Kebahagiaan Ke-Sepuluh

5 1 0
                                    


Tok.. tok... tok...

Diana membuka pintu lalu menonjolkan kepalanya untuk melihat keadaan ruangan. "Tante boleh masuk?" tanyanya saat ia sudah yakin mata Fian sedang menatap ke arahnya.

Tak ada tanggapan, tapi Diana paksakan kakinya untuk masuk ke dalam ruangan itu.

Fian kembali terfokus menatapi ayunan yang berada di luar jendela itu.

Diana mendekat, ia duduk di samping Fian dan melempar senyum kepada anak itu. Tapi sepertinya Fian tak mau terlalu diganggu.

"Tante ganggu, ya?" tanya Diana yang merasa sangsi dengan keberadaannya sendiri di dalam ruangan ini. Tak ada tanggapan apa pun terhadap pertanyaan yang ia ajukan. Diana mengangguk,ia tahu Fian tak menginginkan kehadirannya. "Ya udah, Tante keluar lagi, ya? Fian cepat sembuh." Suara Diana saat mengucapkan kalimat itu persis seperti suara Keisha. 

Diana bangkit hendak beranjak dari duduknya. Fian menoleh, tangannya lansung menggenggam tangan Diana, mencegah wanita itu untuk pergi.

"Fian mau Tante di sini?" tanya Diana.

Fian mengangguk samar. Diana tersenyum dan kembali duduk di tepi ranjang. Fian terhipnotis oleh senyum itu, senyum yang sangat mengingatkannya dengan Keisha.

Diana mengehela napas saat melihat wajah Fian sudah seperti sebuah patung yang tak menunjukan ekspresi apa pun.

"Fian kondisinya udah mendingan?" tanya Diana.

Fian tak menjawab, bahkan tak terpikirkan di dalam benaknya untuk menjawab pertanyaan Diana.

Diana berdeham, tenggorokannya terasa sangat tercekat melihat kondisi Fian. Ia mengeluarkan sebuah lembar dengan kertas tebal dari dalam tasnya, kemudian diberikannya kertas itu kepada Fian.

Fian melirik kertas itu, lalu menerimanya. Ia melihat objek yang ada dalam foto tersebut. Seorang anak kecil dengan dengan rambut berkuncir dua, senyum lebar serta pipi tembamnya. Jari Fian menyapu lembut foto tersebut, sebuah senyum terbit di wajahnya. Senyum pertama sejak ia kehilangan Keisha, dan terbangun dari masa kritisnya.

"Keisha yang kamu lihat, seperti apa?" tanya Diana. Suaranya bergetar, hatinya tak pernah kuat menahan tangis setiap kali teringat putri kecilnya.

Fian menoleh, ia memandangi Tante Diana, lalu kembali memandangi foto Keisha yang berada dalam genggaman tangannya.

"Dia baik. Pipinya masih tembam," jawabnya dengan senyum yang tak pernah pudar. Ia terlihat sangat hidup saat ini.

Diana terkekeh mendengar deskripsi Fian terhadap putrinya.

"Rambutnya panjang, hitam. Cantik," lanjut Fian, matanya masih terpaku pada sebuah foto di tangannya. "Suaranya cempreng. Bawel. Berisik."

Fian menjeda ucapannya, sebuah gumpalan dalam tenggorokannya sedang ia coba untuk hancurkan. "Tapi, Fian rindu."

Napas Diana tertahan saat ia melihat sebersit binar di mata yang beberapa menit lalu sempat terlihat kosong. Mata gelap itu kembali hidup, dan terlihat sangat nyata sebuah cinta di dalamnya. Tangan Diana terulur menyentuh pucuk kepala Fian.

"Tante juga rindu," balas Diana. "Ikhlasin ya, Fian. Keisha udah tenang," pinta Diana yang meruntuhkan dinding pertahanan Fian.

Satu air mata luruh jatuh ke atas foto tersebut. Bagaimana bisa ia mengikhlaskan sosok yang belum pernah ia miliki?

Diana merengkuh Fian. Air mata Fian sudah mengalir deras—sesuatu yang tak dapat ia keluarkan selama ini. Bagaimana caranya ia mengikhlaskan?

--

Sebuah Batas HalusinasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang