Aku kembali.
Aku berjanji akan menyusulmu.
Aku kira ini saatnya.
Tapi ternyata belum.
Mungkin belum waktunya.
Memang, sejak kapan semesta pernah memberikan kita waktu?
Aku harap tak ada lagi kesedihan yang mengisi kehilangan.
--
Bella sedang mengamati pemandangan di luar jendela kafe. Mobil dan motor berlalu lalang, awan mendung yang sempat memenuhi langit Bogor seakan sudah pergi. Bella menghela napasnya, ia genggam cangkir kopi hangatnya, sekadar untuk menghangatkan suasana hati.
Sudah hampir tiga tahun Fian menjalani masa penyembuhan. Pria itu dan bundanya pindah ke Banyuwangi, tempat nenek dan kakek Fian tinggal. Fian bertemu dengan seorang psikiater di sana. Fian jarang berkomunikasi dengan Bella, atau lebih tepatnya Fian selalu menolak untuk berkomunikasi atas semua hal yang berhubungan dengan Bogor lagi.
Menurut yang Bella dengar dari Tante Moli, kondisi Fian sudah mulai membaik. Tatapannya sudah mulai hidup, dan pola tidurnya sudah teratur. Pria itu sudah sembuh, dan semoga akan selalu sembuh.
Bella menyeruput kopi hangatnya, kelopak matanya ia pejamkan untuk bisa larut dalam pahitnya kopi. Sebentar lagi ia masuk kuliah, begitu juga dengan Fian. Dulu sebelum berangkat ke Banyuwangi, Fian pernah bilang untuk kembali pulang dan berkuliah di kampus yang sama dengan Bella, tapi sampai sekarang kabar kepulangan pria itu belum juga sampai ke telinga Bella, bahkan beberapa kali ia melihat pesannya diabaikan oleh pria itu.
Ponsel Bella bergetar diikuti dengan nada panggilan HP-nya. Bella membaca nama yang tertera di layar ponsel kemudian mengangkatnya dengan malas. Pasti Jaya akan menyuruhnya segera pulang.
"Bisa pulang sekarang?"
Kan, benar!
Bella mendesah pelan. "Iya, Bella pulang sekarang."
"Ke rumah Tante Moli, ya?"
Bella mengernyit. "Ada apa?"
"Kamu lupa? Kan kita harus sering jagain rumah Fian. Malem ini tidur di rumah ini aja."
Bella menghela napas kecewa. "Aku kira Fian udah pulang."
Setelah mengatakan itu, Bella langsung mematikan sambungan teleponnya.
Bella berjalan dengan gontai. Ia sedikit melirik taman di dekat rumah Fian, taman yang mempunyai beribu kenangan manis dan pahit bagi kakak tirinya. Bella sedikit kesal, bahkan seringkali ia mengumpat kepada Keisha. Tapi apa boleh buat? Keisha sudah tidak ada lagi, dan itu semua bukan kesalahan Keisha.
Bella berhenti di depan rumah Fian, ia melihat sebuah mobil terparkir di halaman rumah itu. Hati Bella seperti berlompatan, degup jantungnya tak karuan. Ia bergegas masuk untuk memastikan penglihatan dan ingatannya akan mobil itu.
Bella berlari, ia lepas sepatunya asal di teras rumah Fian. Ia membuka pintu, dan membeku di tempat. Kakinya seakan melemas, tapi tubuhnya mengkaku untuk dibawa luruh.
Sosok yang berdiri di depannya sedang menatapnya. Tak selang berapa lama, senyum manis itu kembali terlihat. Bella rindu. Bella langkahkan kakinya yang sudah kembali memiliki fungsi. Ia berlari memeluk raga yang sudah lama ia rindukan, detak jantung yang sudah lama tak Bella dengar. Erat. Sangat erat. Bahkan Bella akan berontak kalau semesta berniat melerai pelukannya.
Tangan besar pria itu menjamah tubuh Bella. Pelukan hangat dan semua rindu Bella terbayarkan. Tanpa sadar, air matanya turun membasahi baju Fian yang sudah terlihat sehat. Bella merasakan lagi kehangatan pria itu. Degup tenang jantung pria itu seakan berirama di telinga Bella.
"Aku rindu."
"Aku juga."
TAMAT
Putri Aulia Fauziah
10 April 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Batas Halusinasi
Teen FictionReboot Luka Terindah Jika di Luka Terindah kamu akan bertemu dengan dongeng tentang Dewa Matahari dan Dewi Cahaya, di cerita ini kamu hanya akan bertemu dengan kedua anak kecil yang sangat ingin pergi ke bulan dan membuat dunia mereka berdua di sana...