50

1K 119 38
                                    

"Vien?"

"Masuk aja Pa" ucap Ravien.

Okta langsung masuk ke dalam kamar Ravien yang sudah disiapkan jika menginap di rumah Kinan.

"Ada yang mau kamu omongin sama Papa?"

"Gak ada" Ravien menyimpan ponselnya.

"Papa pikir kamu bakal ngomel kayak kamu ngomelin Stefi di bawah." Ravien menggeleng.

"Dia bukan anak tk lagi, dia udah dewasa untuk nanggung kesalahannya sendiri. Dia gak selamanya masuk sebagai tanggung jawab Papa. Aku tau sikap dan sifat Papa gimana. Dan aku yakin Papa udah ngingatin dia tentang penampilannya." Okta mengangguk.

Memang benar, Okta sudah berulang kali mengingatkan Stefi tentang penampilannya agar sedikit tertutup. Namun anak gadis nya itu tetap saja menggunakannya.

"Nanti kita bicarain lagi ya? Sekarang kita makan dulu. Kamu pasti belum makan, kasian juga Mama Gre, belum makan." Ravien mengangguk.

"Sayang, duduknya di samping Mama aja ya? Mama kangen sama kamu" Ucap Gracia. Ia menarik tangan Ravien agar duduk di sampingnya di meja makan.

Ravien melirik sekilas kearah Stefi yang ternyata sudah mengganti bajunya.

Selama makan, mereka semua bercerita tentang kehidupan masing-masing. Namun tidak dengan Stefi dan juga Ravien.
Mereka diam, hal yang sangat jarang terjadi. Mereka hanya bersuara jika ada yang bertanya.

"Jadi Stefi mau lanjut kuliah disana?" Tanya Kinan.

"Iya, Opa"

"Aku juga" Celetuk Ravien. Semua langsung menoleh padanya.

"Kenapa? Aku sebentar lagi juga kuliah." Ucap Ravien.

"Duluan gue"

"Mohon maaf. Gue setara sama lo. Gue bukan lagi adik kelas lo" Balas Ravien cuek. Ia kembali memakan makan siangnya.

"Emang begitu, di otaknya kelewat cerdas. Yang di pandang buku aja, orang mah selagi masih muda yang di pandang cewek. Lah ini? Di rumah buku, di sekolah buku, liburan aja bawa buku. Kalau.... Aarrgh.. Hobby banget sih nyubit" Vino mengusap perutnya yang baru saja mendapat hadiah dari sang istri.

"Kamu yakin milih Belanda juga?" Tanya Shania.

"Setidaknya ada yang mengontrol satu orang, biar gak terus berbuat sesuka hati" Stefi tidak berani menjawab ucapan Ravien. Tatapan mata adiknya itu terlihat menyeramkan.

"Papa tau kamu anak yang pintar. Tapi hidup disana, kamu haru kembali menyesuaikan lagi. Kamu tetap mau?" Ravien mengangguk.

"Vien, disana gak kayak di Indonesia. Gimana kalau nanti lo di bully disana? Gue..."

"Orang yang hanya mengandalkan otot, harus dilawan dengan otak. Jika dibalas dengan otot juga. Kita akan menjadi sama bodohnya dengan mereka. Lagipula sekolah tempat mencari ilmu, jika ingin menunjukkan diri sebagai yang terkuat. Kenapa tidak bersekolah di hutan? Apa dia masih bisa menjadi lebih kuat dari binatang buas?" Ravien berbicara dalam bahasa Belanda.

Vino yang sedang menelan makanannya pun tersedak mendengar Anaknya itu bisa berbahasa Belanda.

"Shan, anak kita kemasukan setan Belanda." Ucap Vino dengan hebohnya.

"Sembarangan aja kalau ngomong!!" Shani memukul lengan Vino cukup keras. Ia pun sebenarnya tidak tau kalau anaknya bisa berbicara dalam bahasa Belanda. Tapi, ia tidak seperti Vino yang malah mengira anaknya kemasukan setan.

"Aku belajar bahasa Belanda bahkan sebelum Papa pindah ke Belanda." Ucap Ravien.

"Jadi les bahasa yang kamu bilang selama ini ke Bunda itu?" Ravien mengangguk.

Forever YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang