Prolog

137 19 4
                                    

Aku tersesat

Sangat tersesat

Sampai aku tak bisa membedakan mana yang nyata dan fana

Kamu berada di keduanya

Kamu hidup, dan akan selalu begitu

Aku rindu, dan akan selalu begitu

Sampaikan salamku pada bulan yang sedang membulat terang di sana

Aku akan menyusulmu jika sudah datang waktuku.

🌓

Malam itu hujan, bintang-bintang dan bulan tidak menampakan wujudnya. Langit mendung dan derasnya hujan seakan menghantarkan kepergian mereka.  Sepasang anak kecil yang duduk di kursi belakang kompak menggigit bibir mereka untuk menahan isak tangis. Percuma. Kedua orangtua egois itu tak akan mau mendengar mereka.

Dari selah-selah rintik hujan di jendela itu terlihat kerlap-kerlip lampu kendaraan yang melaju di sekitar mereka. Semua orang seperti sibuk dengan urusannya masing-masing. Tak ada satu pun yang terlihat menikmati hujan ini, tak terkecuali gadis kecil yang bibir mungilnya sudah terasa amat sakit karena terus ia gigiti.

"Nggak mau pisah dari Bunda!!!" Tiba-tiba suara rengekan seorang anak laki-laki membuat si gadis kecil ini menoleh. Tangan kecilnya bergerak untuk menyelinap di kepalan tangan anak laki-laki itu.

"LEPAS!! KAMU BUKAN KAKAK AKU!"

Tangis gadis kecil itu pecah. Pikiran dua orang dewasa yang duduk di kursi depan jadi semakin kalut. Pria dewasa yang memegang setir itu menggaruk kepalanya gusar.

"BISA DIEM NGGAK?!" teriaknya tiba-tiba, membuat wanita dewasa di sampingnya sedikit terlonjak. Wajah pria dewasa itu semakin kalut, di luar kesadarannya ia tambahkan kecepatan laju mobilnya.

"Mas, hati-hati, Mas!" pinta wanita dewasa yang duduk di sampingnya.

Tapi pria dewasa itu tak ingin mendengarkan. Laju mobilnya tidak melambat walaupun rengekan kedua anak kecil yang duduk di kursi belakang sudah tidak terdengar lagi.

"AYAH!!!" pekik anak laki-laki itu.

BRAK!!

Semua gelap. Dentuman tadi seperti bunyi bom yang sangat mematikan.

Semua gelap. Yang ada hanya suara sekumpulan orang yang mendekat.

Semua gelap. Yang ada hanya suara lembut yang terus menggema di dalam kepala si gadis kecil.

"Kita tinggalin bumi, dan buat dunia kita sendiri."

🌓

Hai, ketemu lagi!!!

Masih ingat dengan Alfian, Keisha, dan Bella? Atau ada yang belum baca kisahnya? Buruan baca, ehehehe.

Kalian akan bertemu kembali dengan mereka di sini dengan kisah yang berbeda. Mau cerita sedikit, sih. Kalo nggak suka tinggal lewati aja dan langsung baca chapter pertamanya wkwkw.

Jadi, aku punya ide cerita ini sebelum Luka Terindah tamat, dan setelah Luka Terindah selesai, baru aku tulis cerita ini. Iya, bener! Sebelum Purple Diary, aku lebih dulu nulis cerita ini. Tapi ada sesuatu yang bikin aku lebih dulu memublikasikan Purple Diary, dan juga aku pengin ngebuat jeda antara Luka Terindah dan Sebuah Batas Halusinasi ini.

Tenang, kamu nggak perlu baca Luka Terindah dulu untuk bisa baca cerita ini, karena dua cerita ini bukan cerita yang berurutan. Sebuah Batas Halusinasi ini merupakan versi terbaru dari Luka Terindah, di mana akan banyak kejutan yang ingin aku sampaikan, dan semoga pesan-pesan terselubung di dalamnya juga dapat tersampaikan dengan baik.

Dah, ah, segitu aja ceritanya. Maaf kepanjangan, ehehe.

Happy reading, Readers!!
Jangan lupa jejaknya!^^

--

Putri Aulia Fauziah

19 Februari 2019

Sebuah Batas HalusinasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang