Ketakutan Ke-Dua

30 14 4
                                    

Sebelumnya, tolong baca part ini dan part sebelumnya dengan bijak. Ambil sisi baiknya saja.

🌓

Fian berdiam diri di dalam kamarnya. Setelah selesai bersekolah ia selalu menghabiskan waktu di dalam kamar sampai waktu untuk mandi dan makan malam tiba. Terlebih seperti sekarang ini, Moli belum pulang dari kantornya, sedang ayahnya sudah lebih dulu pulang, Fian tak akan pernah berani keluar dari kamar.

Fian membolak-balik buku pelajarannya, ia membaca kata per kata yang terdapat dalam setiap halaman buku tersebut, sampai suara pintu terbuka mengejutkannya.

"Ajak main adikmu, jangan di kamar terus!"

Fian menganggukkan kepalanya dengan terbata, ia menutup buku pelajarannya dan buru-buru ia keluar kamar untuk mengajak adiknya bermain.

Bagas sedang bermain mobil-mobilan di ruang tamu, Fian duduk di dekat anak itu. Bagas mendongak untuk melihat wajah kakanya, lantas ia tersenyum.

"Mobil Kakak mana?" tanya Bagas kepada Fian. "Ayok main sama Bagas."

Fian berdiri, ia kembali ke dalam kamarnya untuk mengambil mobil-mobilan miliknya. Ia menaruh mobil miliknya di atas lantai dan bermain bersama adiknya. Bagas memaju-mundurkan mobilnya agar bisa melaju kencang mengalahkan mobil milik kakaknya. Berkali-kali Bagas berteriak kencang karena ia berhasil mengalahkan kakaknya. Sedang Fian bermain dengan sangat tenang, baik kalah ataupun menang.

"Ih mobil Kakak bagus," ucap Bagas saat dia melihat mobil-mobilan milik kakaknya. Ia memandangi mobil-mobilan itu. Ini bukan pertama kalinya ia melihat mobil-mobilan milik kakaknya, karena saat membelikan mainan kepada kedua anaknya, Moli selalu mengajak mereka untuk memilih sendiri mainan yang mereka inginkan, dan Moli selalu membelikan mereka sepasang dengan model dan warna yang sesuai dengan pilihan mereka.

"Mobil kamu juga bagus," ucap Fian mencoba menanggapi ucapan adiknya.

"Kalau gitu, kita tukelan aja."

Sial, sepertinya Fian salah memberikan tanggapan.

"Jangan, itu punya Kakak. Punya kamu juga bagus, Gas."

"Tapi aku mau ini." Bagas menggenggam erat mobil mainan milik Fian.

Fian mencoba mengambil mobil-mobilannya dari genggaman tangan adiknya. "Jangan, kita kan udah punya masung-masing," larang Fian setelah berhasil mengambil mobil-mobilan miliknya.

"Ya makanya kita tukelan, Kakak ambil punya Bagas."

"Kalau kamu suka ini kenapa pas dibeliin sama Bunda kamu malah milih yang itu?" tanya Fian mencoba menjaga intonasi suaranya tetap rendah agar tak terdengar oleh ayahnya.

"Ya Bagas pengin itu sekalang!"

Di saat Fian mencoba merendahkan intonasi suaranya, Bagas justru memperbesar volume suaranya.

"Gas, jangan gitu, nanti kamu kebiasaan sampai besar selalu pengin diturutin terus."

Perkataan Fian rupanya bukan menjadi penenang bagi Bagas melainkan menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Perkataannya berbalik menyerangnya karena tangisan Bagas yang pecah setelah mendengar perkataan kakaknya. Bagas melempar mobil-mobilannya ke tubuh Fian, tepat mengenai perutnya.

"Jangan dibuat nangis adik kamu, saya lagi nggak pengin marah-marah," ucap Ronald yang mendengar percakapan mereka. Intonasinya ia jaga, tapi justru itu mampu meruntuhkan keberanian Fian.

Fian terkesiap di tempatnya saat mengetahui bahwa ayahnya dapat mendengar percakapan mereka. Buru-buru ia memberikan mobil-mobilannya kepada Bagas, dan berusaha menenangkan anak itu. "Nih, Gas, buat kamu. Jangan nangis lagi, ya?" pinta Fian, sebisa mungkin ia memeluk adiknya untuk meredam suara tangis bocah kecil itu.

Sebuah Batas HalusinasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang