Khayalan Ke-Lima

14 7 7
                                    

"Bun, Fian izin keluar sebentar, ya?"

Moli mendongakan wajahnya untuk menatap putranya. "Ke mana?" tanya Moli dengan senyum sumringah karena melihat putranya yang sudah mulai membuka diri untuk keluar rumah. "Mau ke rumah teman kamu?"

Fian menggeleng. "Bukan." Fian menggaruk tengguknya, mencoba mencari alasan yang tak menyangkut Keisha sama sekali.

"Duh ... boleh nggak, Bun?" tanya Fian lagi.

Moli tersenyum. "Iya, boleh, jangan pulang kemalaman, ya? Hati-hati."

Fian mengangguk, ia langsung membuka pintu rumahnya dan berjalan keluar pagar.

Langkahnya menyusuri setiap jalanan beraspal perumahan itu. Sesekali wajahnya mendongak untuk menatap bulan sabit dengan sinar redupnya di langit malam yang memayungi kepalanya. Langkah Fian bertempo lambat seirama dengan helaan napasnya. Angin malam berembus syahdu menampar wajah Fian dengan mata teduh yang terbingkai indah dengan kacamatanya.

Fian sampai di taman itu, taman yang penuh dengan kenangan; tentang sebuah janji yang pernah ia ucapkan, tentang seorang gadis kecil yang memintanya untuk menjaga janji serta kalungnya. Mata Fian menerawang setiap sudut taman tersebut dengan pencahayaan yang hanya berasal dari lampu-lampu taman yang tertancap di beberapa sudut taman. Fian menghela napas, ia sudah diizinkan untuk keluar rumah saat malam tapi teman masa kecilnya tidak berada di tempat yang sama untuk bisa ia ajak melihat bulan.

Fian mengeluarkan sebuah untaian rantai dengan liontin bulan indah yang bergantung di rantai tersebut. Ia mengangkat liontin kalung tersebut dan mengarahkannya pada bulan yang berada di langit.

"Aku udah di sini," ucapnya dengan intonasi selirih angin malam.

Fian menurunkan liontin tersebut, kemudian menghela napas berat. Ia hendak berjalan menuju sebuah ayunan tempat ia dan Keisha selalu menghabiskan waktu bermain bersama. Kaki Fian terhenti dengan degupan jantung yang kian tak menentu. Ia melihat seorang gadis sedang duduk di atas ayunan dengan wajah yang sedang menatap langit gelap di atasnya. Fian terdiam memandangi gadis itu, ia sempat berpikir bahwa gadis itu bukan manusia karena sosoknya yang terbalut dengan kegelapan malam. Tapi Fian dapat bernapas lega karena ia melihat kaki gadis itu masih menapak di tanah, kemudian ia berjalan mendekati satu ayunan yang masih kosong di samping gadis itu.

Gadis itu menoleh untuk menatap pria yang berjalan mendekatinya, senyum mengembang sempurna di wajah cantiknya.

Degup jantung Fian semakin tidak menentu melebihi beberapa waktu lalu saat ia mengira gadis itu adalah hantu. Fian berdiri kaku di tempatnya saat mata gelapnya dapat menangkap dengan jelas wajah gadis yang duduk di ayunan tersebut.

"Hei, kamu di sini juga?" gadis itu memulai pembicaraan terlebih dahulu.

Fian mengangguk. "Aku boleh duduk di sini?" tanya Fian menunjuk satu bangku ayunan yang kosong di sebelah gadis itu.

Keisha tersenyum geli. "Kenapa kamu selalu izin setiap kali mau duduk?"

Fian tersenyum kikuk. Ia duduk di ayunan tersebut, dengan mata yang tak dapat berpaling dari wajah cantik Keisha.

"Udah tiga kali kamu izin untuk duduk sama aku," ucap gadis itu lagi. Ia menoleh untuk melihat wajah Fian seakan tersadar dengan tatapan Fian yang melekat kepada dirinya.

Alis Fian menaik, ia mencoba mengingat-ingat, sepertinya baru dua kali ia meminta izin kepada gadis itu. "Tiga?" tanya Fian yang dihadiahi anggukan kepala oleh Keisha. Fian membenarkan posisi kacamatanya. "Seingat aku dua."

Keisha menatap Fian dalam-dalam. "Tiga," ucapnya lagi tak ingin dibantahkan.

Fian mengedikan bahunya. "Maaf, yang satunya aku nggak ingat." Lalu ia alihkan pandangannya kepada langit malam yang terbentang di atas kepala mereka.

Sebuah Batas HalusinasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang