingin menangis karena merasa ditekan, tapi tidak lagi sekarang.

"Mas juga udah kayak kakak aku sendiri," kata Dika kemudian menghapus sisa air matanya. "Ah, kenapa aku malah nangis. Maaf maaf, pasti karena aku nangis Mas jadi sedih kayak gini." Pemuda itu segera menyambar tissue di meja dan mengelap wajahnya.

Ilham menggeleng. "Tapi gue beneran nyesel," bantahnya ketika Dika menyebut alasannya menjadi lebih lembut karena pemuda itu menangis. "Gue tadi kayak kerasukan sesuatu sampe terus nyalahin apapun dan maksa lo," sesal pria itu kemudian seraya menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.

Kali ini gantian Dika yang menggeleng cepat. "Mas gak sepenuhnya salah. Aku paham perasaan, Mas," jawab Dika yang sedikit memelan di akhir kalimat.

Tentu saja Dika sangat paham bagaimana rasanya ketika perasaan yang sangat sulit untuk diutarakan karena posisi mereka yang sesama jenis, harus diucapkan dan berakhir dengan sebuah penolakan. Sesuatu yang setabu itu, harus berakhir dengan mengenaskan.

Cinta yang TabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang