Kesedihan Ke-Empat

21 2 15
                                    

Ya ampun, aku rindu.

🌗

Fian duduk meringkuk di sudut kamarnya. Jarum jam sudah menunjukkan tepat pukul 12 malam. Seperti biasa, Fian masih terjaga. Matanya masih terlalu segar untuk bisa ia pejamkan.

Fian menyeret tubuhnya mendekati sebuah laci di samping tempat tidurnya. Ia tak ingin menelan pil obat tidur, ia ingin menyakiti dirinya sendiri malam ini, agar rasa perih di hatinya bisa hilang karena luka di tubuhnya.

Fian mengeluarkan sebuah silet dari dalam kotak, ia bersandar pada dinding dan mulai menyileti lengannya sendiri. Siletannya ia tambah karena luka di hatinya tak kunjung sembuh.

Fian menghela napas, matanya mulai memanas lagi, isakannya ingin kembali keluar, tapi ia tahan. Tangan kanannya tak pernah berhenti menyileti tangan kirinya, tangis Fian tertahan karena perih di hatinya tak kunjung reda.

Fian membanting silet yang tidak berguna tersebut ke dinding di depannya, bersamaan dengan itu dia melempar semua benda-benda yang ada di kamarnya. Dia sudah tidak sehat lagi.

Moli keluar dari kamarnya saat mendengar suara bantingan keras dari kamar Fian. Ia berlari ke kamar putranya dan langsung membuka pintu kamar Fian. Beruntung, anak itu sedang tidak mengunci pintunya.

Moli membekap mulutnya, pekikannya tertahan saat ia melihat kamar putranya yang sudah tidak rapi lagi. Barang-barang berserakan di lantai, juga darah yang mengalir dari pergelangan tangan kiri putranya.

Moli mendekat, ia memegang lengan putranya, tangisnya pecah.

"Fian!" teriak Moli histeris. Ia sempat memandangi sekitar sebelum akhirnya keluar dengan langkah yang sangat besar untuk mengambil sebuah kotak P3K yang tertempel di dinding rumahnya.

Moli kembali, ia langsung mengambil sehelai kapas yang ada di dalam kotak tersebut dengan tangan gemetar, dan mencecapinya ke pergelangan tangan Fian untuk membersihkan darahnya terlebih dahulu.

"Nggak papa, Bun, Fian nggak papa," ucap Fian dengan suara paraunya. Mata pria itu terlihat sangat nanar dengan senyum getir yang terhias di wajahnya.

Moli sontak mendongak. "NGGAK PAPA APA, FIAN?!" Suara Moli meninggi.

Fian tersenyum. "Kalau Fian bilang Fian hancur, emang semuanya bakal baik-baik aja?" tanya Fian yang semakin menambah perih hati Moli.

Moli terdiam, air matanya sudah mengalir deras di wajahnya.

Tangan Fian terangkat menyentuh lembut wajah Bundanya. "Jangan nangis, Fian sakit ngelihat Bunda nangis."

Bukan mereda, tangis Moli malah semakin deras. Ia melanjutkan mencecapi darah di pergelangan tangan Fian. Air matanya membuat penglihatannya kabur. Ia mengusap kasar air matanya agar penglihatannya kembali jernih. Setelah penglihatannya kembali jernih, ia termenung melihat luka di tangan putranya, menyadari ada yang janggal pada luka tersebut.

"Ini luka kenapa?" Moli bertanya dengan nada yang sangat amat serius.

Fian tersenyum. "Nggak papa, Bun."

"FIAN!" bentak Moli, ia menyadari ada sesuatu yang anaknya sembunyikan darinya.

Fian memandangi bundanya dengan tatapan getirnya, dia tak mungkin menceritakan asal luka tersebut, sesuatu yang selama ini selalu ia sembunyikan.

"Sejak kapan kamu kayak gini?" tanya Moli. "FIAN!" serunya setelah anak itu tak membuka sedikit pun mulutnya untuk menjawab pertanyaannya.

Fian tertunduk. Ini pertama kali dalam hidupnya ia melihat Bundanya memarahinya. Entah kenapa, linu di hatinya kian bertambah, dan semakin menyiksanya.

Sebuah Batas HalusinasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang