Khayalan Ke-Sembilan

17 3 7
                                    


"Hei, sendirian aja?" Keisha menepuk punggung Fian saat dia melihat pria itu berjalan sendirian melewati kelasnya.

Fian menoleh, dan tersenyum mengiyakan pertanyaan Keisha. "Emang kamu ngeliat orang lain jalan bersamaku?"

Keisha terkekeh. "Nggak mau nawarin aku pulang bareng?"

Fian mengangguk semangat, lalu tangannya secara spontan menggenggam tangan Keisha, dan menuntun langkah gadis itu dengan riang.

🌓

Fian berjalan masuk ke rumahnya. Tanpa membuang banyak waktu ia langsung mengganti seragamnya dengan setelan kemeja flanel dengan paduan warna abu-abu dan hitam, celana jeans, dan kacamata miliknya yang sedari tadi sudah bertengger di hidungnya.

Saat di jalan pulang tadi, Keisha mengajaknya untuk pergi menemani gadis itu ke mall. Buru-buru ia keluar rumah setelah semuanya sudah siap, ia hidupkan mesin mobilnya. Fian bersenandung ria selama mengemudi, Keisha selalu berhasil membantunya kembali riang.

Fian memarkirkan mobilnya di depan rumah Keisha. Ia turun dari mobil, lalu menekan tombol bel di rumah tersebut. Tak lama, seorang wanita muncul dari dalam rumah untuk membukakan pagar. Wanita itu termenung memandangi wajah Fian, sedang Fian hanya tersenyum kikuk kepadanya. Fian mengambil telapak tangan wanita itu lalu mencium punggung tangannya. Sudah lama ia tak melakukan hal ini kepada wanita itu.

"Kamu ngapain? Nyari Bagas?" tanya wanita itu dengan mata menyelidik.

Fian menggeleng. "Mau jemput Keisha, Tante."

Diana terhentak di tempatnya, perlahan matanya memanas. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Keisha?" Suaranya mulai terdengar parau.

Fian mengangguk mantap. "Iya, tadi Keisha minta anterin pergi ke mall."

Kaki Diana bergetar. Ia gunakan kaki itu untuk menebas jarak di antara dirinya dengan Fian. Wanita itu menggenggam tangan Fian, dan menatap mata gelap anak lelaki itu. "Kamu ngelihat Keisha?"

Fian mengernyit, ia tidak mengerti apa yang sedang Tante Diana bicarakan.

Diana menundukan wajahnya. Air mata luruh bersamaan dengan harapannya bahwa putrinya benar-benar masih hidup, dan selama ini ia hanya mengalami mimpi buruk.

Fian membeku saat ia merasakan tangannya mulai terbasahi oleh titik-titik air yang jatuh. "Tante nangis?" tanya Fian, ia tak bisa mendongkan wajah Diana karena kedua tangannya sedang berada dalam genggaman wanita itu.

Diana mendongakan wajahnya, matanya sudah memerah lengkap dengan hidungnya. Luka terpancar jelas di matanya berpadu sempurna dengan harapan. 

"Keisha mana, Fian? Keisha mana?" tanya Diana dengan intonasi yang terdengar tinggi karena harapan itu semakin menggebu.

Semakin bingung, Fian menatap Diana dengan heran. Bukankah Keisha berada di dalam rumah?

Fian menagmbil HP-nya untuk menelepon Keisha. Nada sambung berdering beberapa detik sampai suara sang operator menyambut panggilannya. Fian mematikan sambungan teleponnya, dan menggigit bibir bawahnya. Bukan karena apa-apa, ia masih bingung dengan perubahan emosi Tante Diana yang mendadak seperti ini, terlebih saat Keisha tak kunjung keluar dari dalam rumahnya.

"Fian jawab! Keisha di mana, Fian?!" tanya Diana terdengar lebih mendesak.

Fian menatap heran. "Fian juga nggak tahu Keisha di mana, emang di dalam rumah nggak ada, Tante?"

Genggaman tangan Diana terlepas, ia menatap Fian dengan mata yang sudah terbuka lebar. Luka itu semakin nyata, tapi harapan sudah tidak berada di sana lagi. Harapan itu berganti dengan tatapan tak percaya.

"Fian ... kamu ...."

Fian memandangi Diana, ia semakin bingung dengan sikap yang wanita itu berikan kepadanya.

"Fian!" suara seorang gadis membuat perhatian Fian teralihkan kepadanya.

Fian mendongak dan mendapati Keisha sudah berdiri di depan pagar rumahnya. Senyum Fian mengembang saat melihat gadis itu sudah memakai setelan baju yang sangat manis; sweater merah jambu dengan rok selutut serta sepatu kets berwarna putih.

"Itu Keisha, Tante," ucap Fian sambil mengedikkan dagunya pada suatu tempat di depan pagar.

Diana menatapi wajah Fian serta arah pandang pria itu. Diana membalikan kepalanya untuk bisa mengikuti arah pandang Fian. Ia semakin dibuat bingung oleh Fian. Diana berbalik lagi menatap Fian, anak lelaki itu masih tersenyum kepada objek yang Diana lihat adalah sebuah pagar, tapi binar jelas terlihat dari mata gelapnya.

Dian terperanjat, ia membekap mulutnya saat tak ada siapa pun yang jadi objek tunjukkan tangannya. Diana menatap Fian dengan raut wajah yang sulit diartikan. Tapi yang pasti, Diana tahu bahwa Fian sedang tidak baik-baik saja.

Anak lelaki itu memberi salam untuk pamit, tangannya terlihat seperti sedang menggenggam suatu objek. Diana tertegun melihat anak lelaki itu; anak lelaki yang beberapa tahun lalu pernah ia serahkan kepada ayahnya yang sedang marah besar sampai kabarnya tak terdengar hingga hampir dua minggu, anak laki-laki yang selalu menjadi teman bermain anaknya, juga anak lelaki yang selalu terlihat murung walau bibirnya sedang melengkung sempurna.

🌓

"Mama kamu kenapa, Kei?" tanya Fian saat mereka sudah di dalam mobil dan sudah setengah perjalanan.

"Hah? Kenapa memang?" tanya Keisha dengan mata bulatnya.

"Tadi nanyain kamu di mana, terus nangis. Kamu abis berantem atau gimana?"

Keisha terdiam, ia menaruh telunjuknya di bawah dagu dan memasang raut seolah sedang berpikir keras. "Nggak berantem, tuh, mungkin Mama emang nggak ngeliat aku makanya nanyain," jawab Keisha dengan nada yang sangat santai.

Fian hanya mengangguk. Ia tak ingin menulik terlalu dalam lagi perihal kehidupan keluarga Keisha.

Keisha memutar tubuhnya sampai menghadap tepat kepada Fian. "Terus kamu kenapa?" tanya Keisha dengan tatapan selidiknya.

Fian mengernyit, ia melirik Keisha lewat ekor matanya. "Aku? Kenapa?"

"Dari tadi pagi kamu murung terus. Ada masalah?"

Fian mengangkat kedua sudut bibirnya. "Nggak ada," jawabnya sekenanya.

🌓

Ternyata alasan Keisha mengajaknya ke mall bukan untuk menemaninya belanja, melainkan gadis itu mempunya alasan yang sangat manis; membuat Fian kembali senang. Diajaknya Fian ke setiap sudut mall. Berlari-larian di mall yang luas itu, dan saat ini, mereka sedang duduk di pinggir jendela sebuah kafe. Menikmati secangkir kopi hangat dan langit mendung yang terbentang di luar jendela.

"Akhir-akhir ini sering hujan, udah masuk musim penghujan, ya? Padahal belum masuk September," gumam Keisha sambil sesekali meneguk kopinya.

Fian melipat kedua tangannya di depan dadanya. "Kode banget, sih!"

Keisha terkekeh. "Masih ingat rupanya."

"Aku nggak pernah lupa." Fian membenarkan posisi duduknya. "Mau kado apa?"

"Nggak pengin apa-apa. Aku cuma pengin masalah kamu kelar, dan kamu selalu bahagia."

Dan kembali sembuh.

🌓


Putri Aulia Fauziah

14 April 2020

Sebuah Batas HalusinasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang