Kenyataan Ke-Tujuh

6 2 0
                                    


Fian membuka matanya, ia melihat seorang gadis di sudut ruangan yang sedang tersenyum kepadanya. "Keisha?" gumam Fian memastikan apa yang ia lihat.

Kakinya bergerak maju, langkahnya semakin besar menebas jarak di antara mereka. Dinding putih di belakang Keisha memudar tergantikan dengan cahaya putih yang sangat menyilaukan. Fian menyipitkan matanya, dan tangannya menutupi matanya untuk menghalau cahaya putih itu.

Tubuh Fian terhempas ke tempat lain. Sebuah jalanan yang sedang diterjang derasnya hujan. Tapi herannya tubuh Fian tak terbasahi karena tetesan hujan itu. Fian menatap sekitar, ia melihat Keisha sedang berdiri di sampingnya. Fian melangkah mendekat, tapi kemudian tubuhnya terhentak karena mendengar suara yang sangat besar. Fian membalik badannya untuk mengetahui apa yang menjadi sumber suara yang memekikan itu.

Fian melihat sebuah mobil telah ringsek karena menabrak mobil lain yang berada di depannya. Kaca mobil itu pecah, dapat dengan jelas terlihat wajah korban yang ada dalam mobil tersebut. Terlihat seperti sebuah keluarga dengan seorang ayah, ibu, dan juga sepasang anak mereka.

Jendela pecah, dan membentuk sebuah jendela kosong. Fian melihat wajah anak perempuan yang sebagian wajahnya sudah tertutupi oleh darah. Fian mendekat kepada mobil tersebut. Tangannya terulur untuk membuka pintu mobil, tapi tak bisa, tangannya lolos masuk ke dalam. Ia seperti berada dalam dimensi yang berbeda dengan apa yang terjadi di jalanan ini.

Kerumunan orang berdatangan mendekat kepada mobil yang sudah ringsek tersebut. Beberapa ada yang menghubungi polisi dan rumah sakit, beberapa yang lain hanya diam berdiri dengan raut gelisah.

Fian terlupa dengan keberadaan Keisha yang membawanya ke sini, serta maksud dari gadis itu. Fian terfokus memperhatikan satu per satu korban yang berhasil dibawa keluar. Kaki Fian terasa lemas saat ia melihat seorang anak lelaki yang tengah meringis kesakitan, pelipis kirinya mengeluarkan darah, juga kaki serta tangannya yang tertancap oleh pecahan kaca. Tapi bukan luka di badan anak itu yang membuat Fian merasa lemas, melainkan wajah anak itu yang sangat identik dengan wajah adiknya—Bagas.

Fian berbalik memandangi mobil tersebut, ia semakin terkejut karena ia sangat mengenali mobil itu. Mobil berwarna hitam milik ayahnya dulu. Kaki Fian sontak mundur, tangannya membekap mulutnya sendiri, kemudian beralih menyibak poni yang menutupi keningnya. Ia memegangi kepalanya seakan frustasi, kemudian melempar tatap kepada Keisha yang sedari tadi memperhatikannya, seolah sudah bisa menangkap mengapa ia dibawa ke tempat ini.

Satu per satu orang-orang itu berhasil mengeluarkan korban yang terjebak dalam mobil, terdengar suara rintihan dan ringisan dari mulut korban. Seorang wanita dewasa yang melihat dengan gelisah ke dalam mobil, tangannya dipegangi oleh orang-orang, ia juga tak dapat berdiri untuk masuk ke dalam mobil dan membawa keluar putrinya. Fian terhentak saat melihat wajah wanita yang duduk lemas di aspal tersebut. Lalu seorang pria dewasa keluar, ia memeluk istrinya yang sedang menangis dan menatap nanar ke dalam mobil. Pria itu memiliki tenaga yang lebih kuat dibanding semua korban yang ada. Ia bangun, dan membantu orang-orang mengeluarkan putrinya.

Tubuh anak perempuan itu tergulai lemas dalam pelukan seorang pria dewasa yang baru saja keluar. Di antara korban yang lain, hanya gadis kecil itu yang mempunyai luka paling parah dan tumpahan darah yang paling banyak. Fian memandangi semua wajah korban kecelakaan di dalam mobil hitam tersebut. Wajahnya sangat identik dengan orang-orang yang pernah ia kenal dulu; Bagas, Tante Diana, dan Ayah Ronald. Fian memandangi wajah gadis kecil itu. Ia takut menebak, bahkan ia benci menebak untuk saat ini.

Wanita paruh baya itu menangis sambil memeluki tubuh kecil putrinya yang sudah terlihat sangat lemas. Kulitnya sudah persis seperti batu pualam, juga matanya yang tertutup dengan sangat rapat. Ia menyibak rambut yang sudah terlumuri darah di wajah putrinya agar wajah cantik anaknya dapat dengan jelas ia lihat. Kaki Fian gemetar hebat saat sudah dengan jelas melihat wajah anak gadis itu.

"Keisha?" gumamnya. Fian ingin berlari mendekati semua korban itu, memastikan bahwa mereka hanyalah kumpulan orang-orang yang memiliki wajah yang identik dengan orang-orang yang pernah ia lihat. Terutama anak perempuan yang sudah tergolek lemah di pelukan ibunya. Ia berharap itu bukanlah Keishanya yang nyata.

Kaki Fian melangkah mundur sampai ia menabrak tubuh seorang gadis yang sedari tadi berdiri di dekatnya. Fian terdiam, ia tak ingin menoleh. Matanya masih ia fokuskan menatap tubuh kecil anak perempuan yang sudah tidak bergerak lagi. Gadis yang berada di belakang Fian melangkah ke depan Fian. Ia memandangi wajah itu sekilas, senyum cantik terpancar dari wajahnya yang selalu terlihat sangat cantik bagi Fian. 

Tangan gadis itu terulur menutupi mata Fian. Tak lama, tangan lembut itu terbuka, dan mereka kini sudah berada di sekolah, tempat Fian selalu menghabiskan waktunya bersama Keisha yang hidup dalam khayalannya.

Fian melihat dirinya berjalan di koridor, lalu dengan tiba-tiba tatapannya berubah kaku saat melihat ke arah yang tak ada satu pun objek atau orang yang ada di sana. Lalu tubuh mereka terlempar lagi ke tempat lain, sebuah peprustakaan sekolahnya, ia terlihat seperti menabrak seseorang lalu tubuhnya seakan mengkaku lagi, padahal tak ada satu orang pun di lorong rak buku itu.

Tubuh Fian terlontar lagi pada tempat-tempat lain di sekolah itu, ia melihat dirinya selalu terlihat sendirian, lalu tersenyum dan tertawa seakan ada seseorang yang menemaninya dan mengajaknya berbicara.

Oksigen di sekitar Fian terasa menipis, ingin sekali ia menarik napas sedalam-dalamnya agar rongga di dadanya dapat terisi penuh oleh oksigen. Tapi tarikan napasnya harus terhenti karena tangan Keisha sudah terulur untuk menutup matanya lagi. Dan benar, mereka terlontar pada sebuah tempat berbeda. Sebuah kuburan.

Fian menatapi sebuah gundukan tanah dengan sebuah batu nisan yang tertancap di atasnya. Fian membeku di tempatnya saat membaca deretan huruf yang terukir pada batu nisan tersebut.

Keisha Luciana

binti Victor Aditya

Lahir : 11 – 09 – 1999

Wafat : 13 – 05 – 2009

Napas Fian terasa tercekat saat melihat ukiran di atas batu nisan tersebut. Ia menoleh menatap Keisha yang juga turut berdiri menatapi kuburannya. Fian melangkahkan kakinya untuk mendekati gadis itu, tapi jarak di antara mereka terasa semakin jauh pada setiap langkah yang Fian ambil.

"Keisha!" panggil Fian saat melihat Keisha yang sudah menatapnya, tapi tubuhnya terasa tertarik mundur.

"Enggak! Nggak! Keisha nggak boleh pergi lagi!" teriak Fian di tengah ruangan yang sudah berubah kembali. Tak ada lagi gundukan tanah, tak ada lagi deretan buku pada sebuah rak tua, dan tak ada lagi aspal yang basah karena hujan, yang ada hanya sebuah atap putih dengan lampu yang bersinar terang menyilaukan mata Fian. Fian menyipit, ia mengedarkan pandang pada sekeliling. Di samping kanan atasnya terdapat selang infus yang terhubung pada sebuah kantong cairan.

Seorang wanita dengan wajah paniknya bergerak gesit menekan tombol panggilan yang berada di atas kepala Fian. Wanita itu memegangi tangan Fian, dan menaruh tangan dingin Fian pada wajah cantiknya. Air matanya luruh berpadu dengan senyum harunya.

Seorang dokter dan perawatnya datang. Mereka memeriksa tubuh Fian, lalu senyum merekah tercetak sempurna di wajah orang-orang itu, terdengar pula ucapan syukur yang terucap dari bibir-bibir orang-orang itu. Dokter dan perawat pergi, dan orang-orang mengelilingi tubuh Fian yang tergulai di atas ranjang putih.

Fian memandangi satu per satu wajah orang-orang di sekelilingnya. Ada kedua orang tuanya, dan juga dua adiknya. Tatapan Fian terhenti pada Bagas. Ia teringat mimpi buruknya. Hanya ada Bagas yang berada di sini bersamanya, tiga korban yang berada dalam mimpinya tak ia temukan di ruang ini.

Dia tak di sana. Gadis itu tak akan pernah lagi ada.

--

20 Februari 2021

Putri Aulia Fauziah

Sebuah Batas HalusinasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang