DUA PULUH DELAPAN

6.5K 536 41
                                    

Pada akhirnya mereka memilih untuk duduk di meja makan sekaligus membicarakan tentang bagaimana Reno bisa sampai ke tempat ini.

Suasana meja makan yang sedikit hening membuat Dika tidak nyaman, sebisa mungkin ia memutar otaknya untuk mencairkan suasana. Ia sudah menjelaskan semuanya pada Teo tadi, tapi bukannya membaik semuanya justru terlihat sangat kaku sekarang. Apa yang harus Dika lakukan?

Reno yang pertama kali menyelesaikan sarapannya, wajahnya yang terlihat masih mengantuk menjadi pusat perhatian Dika. Ini masih pagi dan mereka justru membuat suasana secanggung ini, Dika jadi tidak enak.

"Jadi setelah lulus, kalian akhirnya tinggal bareng?" Pertanyaan Reno barusan mengejutkan satu orang, tentu saja Dika, karena dia yang tadi sempat melamun.

Teo mengangguk dengan santainya. "Iya, gue yang nyuruh dia tinggal di sini. Jarak dari sini ke kampus lebih deket," jawabnya tenang sambil mengedikkan bahunya.

"Jarak ke kampus yang deket atau emang lo niat jauhin dia dari gue?" tanya Reno sedikit sarkas sambil menatap Teo menunggu jawaban. Dika sedikit menyela pembicaraan mereka.

"Bukan, gue udah bilang kemarin, Re. Bukan sepenuhnya salah Teo," katanya. Namun sepertinya diabaikan oleh Reno, karena pemuda itu langsung melanjutkan ucapannya tanpa perlu repot menoleh ke arah Dika.

"Kenapa lo jawab kalau lo gak tau Dika dimana sedangkan selama ini dia tinggal bareng lo? Lo sengaja nyembunyiin dia, kan?"

Memang benar jika Teo tidak pernah menjawab keberadaan Dika sama sekali setiap Reno meneleponnya. Tapi itu adalah bagian dari rencana mereka untuk menjauhkan Dika dari Reno. "Iya gue emang sengaja," kata Teo yang menaruh sendoknya ke piring, nafsu makannya sudah tidak ada entah hilang kemana. "Gue cuma gak mau lo main-main sama Dika dan nyakitin dia lagi.

"Bahkan walau sekarang lo sampe repot-repot buat dateng, sekali aja lo ternyata cuma mainin dia gue yang bakal maju buat hajar lo," katanya sedikit mengancam di akhir kalimatnya. Tapi Teo tidak bercanda dengan hal itu, semua yang dikatakannya sungguhan.

Reno mengalihkan pandangannya dari Teo dan tertawa hambar. "Lo gak perlu susah hajar gue," balas pemuda itu, ia kembali menatap ke arah Reno dengan tatapan yang tajam. Dika yang sedaritadi hanya mendengarkan hanya bisa menelan ludahnya, dua lelaki ini seperti siap untuk menghajar satu sama lain. Aura ruang makan jadi sangat menyeramkan jika Dika bisa mendramatisirkannya.

Suara Reno kembali terdengar sebelum Teo sempat membalasnya. "Gue gak akan repot dateng sampe ke sini kalau gue cuma mau main-main," ujarnya dengan sangat yakin. Tanpa keduanya sadari, ada pemuda yang kedua pipinya langsung merona ketika mendengar kalimat itu.

"Bagus kalo gitu," jawab Teo sekenanya seraya mengangkat bahu.

***

Waktu sepertinya berjalan sangat cepat. Tanpa Dika sadari ini sudah sekitar lima bulan ia bekerja dengan Ilham, rasanya sudah sangat nyaman bekerja di restoran ini dari sore hingga malam. Semua pekerja di sini sangat baik padanya, bahkan pemilik tempat ini pun sangat baik. Dika memang sangat beruntung.

Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, yang artinya sudah waktunya restoran untuk tutup. Dika pun segera merapihkan meja dan lalu mengganti pakaiannya di belakang.

"Pulang bareng?" Ilham muncul di balik pintu ketika Dika sudah selesai mengganti baju. Senyuman pria itu terlihat sangat ramah seperti biasanya.

Dika sedikit menimang sebelum menjawab. "Maaf, Mas. Kayaknya aku dijemput lagi hari ini," katanya sambil membalas senyuman Ilham.

Setelah Dika mengucapkan hal tersebut, tepat sekali ada seorang pemuda yang muncul dan masuk ke restoran. Reno membuka pintu restoran yang belum terkunci lalu sedikit menoleh ke kanan dan kiri, sebelum akhirnya ia menghampiri Dika yang sedang bicara dengan Ilham.

Cinta yang TabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang