Kebahagiaan Ke-Tujuh

27 4 3
                                    

"Dor...!" Bella meloncat untuk menepuk punggung Fian yang berjalan di depannya. Kelas kini sudah sepi hanya sisa mereka yang berada di kelas.

Fian menoleh, dan melayangkan tatapan heran.

"Kaget nggak? Kaget, sih!" Bella merengut sebal, ia sudah bersusah payah meloncat untuk menggagetkan Fian.

Fian terkekeh, lantas mengangguk kecil. "Hampir kaget, kok, tadi."

Bella mengerucutkan bibirnya, sedang Fian terheran bagaimana gadis ini dapat kembali ceria dengan cepat. Tapi Fian tak ingin mempedulikannya. Selama Bella tak sedih lagi, tak ada masalah baginya. Mellihat senyum Bella yang merekah pada siang hari itu, tangan Fian pun spontan terangkat ke pucuk kepala Bella, tapi terhenti karena tangan Bella lebih dahulu memegangi tangannya.

Bella menggenggam tangan Fian, kemudian menebas jarak di antara mereka, dan menjijitkan kaki untuk bisa memeluk Fian.

Fian membeku karena perlakuan Bella, terlebih lagi saat ini mereka masih berada dalam sekolah. Fian mencoba melepaskan pelukan Bella, tapi Bella menolak dan semakin memperkencang pelukannya.

"Sebentar aja," pintanya dengan suara lirih.

Fian mendesah, dia menerima pelukan Bella walau tidak membalasnya.

Beberapa detik telah terlewati dengan tubuh Fian yang masih direngkuh erat oleh lingkaran tangan Bella. Dapat Fian rasakan seragamnya terbasahi oleh air mata yang keluar dari mata gadis itu.

Fian memegangi pundak Bella. "Kamu kenapa?"

Lama tak mendapat jawaban dari Bella, Fian memperlebar uluran tangannya sampai memeluk tubuh kecil Bella.

"Kenapa harus kamu yang jadi anak bapak aku? Kenapa nggak orang lain aja?" tanya gadis itu di sela isakannya.

Fian terpaku, belaian lembut tangannya pada rambut Bella terhenti. Tangis Bella semakin menjadi, dan Fian semakin kalut dibuatnya.

"Maaf."

Hanya itu kata yang dapat Fian keluarkan dari mulutnya saat ini.

Bukan, bukan itu yang ingin Bella dengar. Bukan permintaan maaf dari pria itu yang Bella inginkan, melainkan hal lain, yaitu suatu penyangkalan terhadapt kenyataan yang sedang mereka hadapi.

Bella melepaskan pelukannya, menghapus air mata yang masih mengenang di pelupuk matanya. Gadis itu membidik manik Fian, lalu tersenyum getir. "Bukan itu yang mau aku dengar."

Fian tak menjawab. Jiwanya masih terlontar ke alam lain, terlebih saat melihat mata merah Bella. Rasanya seluruh organ tubuhnya telah lumpuh.

"Aku suka kamu."

Seperti ledakan kembang api di tengah malam yang hening, pengakuan Bella seperti memporak-porandakan segala isi di dalam hati Fian. Fian terperanjat, ia terpaku, tak dapat melakukan apa pun.

"Bel," gumam Fian, bahkan suaranya pun tak mampu ia keluarkan.

"Aku tahu, aku gila memang. Kamu sama bapak senang, kan, bikin aku kayak orang gila?" Senyum getir itu terbit lagi. Bahkan, ia tak pernah terbenam.

"Aku juga sempat gila, Bel. Lebih gila dari kamu." Fian menemukan kembali suaranya. Dia melayangkan senyum yang tak kalah getir dari milik Bella. "Kamu tahu apa yang lebih gila dari mencintai saudara sendiri? Yaitu hidup belasan tahun tanpa mengenal Ayah sendiri." Fian menelan salivanya, bahkan untuk memikirkannya pun rasanya ia tak sanggup.

🌗

Putri Aulia Fauziah

Sebuah Batas HalusinasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang