13

1.4K 132 77
                                    

'Apa selama ini aku memang kalah dari Nino? Apa aku emang gak pantes buat milikin hati kamu sepenuhnya? Aku gak bisa kalau harus kehilangan kamu, aku gak bisa kalau harus kehilangan anak aku.' batin Okta.

Okta memejamkan matanya. Lagi, airmatanya kembali menetes.

Pintu ruang kerjanya terbuka, buru-buru ia menghapus airmatanya.

"Ota.. Kok disini sayang?" Mendengar suara Gracia memanggilnya membuat dadanya kembali merasakan sesak.

Okta berdiri, ia mencoba memberikan senyumannya.

Mata itu, mata yang selalu bisa membuatnya jatuh Cinta.
Akankah mata itu hanya akan terus menatap ke arahnya?

'Benarkah kata sayang itu dari hatimu? Ataukah hanya sekedar menyembunyikan perasaanmu sesungguhnya.' Okta menatap dalam mata Gracia.

"Kamu kenapa, sayang?" Gracia mengusap lembut pipi Okta.

"Kamu kenapa? Ada sesuatu? Cerita ke aku, jangan bikin aku khawatir." Okta langsung memeluk Gracia dengan erat.

"Jangan pergi, aku gak bisa. Aku gak bisa, Gre. Aku butuh kamu." Gracia heran melihat reaksi Okta.

Ada apa dengan suaminya itu?
Pertanyaan itu terus terputar di kepalanya.

"Okta!" Gracia terkejut saat Okta tiba-tiba saja berlutut dihadapannya.

"Okta, kamu kenapa sih?"

"Jangan tinggalin aku. Selama aku hidup, ini udah kedua kalinya aku berlutut di hadapan kamu. Aku gak apa-apa asal kamu jangan pergi." ucap Okta. Kepalanya terus menunduk. Ia tidak ingin memperlihatkan airmatanya pada Gracia. Sudah cukup harga dirinya sebagai seorang lelaki dan kepala rumah tangga jatuh, karena berlutut memohon seperti ini.

"Kamu ngomong apa sih? Jelasin pelan-pelan, sayang. Kalau kamu tiba-tiba gini, aku malah gak ngerti." Gracia ikut berlutut lalu membawa Okta kedalam dekapannya.

Okta menjauhkan tubuhnya untuk bisa menatap mata Gracia. Ia ingin Gracia jujur padanya.

"Jawab pertanyaan aku dengan jujur Gre. Apa kamu ngerasa seneng balik sama Nino? Apa kamu pengen posisi aku sekarang di gantiin sama Nino? Aku tau kemarin kalian ketemuan. Itu sebabnya kamu gak pengen aku jemput kamu. Bener, kan?" Tubuh Gracia menegang. Ia bingung harus menjawab apa.

Okta bisa melihat wajah wajah Gracia berubah tegang.

"Entah ini benar atau gak. Tapi, apa benar. Kemarin bukanlah pertama kalinya kalian jalan tanpa sepengetahuan aku? Dua bulan terakhir ini aku sering dapat kiriman foto dari orang asing yang ngirimin foto kamu yang lagi bareng sama Nino dan Stefi. Aku gak mau bahas ini karena aku gak mau nyinggung perasaan kamu, aku gak mau kita bertengkar hanya karena masalah yang belum jelas kebenarannya. Selama dua bulan terakhir ini aku selalu berusaha berpikir positif ke kamu, aku berusaha yakinin diri aku sendiri kalau itu hanya rekayasa foto dari orang-orang yang ingin rumah tangga kita hancur. Aku tetap berusaha percaya kalau istri yang aku cintai ini gak akan pernah nyakitin aku. Tapi sepertinya aku keliru."

Okta mencium kening Gracia. Gracia diam, ia tidak membantah akan hal itu. Diam nya Gracia sudah menjadi jawaban bagi Okta. Ia mencoba untuk tetap tersenyum. Meski matanya tetap tak bisa berbohong. Mata yang memancarkan luka dan kekecewaan.

"Ya udah, gak apa-apa. Kalau memang dia yang jadi pilihan kamu, aku bakal ngelepasin kamu. Tapi tolong, tolong kasih aku waktu. Kamu dan Stefi, kalian orang yang paling berharga di hidup aku. Aku butuh waktu untuk belajar mencoba melepaskan kalian."

Okta bangkit dan tersenyum. Ia perlahan berdiri, meski kakinya terasa lemas.

"Oh iya, di bawah ada hadiah dari Nino untuk kamu. Maaf aku udah lancang ngebuka hadiah kamu." Ucap Okta sebelum ia pergi meninggalkan Gracia yang masih diam mematung di tempatnya.

Forever YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang