Kesedihan Ke-Tujuh

7 2 2
                                    


Fian memandangi ke luar jendela. Tatapannya seakan menerawang tapi juga terlihat kosong dalam waktu bersamaan. Sudah satu hari semenjak dia siuman, tak pernah lagi ia melihat Keisha. Gadis itu sungguh telah tiada, dan selama ini ia sungguh hanya berhalusinasi.

Gadis itu seperti fatamorgana dalam dunianya yang hampa. Ia hadir mengisi kekosongan, mencoba mengobati setiap luka di hatinya, dan pergi meninggalkan sebuah luka baru yang akan sangat sulit untuk dicari penawarnya.

"Fian?" panggil seseorang dengan suara lembutnya.

Fian menoleh ke sumber suara, ia mendapati bundanya yang sedang tersenyum padanya dengan sebuah nampan berisi nasi di tangannya. Wanita itu mendekat, melempar senyum tulusnya kepada Fian. Nampannya ia letakan di atas meja yang berada pada samping ranjang Fian, lalu mengusap lembut rambut putranya.

"Fian makan, ya? Bunda suapin," ucap Moli dengan sangat lembut. Moli duduk di sebuah kursi yang berada di sisi ranjang Fian, lalu mengambil piring nasi dan mulai menyuapi putranya.

Sesekali Moli tersenyum saat tak ada satu pun penolakan dari Fian terhadap layangan sendok yang berisi nasi ke dalam mulut anak itu. Moli tersenyum sampai nasi di dalam piring tersebut habis. Ia bertepuk tangan seolah ia baru saja menyuapi seorang balita. Tak ada satu pun reaksi yang ditunjukan oleh Fian terhadap sikap bundanya. Anak itu lebih banyak menghabiskan waktunya dengan diam. Moli menanyakan hal itu kepada dokter, dan dokter menganggap itu sebagai hal yang wajar karena Fian baru saja sadar dari masa kritisnya.

--

Fian dipindahkan ke kamar lain, kamar yang lebih kecil dari kamar sebelumnya dan berisi dua bankar rumah sakit, tapi satu bankar lagi tidak ada yang menempati. Fian duduk di sisi satu bankar yang menghadap jendela. Matanya menerawang ke luar jendela tersebut, tepatnya pada sebuah atap rumah sakit di mana terdapat ayunan di sana.

Moli masuk ke dalam ruangan Fian, hatinya sedikit merasa perih saat lagi-lagi ia melihat putranya sedang melamun. Moli mendekat, ia duduk di samping Fian. Dari bola matanya yang sedikit bergerak saat Moli duduk, ia tahu bahwa Fian sadar akan keberadaannya di ruangan ini.

Moli memandangi lekuk wajah anaknya, matanya terlihat sangat sayu. Dokter bilang tak ada yang salah dengan sistem saraf atau yang lainnya, dan Moli juga sepertinya sudah tahu apa yang menjadi alasan di balik sikap putranya ini.

"Fian?" panggil Moli dengan suara lembut, tangannya menelusup pada jemari-jemari Fian. 

Moli mengikut arah pandang Fian, menuju satu titik tetap. Sebuah ayunan di atap rumah sakit. Moli menghela napas berat, ia tahu ayunan selalu jadi tempat terbaiknya bermain bersama Keisha saat masih kecil dulu.

"Fian mau Bunda potongin buah?" tanya Moli lagi sambil mengulas sebuah senyum. Fian tak menjawab, seolah tawaran bundanya tadi hanyalah angin lalu. "Bunda kupasin buah, ya?" tanya Moli. Ia hendak berdiri untuk mengambil satu buah yang berada di atas meja, tapi tangan Fian menahannya.

"Fian gila ya, Bun?" tanya anak itu dengan suara yang hampir tak terdengar.

Moli tersentak, ia kembali duduk dan memusatkan semua perhatian dan tubuhnya kepada putranya.

"Keisha nggak ada. Bunda tahu itu, kan?"

Moli menelan salivanya.

"Fian gila ya, Bun?" ulang Fian. Suaranya terdengar parau tapi matanya tidak memerah sedikit pun, tidak ada satu emosi yang terbaca dalam mata hitam itu.

"Enggak. Fian nggak gila, Sayang," ucap Moli. 

Justru dia yang ingin menangis melihat kondisi putranya saat ini. Moli maju, ia menghadang jendela dan menutupi pandangan Fian. Moli memegang erat kedua pundak Fian. "Fian nggak gila, Sayang. Anak Bunda nggak gila," ucap Moli, selaput bening sudah menggenang di kelopak mata indahnya.

Fian memandangi bundanya. Masih sama, tak ada satu gejolak emosi pun yang muncul dari mata gelapnya.

"Keisha udah ninggal empat tahun lalu," gumam Fian,  "tapi Fian ngerasa Keisha ada, Keisha nemenin Fian. Tubuh Keisha nyata, Bun, Keisha nemenin Fian," rintih Fian, tak ada satu pun air mata yang luruh dari mata gelapnya. "Tawa Keisha nyata, Keisha hidup, Bun."

Moli tak tahan lagi, ia membawa putranya dalam pelukannya. Air mata sudah terjun deras membasahi pipinya.

"Tapi Keisha udah meninggal."

"Bunda jangan nangis," ucap Fian lagi, tangannya menepuk pelan pundak bundanya.

Moli mengurai pelukannya dan menghapus kasar air matanya.

Tatapan Fian turun pada sebuah kalung yang menjuntai di leher bundanya. Mata Fian mengernyit samar, ia teringat tentang satu hal, kemudian tangannya bergerak seperti mencari sesuatu.

"Fian nyari apa, Nak?"

"Kalung! Kalung Keisha mana, Bun?!" tanya Fian dengan raut panik di wajahnya.

"Kalung Keisha yang Fian beliin?"

Fian mengangguk. "Sama kalung Keisha yang liontinnya bulan."

Moli tersenyum, ia membelai rambut Fian dengan tenang. "Ada, udah Bunda taruh di laci kamu."

Fian mengembuskan napas leganya. Hanya sekejap, mata gelap itu terlihat panik seperti ada kehidupan yang terjadi di dalamnya. Tapi sekarang mata gelap itu sudah kembali kosong.

Dan kalau boleh jujur, Moli lebih memilih melihat Fian menumpahkan semua kesedihannya lewat air mata dan menangis sekeras-kerasnya, daripada harus melihat anak itu terdiam dengan mata kosong yang menerawang.

--

23 Februari 2021

Putri Aulia Fauziah

Sebuah Batas HalusinasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang