Kesedihan Ke-Tiga

14 7 20
                                    

"Kamu dari mana? Kok baru pulang? Motor kamu di mana?" Lagi. Fian kembali disuguhkan dengan tiga pertanyaan yang diajukan sekaligus.

Fian terdiam, ia tak memikirkan bahwa bundanya akan bertanya perihal dirinya yang pulang tanpa motor. Fian memutar otak mencoba mencari jawaban lain agar bundanya tak khawatir, tapi kemudian pikiran Fian terpecah karena bundanya memegang lengan seragamnya yang sudah kotor karena noda.

Fian mengerjap, ia lupa bahwa noda di bajunya bisa terlihat dengan jelas di bawah sinar lampu seperti ini.

"Fian, kamu jatuh?!" tanya Moli. Wanita itu mendekat, memutar badan Fian untuk melihat luka lain yang ada di tubuh anak itu.

Fian masih terdiam, ia memperhatikan kecemasan di wajah bundanya.

"Kamu jatuh di mana?" tanya Moli lagi. Ia memegangi wajah Fian, memastikan wajah putranya tak terluka. "Jawab, Sayang!" Suaranya sudah terdengar parau. Fian tak sanggup mendengarnya.

"Fian nggak papa, Bun."

Moli menghentakkan tangan putranya. "Nggak papa, apa?! Ini berdarah!"

Moli menarik tangan Fian, membawa anak itu duduk di ruang tamunya, membantu membukakan seragam anak itu agar ia bisa dengan jelas membersihkan luka-lukanya serta mengobatinya.

Fian merapalkan doa di dalam hatinya semoga bundanya tidak melihat bekas sayatan di lengannya. Moli mengambil sebotol obat merah, lalu meneteskannya di atas kapas, dan menempelkannya pada luka Fian.

Fian meringis kecil saat obat merah itu mengenai lukanya.

"Tahan ya, Nak," pinta Moli, suaranya masih terdengar parau.

Fian yakin bahwa bundanya sedang menahan tangis. "Fian nggak papa, Bun, cuma luka biasa aja," ucap Fian mencoba meyakinkan bundanya.

Moli tak menjawab, yang ia tahu anaknya selalu berkata baik-baik saja, tapi kondisinya mencerminkan kebalikan dari perkataannya. Moli tahu anaknya selalu bersikap tegar di depannya, tapi tak ada satu pun ibu yang dengan sangat mudah tertipu.

🌓

Moli membuka pintu kamarnya, ia terkejut saat melihat putranya tidur di belakang pintu masuk rumahnya. Moli mendekat mencoba membagunkan Fian.

"Fian? Fian, bangun, Nak." Moli menepuk-nepukan wajah dan tubuh Fian.

Fian melilir, matanya sedikit terbuka untuk melihat siapa yang membangunkannya. Mata Fian terbuka lebar, ia bangkit, dan mengedarkan pandangannya, kemudian menatap bundanya dengan tatapan penuh tanya.

"Bunda udah sering bilang kalau tidur kunci kamarnya dong, Nak," ucap Moli dengan napas lelahnya. Ia sangat khawatir dengan kebiasaan tidur Fian. Tapi kali ini lain, anak itu tak lagi terbangun di kamar adiknya, melainkan di belakang pintu rumahnya.

Beruntung, setiap malam Moli mengambil kunci pintu rumahnya dan ia simpan di dalam laci kamarnya, karena ia berpikir mungkin anaknya akan tidur sambil berjalan ke luar rumah, dan itu akan sangat membahayakan.

Fian tersenyum, matanya menunjukan banyak kelelahan. "Udah, Bun."

Moli menghela napas berat. "Lain kali, Bunda aja yang ngunci kamar kamu, ya, terus kuncinya Bunda yang simpan."

"Maksudnya Fian dikurung?" tanya Fian dengan wajah polosnya, sedikit khawatir dengan gagasan bundanya.

Moli menggeleng, ia tersadar bahwa cara itu tidak baik."Ya udah, kamu sekolah nggak hari ini? Kalau enggak, lanjut tidur di kamar kamu, Bunda mau siap-siap berangkat kerja dulu." Moli bangkit, hendak berjalan menuju kamar mandi rumahnya.

Sebuah Batas HalusinasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang