Kenyataan Ke-Lima

12 5 16
                                    

Fian mengernyitkan keningnya ketika melihat ada sebuah motor tua di perkarangan rumahnya, ditambah dengan pintu rumahnya yang terbuka. Cepat-cepat Fian masuk ke dalam rumahnya untuk mengetahui pemilik motor tersebut.

Fian terkejut melihat Om Jaya dan bundanya sedang duduk berdua di dalam rumahnya.

"Bunda udah pulang?" tanya Fian yang kebingungan. Ini belum waktunya untuk bundanya pulang kerja.

Moli berdiri dan megangguk, sebenarnya ia izin pulang cepat karena ada sesuatu yang harus ia urus. "Sini duduk, katanya mau kenalan sama Om Jaya."

Jaya pun ikut berdiri menyambut Fian.

Fian menatap Jaya heran, lalu terkekeh. "Udah kenal, Bun." Fian kemudian menghampiri pria itu dan menyaliminya. "Bella nggak diajak, Om?" tanyanya setelah menyalami pria paruh baya tersebut.

Jaya menggeleng. "Bella memang sengaja nggak Om ajak ke sini."

"Kenapa?" tanya Fian lagi, dia masih belum menangkap jawaban dari pertanyaannya.

"Fian," panggil Moli yang membuat Fian menoleh kepadanya. "Fian pernah nanya Om Jaya siapa, kan?"

Fian mengangguk.

Moli terlihat menarik napas panjang, kemudian ia menatap mantap kepada Fian. "Ayah kamu."

Fian mengernyit di tempatnya. Bundanya pasti sedang mengigau. "Maksudnya, Bun?"

"Ayah kamu, dalam pengertian yang sebenarnya."

Tubuh Fian seperti terhempas, punggungnya menabrak tembok rumahnya tanpa bisa ia kendalikan lagi. "Nggak lucu, Bun," sanggah Fian dengan gelengan spontan dari kepalanya.

"Enggak Fian. Nggak ada yang bercanda. Bunda pikir kamu harus tahu siapa ayah kamu."

Fian beralih menatap Jaya yang juga berdiri kaku di tempatnya. Kepala pria itu tertunduk seperti sedang mengakui kesalahan yang sangat besar.

Satu hal lagi yang selalu Fian tanyakan, kenapa semesta senang sekali menyiksa manusia yang menghuni buminya? Ia dan Bella berteman baik, bahkan kalau Fian tidak gede rasa, ia sempat berpikir Bella menyimpan rasa kepadanya. Apa gadis itu juga harus ikut terluka?

Sepertinya semesta senang bermain-main, menjadikan manusia sebagai boneka tak berperasaan yang dapat dibawa terbang-terbang melayang di angkasa dan dengan mudah juga dihempaskan ke tanah.

Fian mematung cukup lama, tak merespon apa pun.

"Tolong jangan kasih tahu Bella dulu ya, Fian," pinta Jaya gemetar. "Bella masih berduka karena kehilangan ibunya."

Fian menoleh ke arah Jaya, dan menatapnya nanar.

Kenapa hanya Bella saja yang pria ini pedulikan? Apa mereka menganggap Fian manusia tanpa perasaan? Apa mereka pikir Fian tak akan hancur dengan kenyataan seperti ini?

Fian ingin beranjak meninggalkan orang-orang di ruang tamunya. Ia muak dengan drama keluarga yang sudah terjadi semenjak ia kecil. Ia ingin pergi ke kamarnya, mengurung dirinya agar tak lagi terluka. Tapi, kakinya lemas, kaki payahnya tak bisa membawa dirinya lari dari suasana itu.

Fian hanya terdiam, menyaksikan dua orangtua itu menangis karena teringat dosa masa lalu mereka, dan Fian sadar dia adalah wujud nyata dari dosa mereka.

Dan di saat itu, Fian merasa hina pada dirinya sendiri.

🌓

Moli berlari ketika mendengar suara hantaman keras bertubi-tubi dari kamar Fian. Setelah kejadian tadi, Fian masuk ke kamarnya dan enggan untuk keluar kamar.

Moli menghampiri kamar Fian, mengetuk pintu kamar itu dengan sangat panik.

"Fian?!" Moli masih mengetuk pintu kamar putranya. "Fian kamu ngapain, Nak?"

Tangis Moli semakin menjadi saat tak ada satu pun respon dari putranya. Dia takut putranya akan menyakiti dirinya sendiri. "Fian, maafin Bunda!!"

Tak ada respon apa pun dari dalam kamar Fian, Moli menangis sampai kakinya lemas dan terjatuh duduk di depan pintu kamar putranya. Kata maaf tak henti-hentinya terucap dari bibir perempuan tua itu.

Sementara di kamarnya, Fian sedang meringkuk, menjambaki rambunya frustasi. Kamarnya tak jauh berbeda dengan kapal yang telah diporak-porandakan gelombang lautan yang sangat besar. Kaca berserakan di mana-mana, barang-barang sudah tak berada di posisinya semula.

Pria itu menangis sampai tersungkur jatuh ke lantai, memegangi dadanya yang amat terasa sakit. Dalam kekalutannya dia masih sempat menahan suara tangisnya agar tak terdengar sampai keluar kamar. Bulir-bulir air mata jatuh menyusuli yang lain setiap kali kata maaf bundanya terdengar dari balik pintu kamarnya, tak elak juga darah yang terus mengalir dari ruas-ruas kuku jarinya.

Fian menatap nanar langit-langit kamarnya. Apa ia mempunyai dosa di masa lalu sampai ia harus membayarnya dengan cara sesakit ini?

"Fian salah apa, Bun? Sampai Fian harus ngerasain ini," gumamnya lirih menjawab kata maaf dari bundanya.

Isakannya berhenti, tapi ia masih membiarkan air mata dan darahnya tetap mengalir jatuh karena tertarik gravitasi. Gravitasi yang selalu menghempaskan manusia-manusia yang menapaki buminya. Gravitasi yang membuatnya sulit untuk bangkit. Gravitasi yang menahannya agar tidak berlama-lama berterbangan di angkasa. Gravitas yang menamparnya begitu kuat sehingga menghempaskan dirinya ke tanah.

🌓

Putri Aulia Fauziah

06 Mei 2019

Sebuah Batas HalusinasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang