Kenyataan Pertama

37 15 11
                                    

Dua tahun berlalu semenjak kejadian yang hampir melayangkan nyawa Fian. Anak itu dilarikan ke rumah sakit oleh bundanya tepat sebelum kesadarannya hilang. Tuhan masih mengizinkan Fian untuk melanjutkan kembali hidupnya walau selalu dihantui dengan ketakutan setiap kali bundanya tidak berada di rumah. Tentunya kejadian itu tak akan pernah diberitahu oleh siapa pun, termasuk keluarga Keisha.

Hubungan keluarga Keisha dan Alfian juga jadi semakin dekat, Ronald sering mengajak Bagas ke rumah Keisha, dan Moli pun sering melakukan hal yang sama kepada Fian, begitu juga Diana yang sering mengajak Keisha untuk bermain ke rumah Fian.

Keisha juga menjadi lebih dekat dengan Bagas, mereka sering bermain bersama, tapi tak pernah ada Fian di sana. Anak itu selalu berada dalam kamarnya, pintunya selalu terkunci, hanya terbuka saat bundanya di rumah, juga jika Keisha yang mengetuknya.

Kedua anak kecil itu tengah bermain di tempat yang selama dua tahun belakangan ini sering mereka kunjungi—taman yang berada di perumahan mereka. Mereka sedang duduk di ayunan. Keisha memandangi wajah Fian yang menatap hamparan langit mendung di atas kepala mereka, tatapannya kosong menerawang entah ke mana.

Awan hitam sudah mulai menggantung di langit, suara geluduk kecil sudah mulai terdengar, tapi Fian masih belum mengeluarkan sepatah kata pun setelah mengajak Keisha untuk ke taman ini.

Keisha mengayun-ayunkan ayunannya agar Fian berhenti melamun. Karena kesal Fian tak juga mengangkat suara, akhirnya Keisha mencoba membuka obrolan duluan.

"Pian?" Keisha menyenggol pelan lengan Fian. Sudah berkali-kali ia memanggil nama anak laki-laki itu tapi tak pernah dapat jawaban.

Fian berjengit karena sentuhan Keisha, ia menoleh dan mendapati wajah Keisha yang sedang menatapnya. Alisnya menaik meminta pertanggungjawaban karena waktu melamunnya sudah direbut oleh anak gadis berpipi tembam itu.

"Kamu ngajak ke sini, tapi malah diem aja!" gerutu Keisha.

Fian menepuk jidatnya, ia lupa dengan tujuannya. Fian mengeluarkan sebuah benda kecil dari kantong jaketnya; sebuah gantungan kunci dengan sebuah bintang berwarna kuning empuk yang menggantung pada seutas tali berwarna senada. Fian melihat benda tersebut di toko dekat sekolahnya, ia rela membongkar celengannya untuk membeli gantungan kunci ini untuk Keisha.

"Ini buat kamu." Fian menyodorkan gantungan kunci itu kepada Keisha.

"Ini apa?" tanyanya.

"Kamu nggak tahu ini apa?"

Keisha terkekeh. "Iya, tahu. Tapi maksudnya untuk apa?"

"Kamu selalu ngajak ke bulan, selalu ngajak ngeliat bulan, dan aku selalu nggak bisa. Jadi, semoga ini bisa gantiin permintaan kamu, karena nunggu kita besar itu terlalu lama."

Keisha tersenyum, sangat manis. "Tapi ini kan bintang, bukan bulan," protes Keisha dengan mulut monyongnya.

Fian menghela napas dalam, kemudian ia mengusap tengguknya. "Adanya bintang."

Keisha menanggapi jawaban Fian dengan senyum manisnya. "Nggak apa-apa, sih, sebenernya. Aku suka. Makasih, Pian!!!!" seru Keisha senang.

Fian tersenyum membalas ucapan manis Keisha. Lalu mengarahkan pandangannya pada langit mendung yang membentang luas di atas kepala mereka. "Kei, mendung."

Keisha sontak mendongakan kepalanya ketika mendengar perkataan Fian. "Dari tadi di sini, dan kamu baru sadar?"

"Emang mendung dari tadi?"

"Yang kamu ngeliat ke atas terus itu, kamu ngeliatin apa sampai nggak sadar kalau langitnya mendung?"

Fian menggaruk tengguknya, ia menyengir lebar menyadari kebodohannya.

Keisha menggelengkan kepala, kemudian beralih menatap langit lagi, senyumnya mengembang membuatnya jadi semakin cantik. "Bagus dong, berarti kita bisa ujan-ujanan."

"Tapi mendung belum tentu hujan, Kei."

Langit semakin gelap, bukannya memutuskan untuk pulang, kedua anak itu tetap diam menatapi langit, berharap agar hujan turun.

Rintik hujan yang lembut mulai menyapa tanah yang kehausan akan hujan. Kedua anak itu mengembangkan senyumnya.

"Ayok!" Fian berdiri mengulurkan tangannya, Keisha menerima uluran tangan Fian, kemudian mereka bermain di bawah hujan. Membiarkan tubuh mereka basah. Merelakan kepala mereka dijitak ribuan kali oleh rintiknya. Mempersilakan udara dingin menelusup tulang-tulang mereka.

Saat hujan turun, kali ini mereka berharap agar hujan tidak datang membawa petir.

Keisha tersenyum, kemudian berkata di bawah deru air hujan yang deras. Suaranya sengaja ia tinggikan agar dapat terdengar jelas oleh Fian. "Pian! Pas kita udah besar dan dibolehin keluar malam. Kita main ke taman ini, ya? Yang aku lihat di TV orang dewasa udah diizinin keluar malam sama orangtuanya."

Fian tersenyum, dalam hatinya muncul rentetan pertanyaan yang seharusnya tidak ada di pikiran anak kecil. Apa dia masih diberi kehidupan sampai usianya menginjak dewasa? Apa dia akan selamat jika terus tinggal bersama ayahnya? Karena, dalam setiap harinya, Fian seolah dihantui oleh kematian.

🌓

Mereka berdua pulang setelah menghabiskan banyak waktu di taman. Keisha melihat sepasang sandal yang ia yakini adalah milik ayahnya Fian. Ia langsung menyesal karena tak mengajak Fian mampir ke rumahnya agar mereka bisa bermain lebih lama lagi.

Keisha memasuki rumahnya, untuk mengejutkan kedua orang tua itu, tapi kondisi memperbalikannya, Keisha yang dibuat terkejut karena tangan Ronald telah melingkar di pundak mamanya.

"Tunggu selesai Ujian Nasional dulu ya, Mas, saya nggak mau konsentrasi Keisha terganggu."

"Tapi janji ya setelah itu kita bisa bersama. Saya udah siapin rumahnya, semua sudah terencana dan saya juga udah siap untuk mengurus perceraian."

Keisha membekap mulutnya, ia melangkah mundur hingga tubuhnya menabrak pintu di belakang dan mengeluarkan suara yang mengejutkan kedua orang tua itu.

"Keisha?"

Keisha menahan air matanya agar tak keluar. Ia berlari ke kamarnya dengan badan yang masih basah karena air hujan. Ia mengunci pintu kamarnya rapat-rapat sehingga mamanya tak dapat masuk.

🌓

Keisha berada di taman lagi bersama Fian, besok adalah hari terakhir Ujian Nasional, dan Keisha memaksa untuk datang ke sini, sehingga Fian mau tak mau menyetujuinya dan bersusah payah meminta izin kepada bundanya. Belakangan ini Keisha berubah menjadi pendiam, dan Fian bukan orang yang pandai membuka obrolan. Jadi, yang bisa Fian lakukan hanya berdiam menemani Keisha dan menunggu agar gadis itu membuka mulutnya untuk berbicara dengannya.

Keisha mendongakan wajahnya, ia menyentuh lengan jaket Fian agar anak laki-laki itu menoleh kepadanya.

"Tolong lepasin kalung aku," pinta Keisha. Ia menyampingkan rambutnya agar Fian mudah membuka pengait di kalung itu.

Fian melepaskan kalung itu dari leher Keisha, kalung dengan lionton berbentuk bulan dan terukir sebuah nama di dalamnya.

Keisha Luciana.

Keisha beralih menatap kalung yang berada di tangan Fian. Fian menyerahkan kalung itu, tapi ditolak oleh Keisha. Keisha melipat tangan Fian agar menggenggam kalungnya, "Buat kamu," ucap Keisha. Suaranya tak seriang biasanya, dan Fian semakin bingung dengan tingkah Keisha.

"Tapi kenapa?" tanya Fian.

"Simpan ini, untuk kenang-kenangan."

"Emang kamu mau ke mana?" tanya Fian lagi yang semakin dibuat bingung oleh Keisha.

Keisha mengganti kalimatnya. "Bukan, maksudnya tanda pertemanan."

"Tapi ini kan punya kamu." Fian kebingungan, tapi seolah tahu akan sesuatu hal yang tak baik, ia kembali bertanya, "Kamu mau pergi?"

Keisha menggeleng. "Aku nggak mau pergi."

🌓

Putri Aulia Fauziah

28 Februari 2019

Sebuah Batas HalusinasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang