Kesedihan Ke-Enam

12 2 6
                                    

"Bun, boleh minta nomor Om Jaya?" Lidah Fian terasa berat saat memanggil nama itu, tapi harus ia lakukan, demi seseorang yang tak ingin ia lihat lagi air matanya.

"Buat apa?"

Fian tersenyum miris ketika menangkap wajah panik Bundanya. "Masa minta nomor ayah kandung Fian sendiri nggak boleh, Bun?" Fian cengengesan ketika mengucapkan kalimat itu.

Moli langsung kelagapan dan mengganti ekspresinya kurang dari sepersekian detik. "Bukan gitu ... ." Moli seperti kehabisan kata-kata. Dengan tangan gemetaran ia mengeluarkan benda pipihnya, lalu mengirimkan nomor Jaya kepada Fian.

Fian masuk ke kamarnya, ia mengirimkan pesan kepada nomor yang baru saja diberikan bundanya kepadanya. Ia harus meminta ayah kandungnya untuk mengaku kepada Bella. Ia tahu, gadis itu sudah jatuh dalam perasaannya sendiri. Fian tak ingin Bella semakin terluka.

🌗

Fian menunggu Jaya di kafe yang sudah mereka janjikan. Lima belas menit Fian menunggu kedatangan ayah kandungnya. Sisa-sisa gerimis masih bergelantungan di ujung atap kafe, membuat basah tanah dan aspal yang berada tepat di bawahnya. Suara geluduk masih terdengar, sepertinya akan ada hujan susulan.

Fian memerhatikan tiap-tiap orang yang melewati pintu masuk kafe dari tempat duduknya. Belum juga ia lihat batang hidung ayah kandungnya. Fian tertegun, harus ia panggil apa pria itu saat dia datang? Bolehkah ia memanggilnya 'Ayah'? Atau ia hanya diizinkan untuk memanggilnya 'Om'?

"Kamu udah nunggu lama, ya?"

Suara bass seorang pria tua mengagetkan Fian. Fian mengerjap kemudian beralih menatap sumber suara. Senyum tipis tercetak di wajah manis pria tersebut kala melihat siapa yang berdiri di depannya.

Jaya memutuskan untuk datang menemui Fian, setelah beberapa menit pesan anak itu sengaja ia hiraukan. Pria tua itu duduk di depan Fian, dan mengulas sebuah senyum.

Kaku. Mereka sama-sama mengkaku di tempat mereka duduk.

Jaya melirik gelas yang sudah berada di genggaman tangan pria muda di hadapannya. "Kamu udah pesan minuman?"

Fian menganguk, kemudian menatap gelasnya. "Saya mau pesankan satu minuman untuk Om, tapi nggak tahu apa minuman kesukaan Om." Lidahnya terasa kelu saat mengucapkan kalimat itu. Harusnya seorang anak mengetahui minuman apa yang disukai oleh ayahnya.

"Ya udah nggak apa-apa. Saya bisa pesan sendiri." Pria itu mengulas senyum, yang dibalas senyuman juga oleh Fian, kemudian pria itu memesan minumannya.

"Mau ngomong apa?" tanya pria itu setelah ia selesai memesan.

Fian membeku di tempatnya. Seketika ia menjadi ragu dengan apa yang mau ia bicarakan.

"Alfian?" panggil pria itu lagi.

Fian tersadar di tempatnya, kemudian menatap pria yang baru tadi memanggil namanya. Itu pertama kalinya dia mendengar ayah kandungnya memanggil namanya.

Fian menatap lamat ke dalam mata pria yang duduk di depannya, merasakan setiap linu yang syahdu menyayat hatinya.

"Om masih belum mau cerita sama Bella?"

Pertanyaan Fian berhasil membuat Jaya memundurkan tubuhnya dan bersandar pada sandaran punggung kursi di belakangnya. Jaya termenung dengan mata yang masih menatap lurus ke dalam mata Fian.

Fian menelan salivanya sendiri.

"Untuk apa?" tanya pria itu lagi, membuat Fian merasakan sengatan listrik di tubuhnya.

"Akuin kesalahan Ayah." Kalimat itu terlantur keluar dari mulutnya. Ia tak mungkin mengatakan bahwa Bella menyukainya.

Jaya terdiam, mengalihkan pandangannya ke objek apa pun di sekitar mereka asal bukan mata penuh luka yang berasal dari anak kandungnya. Jaya mendesah pelan, kemudian mengeluarkan suara beratnya. "Itu masa lalu, Fian."

Fian terpekur di tempatnya. Masa lalu?

Mata Fian berubah nanar, ia menenggelamkan matanya pada secangkir kopi di dalam gelas. Ia ingin hanyut bersama sisa-sisa air hujan yang masih menetes. Ia memilih untuk dijitaki berkali-kali oleh rintiknya daripada harus merasakan ditikam oleh perkataan ayah kandungnya.

"Bella tahu untuk apa?" tanya pria itu lagi semakin membuat Fian ingin menghilang bersama debu-debu yang berterbangan terhempas oleh angin.

Fian memejamkan matanya, mengumpulkan keberaniannya. "Bella suka saya, Om." Fian tak tahu kenarsisan dia berasal dari mana, tapi tatapan dan ucapan Bella siang tadi telah membuktikan semua firasat dia selama ini. "Bukan untuk saya, tapi untuk Bella. Tolong Bella keluar dari perasaannya sendiri."

Jaya menaruh kedua sikut tangannya di atas meja kemudian kepalan tangannya menopang keningnya. Ia sudah tahu pria yang duduk di depannya adalah alasan dibalik sikap murung putrinya akhir-akhir ini. Tanpa harus Fian memberitahunya, Jaya sudah lebih dulu mengetahuinya. Itu semua jelas terbaca dari mata Bella yang berbinar serta senyumnya yang selalu merekah kala gadis itu bersama dengan Fian, Tapi ia tak akan tega melihat putrinya hancur untuk kedua kalinya.

Jaya menurunkan tangannya dari atas meja, kemudian mendesah pelan. Matanya menatap pria muda yang masih tertunduk diam di tempatnya. Ia juga tak ingin putranya hancur. Batinnya berteriak lirih meminta maaf dari anaknya, tapi mulut dan otaknya tak pernah mengizinkan kata itu keluar dari mulutnya.

"Nanti saya pikirkan lagi. Hujan udah mulai turun, kamu pulang aja jangan sampai kehujanan." Jaya bangkit. Dia tak membawa apa pun saat datang. Jadi, sekarang ia dapat melenggang begitu saja meninggalkan kafe dengan suasana sendu yang mereka berdua ciptakan sendiri. "Minumannya saya aja yang bayar."

Saat Jaya hendak bangkit, satu gerakan dari Fian menghambatnya. Jaya menoleh dan melempar tatapan tanya padanya.

"Boleh saya manggil Om dengan sebutan 'ayah'?"

Jaya terpaku di tempatnya. Mata putranya sendu, ucapannya tadi seperti meminta diselamatkan. Seakan saat dia dapat memanggilnya 'ayah' hidup pemuda itu akan jauh lebih bahagia dari sebelumnya.

Jaya tak mampu menjawab pertanyaan itu, pertanyaan yang hanya membutuhkan satu jawaban "iya" atau "tidak", tapi otak dia terasa membeku kala memilah jawaban yang harus ia berikan.

Hujan deras mulai turun dan rintik-rintiknya mulai memenuhi kaca kafe. Jaya melepaskan tangan Fian kemudian mengulas sebuah senyum. "Pulang, sudah hujan."

Tak ada petir, tapi rasanya dada Fian sudah tersambar olehnya. Tangan Fian yang sempat bertahan memegangi lengan ayahnya pun kini sudah jatuh tergulai. Tak ada lagi harapan baginya, ia memang dilahirkan untuk tidak boleh berharap apa pun.

Pria tua itu pergi. Ayah kandungnya pergi. Fian memandangi punggung tegak yang sudah mulai terlihat rapuh itu. Punggung itu menuju pintu keluar dan hilang ditelan oleh jarak pandang Fian.

🌗

Aku melihatnya hancur, dan aku tidak bisa menolongnya.

🌗

Putri Aulia Fauziah

03 April 2020

Sebuah Batas HalusinasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang