Kesedihan Ke-Lima

8 3 0
                                    

Selama pelajaran berlangsung, dapat Fian lihat kepala Bella yang tak berdiri tegap. Saat istirahat pun gadis itu tak keluar kelas, dia menelungkupkan kepalanya di dalam tangannya.

Fian berjongkok di samping meja Bella. "Kamu kenapa?"

Fian mendesah pelan saat tak ada jawaban keluar dari bibir Bella. Fian tahu, Bella sedang tidak baik-baik saja. Sejak pagi tadi wajah gadis itu seperti kehilangan cahayanya. Tangannya secara spontan terulur menyentuh lengan gadis itu. Suhu dingin menyambut telapak tangan Fian kala ia berhasil menyentuh kulit gadis itu. Kepanikan pun mulai menyerbu Fian.

"Bel, kamu kenapa?!"

Bella tetap tak menjawab.

Fian mendongakan tubuh Bella, yang dapat ia lihat adalah wajah Bella yang sudah pucat pasi serta badannya yang mulai gemetaran. Keringat dingin keluar dari pelipis dan dahinya.

Tanpa aba-aba Fian langsung memopong Bella, hendak membawa gadis itu ke UKS.

Keadaan kelas dan koridor seketika menjadi gaduh karena ada seseorang yang pingsan. Fian tak mempedulikan kegaduhan itu, ia tetap berjalan menerobos keramaian. Suhu tubuh Bella yang berada dalam gendongannya menambah kepanikan dalam dirinya.

🌗

Bella merasakan lemas di sekujur tubuhnya. Matanya terasa berat saat ia mencoba membuka kelopak matanya, perutnya terasa sakit saat ia mencoba bangkit dari bankar tersebut.

"Eh istirahat aja dulu, Nak."

Suara lembut pengurus UKS membuat kedua sudut bibir Bella tertarik ke atas, membentuk senyum manis.

"Nggak papa, Bu. Mau balik ke kelas aja."

"Di sini aja, bentar lagi juga pulang sekolah," saran wanita berkerudung putih itu sambil tersenyum ramah.

Bella melihat ke sekeliling dinding bercat putih tersebut untuk mencari jam dinding, betapa terkejutnya ia saat melihat jarum jam. "Saya pingsan berapa jam?!" pekik Bella dengan matanya yang sudah membulat sempurna.

Wanita di hadapannya itu tersenyum. "Kamu tadi udah sempet bangun, tapi karena terlalu lemah, jadi kamu tidur lagi. Maag kamu kambuh," jelas wanita itu tanpa merenggangkan otot-otot di sekitar bibirnya untuk berhenti tersenyum.

Bella mengangguk, masih ada lima belas menit lagi menuju bel pulang sekolah berbunyi. Jadi, Bella memutuskan untuk menunggu sekitar sepuluh menit di dalam UKS, dan lima menit sisanya ia gunakan untuk berjalan ke kelas mengambil tasnya.

"Minum dulu nih teh hangatnya." Wanita cantik itu menyuguhkan secangkir teh hangat untuk Bella.

Bella menerimanya dan tersenyum. "Terima kasih, Bu."

Bella menenggak habis teh hangat tersebut, lalu melihat ke arah jam, masih ada sekitar sepuluh menit lagi waktu pulang sekolah. Bella memutuskan untuk menunggu saja di depan kelasnya.

Bella berjalan lemas menuju kelasnya, kemudian menghela napas panjang saat ia sudah sampai di depan kelas itu. Gadis itu duduk di kursi yang disediakan di depan kelasnya sambil menunggu bel berbunyi. Ia memandangi koridor sepanjang kelasnya. Matanya menatap nanar sepanjang memandangi koridor ini, teringat akan pemandangan menyakitkan yang ia lihat tadi pagi. Fian masih tersenyum dengan seseorang yang entah di mana keberadaannya. Rasanya Bella ingin berhenti saja mencintai Fian, atau rasanya ia ingin menampar Fian dengan kenyataan bahwa Keisha tak benar-benar ada.

Bella menghela napas lagi, dan menyandarkan belakang kepalanya pada dinding untuk mengalihkan pandangannya pada atap yang memayungi kepalanya. Dapat Bella lihat awan mendung sudah bergelantungan menutupi kecerahan langit. Jika lantai bisa membuat hatinya berdenyut ngilu, dan langit semakin memperkeruh suasana hatinya, ia harap atap tua itu akan bisa menenangkan ngilu tersebut.

Murid-murid berhamburan ke luar kelas ketika bel berbunyi, Bella mengernyit heran melihat banyak yang dorong-dorongan agar bisa ke luar dari kelas tersebut, suasana tenangnya telah hilang berganti dengan suasana gaduh dari murid yang berlomba tentang kecepatan keluar kelas.

Bella masih diam di tempatnya menunggu suasana tenangnya kembali, ia melempar senyum pada teman-temannya yang menatapnya. Tak ada satu pun teman kelas yang segan untuk menegurnya terlebih dahulu. Hanya ada satu orang, dan orang itu tengah menatapnya di depan pintu kelas sambil membawakan tasnya.

Bella menarik napas panjang, kemudian berjalan kepada orang tersebut. "Terima kasih," ucapnya sambil mengambil ranselnya yang berada dalam genggaman tangan pria itu.

"Aku anterin pulang."

Otoritas dalam suara lembutnya terdengar sangat kental. Ia tak pernah memaksa, tapi Bella selalu ikut tertarik dalam otoritas yang pria itu miliki terhadap dirinya. Tapi kali ini, Bella ingin menentang otoritas itu, dan berdaulat terhadap dirinya sendiri.

"Nggak usah," tolaknya. Ia tak ingin terjatuh lebih dalam lagi dalam gravitasi pria itu. Ia harus berhenti, meninggalkan pria itu tenggelam dalam halusinasinya sehingga binar mata itu tak kembali redup.

Bella melangkah berat meninggalkan Fian yang masih bergeming di tempatnya. Langkahnya kian memberat saat ia mengetahui bahwa pria itu berjalan di belakanganya, mengikuti langkah kakinya seakan enggan ditinggal olehnya.

"Alfian, berhenti membuatku terus terjatuh dalam garvitasimu," lirih Bella dalam hatinya, sebisa mungkin ia tenggelamkan wajahnya dalam-dalam sebagai pengalihan agar hatinya tak terus bergejolak.

Langkahnya terhenti saat sebuah cengkraman erat di lengannya, membuat kakinya seakan mati rasa dan menyalahi perintah otaknya untuk terus melangkah.

"Kamu lagi sakit. Ayo, aku anter pulang." Guncangan pertama untuk benteng yang dibuat Bella untuk bisa bertahan.

"Nggak usah, aku bisa pulang sendiri." Bella memperkukuh bentengnya lagi, dan berjalan meninggalkan pria itu.

Saat Bella memperkukuh bentengnya, Fian pun tak berhenti untuk terus menghancurkannya. Pria itu tetap berjalan mendampingi Bella. Denyutan di hati Bella sudah semakin menendang, beradu dengan denyutan di perutnya. Bella berhenti, dan melempar tatapan tajamnya kepada Fian. "Bisa nggak kamu berhenti?!" teriak Bella putus asa. Murid-murid sudah tidak lagi berhiliran di antara mereka, dan posisi mereka juga sudah berada di tengah lapangan.

"Berhenti apa?" tanya Fian kebingungan.

"Berhenti buat aku jatuh!" Bella masih putus asa. Ia sudah tidak peduli lagi dengan emosinya. Ia lelah mencinta sosok yang terus-terusan terkunci dalam halusinasi.

"Aku nggak pernah berniat buat kamu jatuh." Suara Fian melemah. Sepertinya ia selalu salah di depan semua orang, bahkan Bella sekali pun.

Fian mengangguk perlahan, kakinya bergerak mundur. "Maaf," lirihnya. Ia mengambil langkah mendahului Bella, dan meninggalkan gadis itu.

🌗

Putri Aulia Fauziah
01 April 2020

Sebuah Batas HalusinasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang