Kebahagiaan Ke-Tiga

21 9 11
                                    

Mereka tiba di depan sebuah rumah setelah melewati beberapa belokan gang perumahan ini. Fian mengantarkan Keisha pulang ke rumahnya dengan menggunakan motornya yang ia ambil dari rumahnya.

Keisha turun dari motor Fian lalu mengucapkan terimakasih. Ia melambaikan tangan sebelum memasuki rumahnya, Fian membalas lambaian tangan tersebut dengan senyuman.

Rasanya baru beberapa waktu yang lalu Keisha berada di dekatnya tapi kenapa rasanya sekarang ia ingin gadis itu segera keluar rumah dan bermain dengannya lagi?

Fian menggelengkan kepalanya dengan kuat mencoba menepis secuil harapan yang tadi sempat mampir sejenak di otaknya. Ia menghidupkan mesinnya berniat untuk kembali pulang, tapi suara teriakan seorang pria dari dalam rumah Keisha membuat Fian tersentak dan sontak menengok. Dapat ia dengar suara pintu rumah Keisha terbuka dan ada suara langkah kaki yang lari menuju pagar rumah Keisha. Fian memundurkan motornya, wajahnya agak sedikit ia turunkan, takut kalau-kalau yang keluar rumah itu adalah ayahnya.

Seorang anak kecil keluar dari balik pagar besar itu. Fian terpekur melihat anak kecil itu berlari sambil menangis dengan kaki telanjang. Fian mematikan mesin motornya, lalu mengejar langkah anak kecil itu. Dan dengan cepat ia menyusul langkahnya lalu berjongkok di depan anak kecil itu untuk menyamai tinggi tubuhnya.

"Kamu kenapa?" tanyanya. Fian mengamati lekuk wajah anak kecil itu. Wajahnya tak banyak berubah, masih terlihat persis dengan empat tahun yang lalu, hanya saja pipinya jadi lebih tirus.

"Aku dimarahin ayah," jawab anak kecil itu sambil mengucek-kucek matanya.

Fian terdiam, selama ini ia tak pernah tahu bahwa ayahnya dapat marah dengan Bagas. Ia menghela napas, kemudian memikirkan cara agar Bagas berhenti menangis dan kembali pulang ke rumah ayahnya. "Terus sekarang kamu mau ke mana?"

Bagas menggeleng, ia masih sibuk mengucek-kucek matanya. Fian memegang tangan Bagas agar berhenti melukai matanya sendiri.

"Ikut Kakak aja, yok?"

Bagas terdiam, ia pandangi wajah Fian lekat-lekat. "Ke mana?"

"Ke rumah Kakak."

"Tapi Mama bilang nggak boleh ikut sama orang asing," jawab Bagas yang berhasil membuat Fian membeku di tempatnya.

"Aku bukan orang asing."

Fian menelan salivanya saat kata 'orang asing' keluar dari mulut adiknya. Ia terdiam sesaat, lalu tersenyum lagi. "Jadi, kamu mau kabur ke mana?"

"Nggak tahu."

Fian menghela napasnya. "Ya udah ikut Kakak yok, kita jalan-jalan dulu aja."

Fian mengulurkan tangannya, dan Bagas mengangguk lalu menyambut uluran tangannya. Fian menuntun Bagas ke motornya, Bagas melingkarkan tangannya pada pinggang Fian, lalu merasakan angin malam yang berembus dingin di pipinya.

"Kamu udah makan?" suara Fian memecah bising angin malam yang semakin kencang di sekitar mereka.

"Udah, tapi aku pengin burger," jawab Bagas berhasil membuat Fian terkekeh.

Fian memerhatikan sepanjang jalan mencari kedai yang menjual roti lapis berisi daging dan sayuran tersebut di dekat rumah Keisha, tapi tak ia temukan. Akhirnya Fian memilih membeli burger di dekat rumahnya.

Bagas memandangi sekeliling jalanan itu. Ia seperti mengenali tempat itu, tapi kemudian ia menatap Fian. "Aku kayaknya pernah ke sini," ucap Bagas yang melanjutkan kembali pandangannya pada jalan raya.

Fian tersenyum, tak berniat menjawab perkataan Bagas.

"Aku ngantuk," ucap Bagas, ia memiringkan kepalanya dan bersandar pada lengan Fian.

Sebuah Batas HalusinasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang