Khayalan Ke-Enam

29 6 12
                                    

Suasana rumah kembali sepi. Fian menghempaskan diri di atas kasur empuknya. Punggung tangan kanannya ia taruh di atas keningnya agar menghalau cahaya lampu yang menerobos masuk ke retina matanya. Fian mengambil kalung Keisha yang sengaja ia bawa ke sekolah tadi. "Bodoh!" gumam Fian merutuk dirinya sendiri karena ia terlupa untuk mengembalikan kalung Keisha.

Jam sudah menunjukan pukul satu pagi, tapi ia belum juga bisa memejamkan matanya. Fian menghela napas berat kenapa untuk tidur saja rasanya terlalu sulit. Ia sudah lelah dengan rasa sakit akibat goresan di tangannya, tapi ia juga lelah dengan mata yang enggan memejam saat tubuh dan pikirannya perlu untuk diistirahatkan.

Fian bangkit dari kasurnya berjalan menuju laci untuk mengambil sebotol obat tidur yang selalu ia tenggak setiap malam kalau dia sudah muak melihat darah di tangannya. Fian mengeluarkan dua biji tablet obat tidur tersebut. Belum sempat ia membuka tutup gelasnya untuk membantu tablet obat tersebut masuk ke tenggorokannya, suara getaran ponsel mengalihkan perhatiannya.

Fian menaruh kembali gelasnya, kemudian mengambil HP-nya. Belum pernah ada yang meneleponnya di tengah malam seperti ini.

Senyum Fian mengembang saat membaca nama yang tertera di layar ponselnya.

Keisha

Fian langsung menjawab panggilan tersebut. Suara menenangkan seorang perempuan mengisi indera pendengarannya. Meluas sampai ke relung hatinya. Menenangkan, sampai ia terlupa dengan niat awalnya untuk menenggak obat tidur.

"Kamu belum tidur?" tanya Fian pada gadis di seberang sana. Ia sudah mengembalikan tablet obat yang hampir ia tenggak ke dalam botol, lalu ia berbaring di atas kasurnya lagi.

"Belom bisa, kamu kenapa belum tidur?"

"Sama, belum bisa juga," jawab Fian dengan lengkungan bibir yang sempurna.

"Ih, ikut-ikut!" gerutu gadis di seberang sana. Suaranya semakin lucu karena serak, khas orang yang sudah mengantuk tapi belum bisa terlelap.

Fian tertawa, dan malam-malamnya yang selalu diisi dengan kesepian serta kedepresian terganti dengan suara renyah seorang gadis di seberang sana.

"Kamu udah ngantuk?" tanya Keisha.

Fian tersenyum. "Sedikit," jawabnya.

"Hmm..." Suara Keisha terdengar sangat lembut di telinganya. "Ya udah tidur sana, aku juga mau tidur."

"Selamat tidur," ucap Fian tepat sebelum sambungan teleponnya mati.

🌓

Sudah seminggu berlalu, hubungan Fian dan Keisha jadi semakin dekat. Fian selalu mengantar Keisha pulang, ditambah dengan percakapan manis mereka setiap malam saat salah satu dari mereka susah untuk terlelap. Fian tersenyum-senyum sendiri di depan meja belajarnya dengan pena dan buku yang terbuka.

"Kamu kenapa melamun?" Moli masuk ke kamar Fian tanpa mengetuk pintu, membuat Fian terperanjat di tempatnya karena terkejut.

"Fian nggak melamun, Bun, lagi mikir," jawab Fian sekenanya. Ia mengubah posisi duduknya sehingga terlihat meyakinkan bahwa ia sedang fokus belajar.

"Mikirin apa?" tanya Moli yang masih kukuh dengan firasatnya yang mengatakan bahwa putranya sedang dimabuk asmara.

"Pelajaran lah, Bun. Emang apa lagi?" Fian terkekeh. Jelas ia berbohong.

Merasa takut kebohongannya akan terbaca oleh bundanya, Fian memilih untuk memalingkan wajah. Moli tersenyum melihat tingkah putranya. Setelah perceraian ia dengan Ronald empat tahun lalu, tak pernah ia melihat tingkah putranya seperti ini.

Sebuah Batas HalusinasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang