Ketakutan Pertama

76 16 21
                                    

Bogor, tanah keringnya sedang diguyur hujan yang cukup lebat. Seorang wanita tergesa-gesa kembali ke rumahnya dengan payung yang terbentang di atas kepalanya. Wanita itu menaruh asal payung yang masih menitikan butiran air. Ia langsung mengembuskan napas leganya saat ia melihat suaminya sedang membaca koran di ruang tamu.

"Kamu tau tetangga kita yang rumahnya di ujung gang itu?"

Ronald yang merupakan suaminya itu hanya mengangkat alis sebagai respon terhadap pertanyaan wanita tersebut—Moli.

"Victor, tetangga kita, dia meninggal."

"Ada orang meninggal kenapa malah pulang? Bukannya ngelayat."

"Jenazahnya belum sampai ke rumah, masih dalam perjalanan. Emang kamu nggak dengar pengumumannya di Masjid?" tanya Moli yang hanya dibalas gedikan bahu oleh Ronald.

Ronald bangkit. "Aku ganti baju dulu, nanti kalau jenazahnya sudah datang, kita langsung ngelayat."

Moli mengangguk. "Aku juga."

🌓

"Bunda mau ke mana?" tanya seorang anak yang baru keluar dari kamarnya.

Moli menunduk, menyamakan tinggi badannya dengan putranya itu. "Mau ngelayat, ada tetangga kita yang meninggal."

"Siapa?"

"Itu yang rumahnya di ujung gang."

"Fian boleh ikut?"

"Enggak! Kamu di rumah aja jagain adik kamu." Kali ini berganti Ronald yang menjawab pertanyaan anaknya.

Fian memaksakan kepalanya mengangguk.

Moli menyentuh bahu Fian dengan lembut dan sorot mata teduh khas seorang ibu. "Fian di rumah aja ya jagain Bagas. Bagas lagi tidur tuh di kamarnya. Bunda sama Ayah pergi dulu, ya?"

Fian mengangguk. Ia mencium kedua tangan orangtuanya, lalu berjalan menuju kamar adiknya yang baru berumur 4 tahun—berbeda 6 tahun dengannya.

Fian duduk di sisi ranjang tidur adiknya, dan memandangi wajah mungil yang tengah terlelap ke alam mimpi. Jangan sampai adiknya terbangun karena ia punya kebiasaan menangis kalau terbangun dari tidur siangnya.

Fian kini beralih menatap langit-langit kamar. Baru saja ia ingin turut memejamkan mata, suara petir mengejutkannya, membuat ia spontan menegakkan tubuh. Di saat yang bersamaan, Bagas terbangun karena suara petir tersebut. Anak itu menangis, membuat Fian lebih terkesiap lagi di tempatnya.

Fian mencoba mencari cara agar adiknya kembali tertidur. Ia menepuk-nepuk bahu adiknya, tapi yang dilakukan oleh anak itu justru bangun dari kasurnya dan membuka pintu kamarnya. Anak kecil itu berjalan menuju kamar orangtuanya, dan membuka pintu kamar itu. Tapi, tak dapat ia jumpai satu orang pun di sana.

"Bunda mana, Kak?" tanya anak itu yang masih setengah sadar, dan masih ada sisa-sisa air mata yang tergenang di pelupuk matanya.

"Bunda pergi sebentar sama Ayah."

"Ke mana?"

"Ngelayat, Gas."

"Ngelayat apa?"

Fian berjongkok agar tubuhnya bisa sejajar dengan adiknya. "Ngelayat itu ngejenguk orang yang meninggal," jelas Fian asal. Ia juga tidak tahu apa pengertian dari ngelayat.

"Siapa yang meninggal?"

"Tetangga kita. Bagas mau makan nggak?"

"Nggak mau. Bagas maunya Bunda." Bagas meninggalkan kakaknya dan berjalan menuju pintu rumahnya. Tangannya terulur. Anak kecil itu menjijitkan kakinya agar dapat menyentuh gagang pintu. Sedikit lagi tercapai, tangan Fian sudah menghalangi tangan Bagas sehingga pintu tersebut tak dapat dibuka.

Sebuah Batas HalusinasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang