Kebahagiaan Ke-Dua

30 9 11
                                    

Empat tahun sudah berlalu semenjak kepergian ayah, adik, dan juga sahabat kecilnya. Fian membuka jendela kamarnya, mata gelapnya menerawang pemandangan di luar jendela. Tak ada lagi rengekan dari adik kecilnya. Tak ada lagi pukulan yang menghantam tubuhnya. Semua terasa tenang, Fian tak lagi mendapat siksaan, tapi kenapa rasanya semakin hampa?

Ayahnya tak pernah lagi pulang, pun begitu dengan adiknya. Rumah Keisha yang sudah diisi dengan penghuni baru. Tak dapat dipungkiri, Fian merindukan mereka semua. Kebisingan, kemarahan, dan juga kelucuan Keisha, tak lupa juga wajah tulus bundanya yang sekarang sudah tertutupi dengan topeng yang selalu terlihat bahagia di depan Fian. Fian merindukan mereka semua, mereka yang telah pergi tapi kenangannya masih tertinggal, dan seseorang yang masih ada di dekatnya tapi rasanya sudah tak ia kenal lagi.

🌓

Saat memasuki gerbang sekolah, Fian menatapi sekeliling. Sekolahnya kali ini tidak dekat dengan rumahnya, Fian harus berangkat pagi-pagi agar tidak telat. Fian sengaja memilih sekolah ini karena sekolah ini memiliki seragam dengan bentuk jas berlengan panjang yang sangat membantu Fian menutupi bekas-bekas lukanya.

Sehari sebelum masuk sekolah, Fian sudah terlebih dahulu mengetahui letak kelasnya, sehingga dia tak perlu lagi sibuk berkeliling untuk mencari ruang kelasnya. Kini dia tengah berjalan santai di koridor, berbeda dengan anak-anak lain yang tengah tergesa-gesa mencari ruang kelas masing-masing.

Fian tiba di sebuah pintu kelas, ia melihat ada sebuah bangku kosong di dekat jendela. Buru-buru ia menuju bangku tersebut sebelum ditempati oleh orang lain. Saat tangannya sudah menggapai bangkut tersebut, bersamaan dengan itu tangan seorang gadis juga menyentuh bangku yang sama. Pandangan mereka saling beradu. Fian melepaskan tangannya dan memilih mengalah kepada gadis itu.

"Kamu aja," ucapnya sambil tersenyum, kemudian ia berbalik badan dan mengembuskan napas berat. Entah kenapa jantungnya berdegup kencang, mungkin ini efek ia berjalan cepat agar bisa mendapatkan satu bangku.

Fian menaruh tasnya pada bangku yang berada di belakang bangku yang hendak ia duduki tadi. Ia duduk di bangku tersebut, matanya kembali bertemu dengan mata gelap milik gadis itu.

Gadis itu juga duduk, dan melempar senyum kepada Fian. "Makasih."

Fian menganggukkan kepala, dan membalas senyum gadis itu, kemudian melempar pandangannya ke luar jendela. Pemandangan terlihat bagus dari jendela kelasnya, pepohonan yang rindang juga lapangan dapat terlihat dari tempat Fian duduk.

Fian memandangi sekeliling kelasnya, bangku di kelas itu hanya berisi 25, yang berarti cukup tenang untuk dirinya.

🌓

Karena ini hari pertama masuk sekolah. Jadi, jam sekolah pun menjadi lebih singkat, bel berbunyi tepat di jam 12. Semua anak berhamburan ke luar kelas; ada yang langsung menuju gerbang sekolah, ada yang masih menunggu temannya agar bisa pulang bersama, dan ada yang menuju ke parkiran untuk mengambil kendaraan yang dibawanya. Fian menjadi salah satu yang menuju parkiran untuk mengambil motor kesayangannya.

Fian melajukan mesin beroda dua itu dengan sangat hati-hati di pelantaran sekolah karena kondisi jalanan yang sangat ramai. Ia memandangi wajah satu-satu orang-orang yang ada di sana yang suatu saat mungkin akan ia kenal dengan sebutan "teman". Mata Fian terhenti pada seorang gadis yang sedang menunggu bus sendirian. Halte itu jauh dari sekolahannya, dan tak ada anak dari sekolahnya yang mengantre di situ. Fian mendekatkan motornya agar bisa melihat wajah gadis itu. Itu gadis yang beberapa waktu lalu berebut kursi dengannya.

"Mau aku tebengin?" Fian bertanya dengan kikuk, ia tak tahu cara memulai obrolan terlebih dahulu, terutama pada seorang gadis.

Gadis itu mengernyit heran. "Enggak usah, aku bisa naik bus," jawabnya dengan wajah datar.

Sebuah Batas HalusinasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang