Kenyataan Ke-Dua

29 7 7
                                    

Fian ke luar dari kamarnya saat mendengar keributan yang berasal dari kamar orangtuanya. Bagas sudah lebih dulu berada di depan pintu kamar ayah dan bundanya mendengar berbagai macam kata makian keluar dari mulut kedua orang yang berada dalam kamar tersebut.

Fian berlari mendekat kepada Bagas untuk menutup telinga adiknya.

"Bajingan kamu, Mas!"

"Saya bajingan, lantas kamu apa?!!!"

Fian merasakan nyeri di hatinya saat mendengar kedua orangtuanya saling mengeluarkan kata cacian yang dilayangkan satu sama lain.

"Saya nggak mau tahu, saya sudah urus surat perceraian kita, dan hak asuh Bagas akan saya perjuangkan!"

Fian membeku di tempatnya.

"Hak apa yang kamu punya untuk bawa Bagas?"

"Hak? Oh, iya, saya nggak punya hak apa-apa, kamu kan yang selama ini selalu punya hak sampai saya kehilangan masa dewasa saya dengan menikahi kamu, dan ngurus anak kamu!"

"RONALD!!!"

Dapat Fian dengar suara bundanya yang meninggi. Fian semakin tak mengerti sumber masalah yang bisa menyebabkan kedua orangtuanya bertengkar hebat seperti ini. Yang bisa Fian lakukan hanyalah membawa Bagas masuk ke kamarnya dan menenangkan adik kecilnya.

"Bunda sama Ayah kenapa, Kak?" tanya anak itu saat ia sudah naik ke atas ranjangnya.

"Kakak juga nggak tau, Bagas di sini aja, ya?"

Bagas memegangi tangan Fian. "Kakak tidur sini aja, temenin Bagas."

Fian tersenyum lalu mengangguk, ia mengambil tempat di kasur Bagas, kemudian ia menemani adiknya tidur. Sampai ia juga ikut terlelap ke dalam mimpinya.

🌓

Fian mendekat kepada bundanya setelah mendengar wanita itu sedang menangis. "Bunda kenapa?" tanya Fian. Ia mendekatkan kepalanya kepada lengan bundanya, berusaha menghibur walaupun ia tahu ini semua tidak ada gunanya.

Moli mengusap kasar sisa-sisa air mata yang ada di wajahnya, lalu ia beralih menatap Fian. "Nggak papa, Sayang. Kamu siap-siap gih berangkat sekolah."

"Iya, ini mau siap-siap," jawab Fian, ia memandangi wajah bundanya lamat-lamat, lalu tangannya terulur untuk menghapus jejak-jejak air di mata bundanya. "Bunda jangan nangis lagi."

Moli menghapus air matanya, lalu tersenyum. "Iya, Nak, ini karena abis motong bawang aja."

Fian mengangguk, menyudahi pembicaraan pagi ini. Ia tahu, semakin banyak ia berbicara, akan semakin banyak bundanya berbohong.

🌓

Hari terakhir Ujian Nasional, langit mendung mulai terlihat dari lapangan sekolah Fian. Fian sudah selesai mengisi semua soal ujiannya. Dia sekarang sedang berjalan pulang melewati lapangan sekolah menuju pagar. Dia berencana mengajak Keisha main sepulang sekolah, dia mempercepat langkahnya agar tidak keduluan hujan.

Sepi. Apa Keisha belum pulang?

Fian menunggu di depan rumah Keisha, mungkin sebentar lagi Keisha pulang.

Langit semakin gelap, rintik hujan pertama jatuh mengenai kepalanya.

Sebentar lagi, pasti Keisha pulang.

Dia tetap menunggu, sampai hujan semakin deras membasah-kuyupi dirinya.

Sebentar lagi.

Hujan tak kunjung reda, Keisha pun tak kunjung terlihat.

Apa Keisha pergi sama mamanya setelah ujian tadi?

Hujan perlahan reda, menciptakan banyak genangan. Hawa dinginnya mulai menyelusup. Fian masih berdiri di depan rumah Keisha, menantinya pulang agar bisa bermain. Fian memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang menjadi alasan Keisha belum pulang sampai saat ini, akhirnya dia memutuskan untuk pulang, dan menunggu Keisha di rumahnya.

Seperti hujan yang lalu, Fian selalu berharap agar kedatangannya tidak turut membawa petir. Tapi alam sedang tidak ingin mewujudkan harapnya, hujan kali ini membawa petir. Bukan petir yang berasal dari langit, melainkan petir yang berasal dari kabar bahwa ayahnya telah pergi meninggalkan dia dan bundanya.

Ayah telah pergi membawa adik dan sahabatnya. Ayah telah pergi bersama keluarga barunya. Petir menyadarkannya bahwa perpisahan bisa terjadi tanpa harus berpamitan. Petir kali ini datang dengan membawa luka baru untuknya. Hujan musim panas yang akan selalu membekas di ingatannya.

Fian menghampiri bundanya yang sedang menangis. Ruang tamu rumahnya sudah terlihat kacau; vas yang sudah tidak bisa lagi menjaga bunga dan airnya agar tetap di dalam, pecahan kacanya sudah bertebaran di lantai.

Fian ingin menangis, tapi tak bisa. Bundanya lebih butuh untuk ditenangkan. Anak itu meraih bundanya dalam dekapan, lengan kecilnya mencoba untuk merangkul tubuh besar bundanya. Menenangkan wanita itu, meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Fian kecil tak mengerti apa yang ada di pikiran orang dewasa. Apa semudah itu bagi sepasang kekasih untuk saling meninggalkan satu sama lain? Apa semudah itu bagi pria dewasa untuk meninggalkan wanita yang dicintainya? Apa semudah itu bagi seorang Ayah untuk meninggalkan anaknya? Apa cinta dapat berganti dengan semudah itu?

🌓

Putri Aulia Fauziah

01 Maret 2019

Sebuah Batas HalusinasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang