Kebahagiaan Ke-Empat

23 7 11
                                    

Bagas membuka matanya, ia memandangi langit-langit kamar bercat putih tersebut. Ingatan masa lalu menyeruak di kepalanya yang semakin menambah sesak di rongga dadanya. Bagas bangkit, ia mengedarkan pandangannya pada setiap sudut ruangan itu. Ia keluar dari kamar tersebut, dan berhenti saat melihat seorang wanita paruh baya sedang menyiapkan sarapan di atas meja.

Bagas terdiam menatapi wanita paruh baya itu. Wajahnya sangat mirip dengan wajah bundanya, bahkan Bagas masih ingat dengan sangat jelas bagaimana hangat tatapan bundanya yang sekarang dapat ia jumpai di dalam mata wanita itu. Bagas mengedarkan pandangan lagi kepada sekelilingnya, kemudian kembali menatap wanita paruh baya yang sekarang sudah tersenyum kepadanya.

Wanita itu mendekat kepada Bagas dengan senyum bahagia yang terlukis indah di paras cantiknya. Wanita itu bersimpuh untuk menyamai tinggi badannya dengan Bagas.

"Bagas mimpi, ya?" tanya Bagas dengan raut kebingungannya. Ia melangkah maju mendekatkan tubuhnya lalu melingkarkan kedua tangannya pada pundak bundanya. "Jangan suruh Bagas bangun," pinta Bagas dalam pelukannya.

Moli membalas pelukan Bagas. "Bunda juga nggak mau kebangun kalau ini ternyata cuma mimpi."

Mereka saling tenggelam dalam kehangatan yang saling mereka bagi dalam sebuah pelukan. Bagas tak ingin melepaskan bundanya lagi. Ia rela tertidur selamanya asalkan dapat terus berada di dekapan Sang Bunda. Begitu pun Moli, ia rela menukarkan hidupnya demi bisa bersama dengan anaknya.

"Bun, Fian berangkat du--" Fian menghentikan kalimatnya saat ia tersadar bahwa ia telah merusak momen mengharukan antara Sang Ibu dengan anaknya.

Bagas melepas pelukannya saat ia mendengar suara yang ia yakini adalah suara milik kakaknya. Anak itu berlari untuk memeluk Fian, tapi kemudian langkahnya terhenti saat ia melihat wajah Fian.

"Kakak yang semalam, kan?" tanya Bagas yang kebingungan.

Fian mengangguk, ia berjongkok untuk menyamai tinggi tubuhnya dengan Bagas. Fian tersenyum saat raut kebingungan Bagas makin menjadi. "Bingung, ya?" tanyanya sambil mengacak rambut Bagas.

Bagas beralih menatap bundanya.

"Kakak kamu itu," ucap Moli dengan suara yang sangat lembut. Moli berdiri dan menghampiri kedua anaknya. "Fian berangkat dulu aja, Nak, nanti telat kalau kesiangan berangkatnya."

Fian mengangguk, ia bangkit lalu mencium punggung tangan bundanya, ia menoleh kepada Bagas. "Bagas siapa yang nganterin?" tanya Fian.

"Bunda aja," jawab Moli sambil menepuk bahu Fian pelan.

"Nggak papa?" tanya Fian lagi memastikan.

Moli mengangguk. "Udah sana berangkat, hati-hati bawa motornya!" nasehat Moli. Ia mengantar Fian sampai depan rumahnya dan memastikan bahwa anaknya telah benar-benar pergi ke sekolah.

Moli masuk dan menemui Bagas yang masih kebingungan dengan apa yang terjadi. Ia mengacak rambut anak bungsunya itu, lalu menuntunnya ke meja makan agar bisa menyuapi sarapan. Ia sengaja tidak masuk kerja karena ingin menghabiskan waktu bersama Bagas sebelum anak itu harus kembali pulang ke rumah mantan suaminya.

"Tadi Kak Fian, Bun?" tanya Bagas yang masih tidak mengerti.

Moli terkekeh. "Iya. Emang semalam kamu ikut dia ke sini kamu nggak tahu siapa dia?"

Bagas menggeleng.

"Berarti Bagas nggak mimpi dong? Apa Bagas mimpi dari semalam?" tanya Bagas, telunjuknya ia taruh di bawah dagu seperti orang dewasa yang sedang berpikir berat.

Moli terkekeh lagi, kemudian ia menceritakan persis sama dengan apa yang diceritakan oleh Fian semalam. Senyumnya tak berhenti saat ia tahu bahwa semuanya adalah nyata, ia bersyukur bahwa dia masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan anaknya lagi.

Sebuah Batas HalusinasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang