Suara jangkrik masih mengikrik. Langit masih begitu petang. Masih terlalu pagi untuk beraktivitas. Tapi orang-orang sudah mulai terbangun. Ada yang telah datang ke pasar, ada yang telah pergi ke sawah. Jarang ada yang masih tertidur sepagi ini. Kebiasaan orang-orang desa yang masih sangat lekat.
Angin pagi mulai berhembus. Begitu dingin rasanya. Maruli menarik napas dalam-dalam. Ia menatap arlojinya. Pukul empat pagi. Tapi ia telah sampai di bukit ini. Berdiri dengan gagah menatap samudera yang masih terlihat hitam.
Ia duduk dibawah pohon Akasia. Menantikan seseorang yang telah berjanji padanya. Sebenarnya itu bukan sebuah janji, tapi sebuah paksaan. Bukan Maruli namanya jika tidak suka memaksa. Ia tersenyum mengingat-ingat hal kemarin. Atau malam itu. Rasanya menyenangkan bertemu, mengenal gadis bernama Shima itu.
"Akhirnya datang juga", katanya sesaat setelah gadis yang dinanti tiba.
Shima tampak menggosokkan kedua telapak tangannya. Rupanya sweater rajut dan jaket sport miliknya belum juga membuatnya hangat. Ia duduk disamping Maruli. Memandang samudera luas yang masih terlihat hitam.
"Emang ada apa sih?", Katanya.
"Aku cuma ingin kau lihat sesuatu"
"Sesuatu?"
"Iya"
"Apa?"
"Lihat saja"
Shima terdiam. Ia masih sibuk menggosokkan kedua telapak tangannya. Rambutnya dibiarkan terurai. Cantik sekali. Berkibas tertiup angin. Maruli menggapai kedua tangannya. Kemudian mulai menggosok keduanya.
Sontak hal itu membuat Shima terheran. Namun ia biarkan begitu saja saat Maruli meraih kedua tangannya. Ia menatap Maruli. Masih terheran dengan apa yang ia lihat.
"Masih dingin?", Katanya.
"Udah nggak kok"
Maruli terpaku. Sungguh wajah manis gadis itu membuatnya hilang kesadaran. Aneh rasanya merasakan hal semacam itu. Indah, tapi sedikit menggelitik.
"Liat!", Katanya tiba-tiba setelah sadar dari lamunannya.
Shima menatap arah yang di tunjuk Maruli. Matanya membelalak. Senyumannya tak mampu lagi ditahan. Mekar merekah begitu indah. Wajahnya terbias cahaya pagi. Jingga kekuningan.
"Indah", kata Maruli.
"Iya", jawab Shima singkat.
Ia tak sadar pria disampingnya tengah memandanginya. Shima terkesima. Terbius akan indahnya Natuna di pagi hari. Namun tidak bagi Maruli. Ia sama terkesima. Namun bukan Natuna dan sunrise indahnya. Namun gadis yang tengah terduduk disampingnya.
"Eh kok ngeliatin aku", seloroh Shima.
"Eh gr banget kamu. Siapa juga yang liatin kamu"
"Lah itu?"
"Aku liat.... Liat... Itu tuh samudera sana"
Maruli menunjuk lautan luas. Shima menatap apa yang di tunjuk pria itu. Maruli berdehem. Memecah kesunyian antara keduanya. Shima mulai beranjak dari duduknya.
"Eh mau kemana?", Ucap Maruli.
"Mau balik. Kayanya nanti anak-anak nyari aku"
"Mau kuantar?"
Shima terkekeh. Pria itu segera beranjak dari duduknya. Terlihat begitu tinggi nan gagah Dihadapan gadis itu.
"Nggak usah, aku bisa kak"
Maruli tampak tersenyum. Ia suka gadis mandiri seperti Shima. Sudah cantik, santun, mandiri, cerdas, apa lagi yang kurang dalam diri gadis itu.
"Aku... Pulang kak"
Shima menganggukkan kepalanya. Kemudian berjalan meninggalkan Maruli begitu saja. Maruli masih menatapnya. Dari kejauhan, lambat laun tubuh gadis itu mulai menghilang.
____________________________________"Ah ma kamu dari mana aja sih?! Kamu tau kita semua khawatir kamu pergi nggak pamit dulu!", Seloroh Sangga.
Sedari tadi memang ia sangat takut terjadi sesuatu pada gadis itu. Ia terus mencari gadis itu ke seluruh pelosok desa bersama rekan-rekannya. Kini wajahnya tampak merah padam ketika melihat gadis itu pulang. Segala pertanyaan pun ia berondongkan pada gadis itu. Membuat Shima tampak jengah mendengarnya.
"Iya tadi ak-"
"Ah! Kamu kebanyakan alasan tau nggak! Jangan mentang-mentang kamu ketua di kelompok ini jadi kamu bisa seenaknya ma. Kamu juga tanggung jawab. Kita semua cariin kamu. Kamu sadar nggak sih?!"
"Ya aku tad-"
"Kita semua udah ngikutin apa mau kamu ma. Kenapa kami sendiri yang ngelanggar peraturannya. Nggak konsisten tau nggak"
Salah satu kebiasaan buruk yang Shima tidak suka dari pria berdarah Bali dan Lembata itu adalah tidak bisa mengerti dan mendengar penjelasan orang lain. Sangga terus memojokannya tanpa mendengarkan penjelasannya sedikitpun. Ia terus memotong penjelasan yang hendak dikatakan Shima.
Mata Shima mulai berkaca-kaca. Ingin rasanya ia menangis kali ini. Gadis itu tak suka dengan siapapun yang bersikap keras padanya. Apapun alasannya.
"Iya aku emang nggak konsisten! Nggak profesional! Kenapa?!", Teriak Shima begitu saja.
Amarahnya mulai memuncak. Air matanya luruh membasahi pipinya. Sangga terdiam. Ia merasakan bagaimana ia telah membuat kesalahan yang fatal. Ia tahu betul gadis itu tak bisa dikata-kata dengan keras. Namun yang ia katakan tadi pasti telah melukai hatinya.
"Ma..", ucap Sangga lirih.
Tangannya hendak meraih tubuh kecil itu. Namun di tepisnya begitu saja oleh Shima. Sungguh ia menyesal telah berkata-kata seperti itu. Sungguh bukan maksud hatinya. Ia hanya merasa sangat khawatir pada gadis itu.
"Nggak usah pegang-pegang!"
"Iya ma iya"
"Kalian sendiri kan yang milih aku jadi ketua kelompok ini?! Kalo kalian nggak suka nggak usah pilih aku!"
Shima melenggang melewati kerumunan teman-temannya. Ia membanting pintu kamarnya dengan sangat keras. Meraih buku, jas almamater, serta tas kecil yang berisi semua perlengkapan dan obat-obatan miliknya. Entah akan pergi kemana gadis itu.
Ia keluar lagi. Kembali membanting pintu kamarnya lebih keras dari tadi. Bunyinya berdenging. Mengagetkan orang-orang yang ada disana. Sangga menarik tangannya. Tak membiarkan ia pergi begitu saja.
"Ma.. ma.. kamu mau kemana ma? Ma maafin aku yah"
"Lepas!", Teriaknya.
Ia menghempaskan tangan Sangga begitu saja. Kemudian berjalan cepat entah kemana. Sangga menatapnya dengan nanar. Sungguh ia menyesal. Ia menggenggam tangannya. Membentuk sebuah kepalan. Ia menarik napas panjang.
"Ya udah. Mungkin dia butuh ketenangan", katanya.
Yang lainnya mengangguk. Kemudian bubar dari kerumunan. Pagi ini sungguh membuat hati pria berdarah Bali dan Lembata itu merasa nyeri. Betapa tidak, hatinya terasa teriris ketika melihat gadis itu menangis.
"Aku sayang kamu. Shima...", Gumamnya lirih.
Matanya nanar. Baru ia sadari bahwa ia mencintai gadis itu. Ia mencintai gadis bermata jeli itu. Shima. Benar, ia mencintai Shima. Entah sejak kapan, yang jelas pagi ini menjadi saksi. Bahwa pria berdarah Bali dan Lembata itu mencintai seorang gadis bernama Shima. Tak ada alasan untuk tidak mencintai gadis seperti itu.
Cantik, manis, baik hati, cerdas, lalu apalagi yang di pertanyakan. Justru pria-pria yang menolaknya yang harus di pertanyakan. Sangga masih disana. Dalam kemelut dirinya sendiri. Dalam batinnya ia telah bersumpah untuk menjaganya. Mencintainya lahir dan batin. Entah dianggap atau tidak. Namun dalam hatinya sekali lagi ia telah bersumpah. Entah terlihat atau tidak. Ia akan selalu menjaganya apapun yang terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in Ocean
RomanceDiayu Ratu Shima harus bertemu dengan Sangomasi Mosha Zebua, seorang perwira muda yang tengah bertugas. Sifat Shima yang tangguh dan berani rupanya membuat Mosha jatuh hati. Namun sayang, cintanya harus di ukur dengan hadirnya Simonagar Maruli Hutap...