Ketakutan Ke-Empat

15 5 3
                                    

Fian sampai di sekolah tepat sebelum bel masuk berbunyi, ia berjalan tergesa-gesa menuju kelasnya. Beruntung, belum ada guru yang masuk untuk mengajar jam pertama di kelasnya, Fian berjalan masuk dan mengatur napasnya, dia sedikit terkejut karena melihat Bella sudah duduk di bangkunya.

"Kamu sekolah?" tanya Fian yang kebingungan, ia duduk di kursinya dengan mata yang masih terpatri kepada Bella.

Bella tersenyum, sedikit mengernyit. "Aku kira malah kamu yang nggak sekolah."

Fian memandangi senyum Bella, ada kesedihan yang gadis itu tutupi, dan itu dapat dengan jelas terbaca oleh Fian, "Ibu kamu udah mendingan?" tanya Fian hati-hati. Biar bagaimana pun ia ingin mengetahui perkembangan kondisi ibunya Bella.

Senyum Bella memudar, tergantikan dengan tatapan nanarnya, matanya berubah redup. Dia menggeleng.

Fian terdiam di tempatnya, dia tak tahu harus mengeluarkan kalimat penenang seperti apa. Tangannya terulur menyentuh punggung tangan Bella. Ada getaran yang menjalar saat tangan mereka bersentuhan. Ini pertama kalinya, dia menyentuh tangan seorang gadis seperti ini, selain Keisha.

"Ibu kamu pasti sembuh, Bel." Kalimat itu yang terlontar dari mulutnya, sambil menepuk-nepuk pelan tangan Bella.

Bella mendongak, menunjukkan mata yang penuh dengan luka dan kekhawatiran. "Kalau nggak sembuh gimana, Fian?"

Fian terdiam, begitu juga dengan tepukan di punggung tangan Bella. Dia tak tahu harus menjawab apa. Dia tak pernah berada di posisi Bella sebelumnya. Fian mendesah, ia palingkan pandangannya kepada jendela, lalu menundukan wajahnya, dan kemudian berganti menatap Bella. "Jangan ngomong gitu."

🌓

Fian duduk di kursi samping bangsal, memandangi wajah pucat ibunya Bella. Kemarin dia tak sempat mengobrol dengan beliau karena kondisi Bella yang sedang shock berat. Fian menggenggam tangan wanita paruh baya itu. Senyum ramah wanita itu hilang. Suara lembutnya berganti dengan suara monitor.

"Tante, maaf, Fian nggak pernah main ke rumah lagi akhir-akhir ini." Fian membuka percakapan tunggalnya. Dia sungguh menyesal karena sudah tak pernah lagi mengunjungi rumah Bella. "Cepat sembuh, Tan. Bella hampir kehilangan harapan."

Fian mencium tangan dingin itu, kemudian beranjak dari ruangan itu. Di luar ruangan dia melihat Om Jaya yang sedang menenangkan Bella.

Bella menangis lagi.

Ketika melihat Fian sudah keluar, Om Jaya langsung bangkit, menepuk pundak Fian. "Makasih, Nak. Sudah mau jenguk Tante," ucap pria itu sambil tersenyum. Senyum yang tak seceria sewaktu pertama mereka bertemu. Sorot mata pria berkumis itu redup. Kenapa rasanya bergitu mencekat ketika melihat keluarga ini dirundung kesedihan?

Fian mengangguk, kemudian mengambil tempat di sebelah Bella. Gadis itu telah menghapus air matanya saat Fian keluar. Fian menatap gadis itu, dia tak perlu menghapus air matanya hanya karena ia keluar ruangan. Sungguh, dia tidak akan menghakimi siapa pun yang bersedih sampai meneteskan air mata.

Fian menghela napas. "Kamu boleh nangis, jangan ditutupin."

🌓

Putri Aulia Fauziah

19 April 2019

Sebuah Batas HalusinasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang