Khayalan Ke-Delapan

11 6 8
                                    

Fian, kamu ke sekolah bawa mobil aja, ya?
Bunda bawa motor kamu.
Sarapannya udah Bunda siapin di meja makan, jangan lupa sarapan!
Maafin Bunda.

Fian membaca surat yang terdapat di atas meja ruang tamu, tertimpa oleh kunci mobil. Kemudian ia menuju meja makan, melihat sepiring nasi dan telur mata sapi di meja makannya. Dia tak lapar, tapi juga tak tega membiarkan bundanya sedih jika dia tak memakan sarapannya. Jadi, Fian mengambil kursi dan duduk untuk menghabiskan makanan tersebut.

Moli memang sengaja menyuruh Fian untuk bawa mobil. Dia teringat Fian pernah jatuh dari motor saat anak itu tahu fakta tentang orangtuanya, dan ia tak ingin kejadian itu terulang lagi.

🌓

Fian berjalan di koridor dengan langkah gontai, berkali-kali pria itu menghela napas berat. Kepalanya tertunduk ke bawah, sampai suatu tangan lembut menyentuh pergelangan tangannya membuat ia menoleh.

Senyum merekah Keisha menyambut paginya, membuat pagi ini terasa sedikit lebih menyenangkan untuk sementara baginya. Tapi semua itu berubah, saat dia memasuki kelas dan melihat Bella sedang duduk di kelasnya.

Ah, semesta lagi senang bercanda dengan dirinya.

Fian berjalan ke arah tempat duduknya dengan sebisa mungkin tidak melihat Bella. Tapi tak mungkin, gadis itu duduk tepat di depan mejanya.

Fian menatapi gadis itu dari belakang, sekarang ia tahu alasan kenapa dia selalu mempedulikan Bella, alasan kenapa rasa nyaman turut hadir setiap kali dia ada di dekat Bella, walaupun dia tahu dia amat mencintai Keisha.

Fian menghela napas berat lagi kemudian mengalihkan pandangannya ke jendela, menatapi ranting-ranting pohon yang berterbangan tak tentu arah, seperti memasrahkan hidupnya kepada angin.

Apa hidupnya juga seperti ranting-ranting pohon itu, sedangkan takdir yang bertugas seperti angin?

🌓

Saat pelajaran, Fian tak bisa fokus mendengarkan materi yang disampaikan oleh guru, terlebih lagi saat dia menatap punggung gadis yang ada di depannya. Fian menghela napas berat berkali-kali, membuat Bella sesekali menoleh ke arahnya.

Dan saat bel pulang berbunyi, Bella menoleh ke arah Fian. "Kamu kenapa?" tanya Bella yang menambah luka di hati Fian terasa sangat perih.

Fian menggeleng tanpa menatap Bella, dia berusaha sebisa mungkin tidak membuat kontak mata dengan gadis itu.

Fian kemudian bangkit yang disusul dengan Bella.

Bella masih memandangi Fian. Kilau mata pria itu redup, pandangan serta kepalanya tertunduk ke bawah. Bella tahu ada sesuatu hal yang terjadi pada pria yang sedang berdiri di depannya ini.

Mata Bella masih fokus memandangi raut sedih Fian, sampai ia tak sadar segala pergerakan Fian terekam oleh retinanya hingga pria itu menunduk ke arah kakinya untuk membenarkan ikatan tali sepatunya yang terlepas.

"Ayo, aku antar pulang." Suara lirihnya beradu dengan bisingnya keadaan kelas.

"Nggak usah, kamu pulang berdua sama Keisha aja," jawab Bella dengan senyum getirnya.

Ia masih belum berani memberitahu Fian tentang Keisha. Ia masih belum berani membawa pria itu hancur saat ia memberitahu bahwa Keisha tidak nyata. Tapi tak bisa dipungkiri, ia juga ingin mengetahui apa yang menyebabkan Fian sampai pada level berhalusinasi seperti ini.

"Nggak papa, Keisha ngerti, kok." Fian mengurai senyum palsunya.

Fian mengajak Bella menuju kelas Keisha, gadis itu telah berdiri di depan kelasnya. Ini pertama kalinya kelas Keisha selesai lebih dulu dari kelasnya.

Sebuah Batas HalusinasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang