Pengakuan

1K 77 1
                                        

Beberapa hari setelah semuanya terjadi, keadaan kembali membaik. Namun Sangga masih tak bicara pada gadis itu. Rasa penyesalannya terlalu dalam. Ia sangat menyalahkan keadaan Shima yang penuh luka di kaki akibat dirinya. Bahkan ia kini melihat Shima tertatih-tatih untuk berjalan dengan banyaknya bebatan perban disana-sini.

Shima sendiri sudah tidak mempermasalahkan apapun. Rasanya ia telah memaafkan segalanya. Namun rasanya ada yang janggal. Sangga tak bicara apapun padanya setelah malam itu. Menatap atau bertemu dengannya pun tidak. Pria itu seakan sedang menjauhi Shima. Rasanya sepi sekali tak ada perhatian dari laki-laki itu.

"Intan!", Panggilnya pada salah satu temannya.

"Iya ma"

"Sangga mana?"

"Sangga di belakang posko. Markas dia kan di sumur", kata gadis itu sembari terkekeh.

Shima ikut terkekeh. Ia membenahi buku-bukunya di meja. Hari ini ia tak berjalan-jalan seperti biasanya. Ia hanya duduk dan memerintah kawan-kawannya untuk mengambil ini dan itu. Sebenarnya tak enak hati memerintah mereka. Namun mereka sendiri yang menginginkan itu. Mereka bersikeras untuk membuat Shima duduk. Satu kali gerakan maka gadis itu harus tinggal di rumah untuk satu Minggu. Ancaman itu yang membuat Shima akhirnya luluh.

"Eh mau kemana ma", kata gadis berambut pirang itu.

"Mau ke Sangga bentar kok"

"Aku anterin ya"

"Nggak usah"

"Ma"

"Aku baik-baik aja. Ada privasi yang aku sama sangga mau omongin jadi-"

"Ya udah deh untuk kali ini aja"

Shima tersenyum senang. Memperlihatkan barisan giginya yang bergingsul. Manis sekali. Ia mulai berjalan tertatih-tatih. Bagaimanapun ia harus bicara empat mata dengan Sangga.

Ia menatap seorang disana. Duduk dengan lamunan kosong. Pria itu. Ia tak suka Sangga terlihat melamun seperti itu. Entah mengapa. Sangga seakan bukan Sangga yang biasanya.

"Ngga", katanya sesaat setelah sampai di samping pria itu.

Pria itu terdiam. Shima tahu pria itu pasti mendengarnya. Sangga sempat berkedip beberapa kali. Ia mendudukkan tubuhnya disamping Sangga. Pria itu masih diam. Entah mengapa hal itu membuatnya takut.

"Ngga", katanya lagi.

Masih tak ada jawaban. Beberapa kali ia mengguncang tubuh Sangga. Namun masih tak ada jawaban. Pria itu masih terdiam di sampingnya. Menganggap seakan-akan Shima tak ada disana.

"Ngga!"

"Apa sih!"

Untuk pertama kalinya, pria itu berkata dengan nada tinggi. Shima terdiam. Sangga tak pernah berkata dengan nada seperti itu sebelumnya. Matanya terasa perih. Sangat.

"Kamu kenapa sih?", Katanya.

Ia tahan air matanya sekuat tenaga. Namun tak bisa. Ia menangis begitu saja. Menumpahkan segala sesak yang beberapa hari ini sempat bercokol dalam hati dan pikirannya. Sangga bukan Sangga. Sangga yang ia kenal tak pernah meneriakinya. Tak pernah mendiamkannya begitu lama. Tak pernah membiarkannya menangis. Tapi pria ini yang duduk di sampingnya, membiarkannya terisak begitu saja.

"Kamu kenapa ngga terus diem? Ini udah hari ketiga kamu terus menghindar dari aku setelah malam itu. Aku tahu aku yang salah, kamu wajar marah sama aku. Tapi aku nggak bisa tanpa kamu. Aku kangen kamu"

Sangga masih terdiam. Ia masih menatap lapangan luas disana. Seakan tak mendengarkan coletehan gadis di sampingnya. Namun dalam hatinya sangat sakit. Terpukul. Seperti teriris mendengar suara itu. Ia ingin memeluk gadis itu saat ini juga. Tapi egonya tidak mengizinkan hal itu. Ia masih terdiam di dalam di lema yang begitu besar.

"Ngga. Kamu tau aku kan? Aku nggak bisa di diemin gini. Aku butuh alasan ngga. Kenapa kamu kaya gini? Salah aku apa ngga?"

"Ya kamu salah!"

Shima terdiam. Sangga menatap mata gadis itu dalam-dalam. Gadis itu masih menangis. Terisak-isak. Sungguh ia tak bisa melihat Shima menangis.

"Kesalahan terbesarmu adalah membuatku jatuh cinta tanpa alasan"

"Ngga.."

"Ma. Aku cinta ke kamu. Aku sayang ke kamu. Tapi sekeras apapun aku berjuang, pena cinta yang ada di mataku yang aku rakit khusus untuk menulis kisah kita tak pernah kamu lihat"

"Ngga..."

"Iya ma. Aku cinta ke kamu. Entah sejak kapan. Aku lupa kapan aku jatuh cinta sama kamu, yang aku ingat aku selalu jatuh cinta sama kamu setiap hari. Kamu lebih jahat ma"

"Ngga aku-"

"Kamu nggak tau gimana rasanya berjuang sendiri tanpa adanya harapan buat aku bisa jadi pendamping kamu. Aku nggak menuntut apapun yang udah aku kasih sama kamu. Karna aku jatuh cinta sama kamu tanpa alasan. Sebenernya bukan kamu yang salah tapi aku"

"Kamu?"

"Yah, aku yang terlalu bodoh. Tidak sadar diri aku jatuh cinta pada siapa"

"Engga ngga. Jangan gitu"

"Kamu terlalu sempurna buat aku cinta. Itu sebabnya Tuhan hanya mengizinkan aku mengagumi tanpa bisa aku miliki"

Shima terdiam. Air matanya tak kunjung berhenti. Ia baru sadar semuanya. Sangga mencintai dirinya. Ia sangat menyayangi pria itu. Tapi rasa sayangnya sebatas adik pada kakaknya tidak lebih. Ia tak tahu bahwa ternyata sahabatnya itu menyimpan perasaan berlebih padanya. Benar kata orang, persahabatan antara laki-laki dan perempuan akan terasa mustahil jika salah satu tak menyimpan rasa cinta.

Sangga meraih dagunya. Pria itu mengangkat wajah Shima yang tertunduk. Di hapusnya bulir air yang masih menetes di pipinya.

"Ngga"

"Aku nggak suka kamu nangis ma"

Sangga memeluk gadis itu begitu saja. Membawa Shima dalam dada bidangnya. Shima terdiam. Ia menangis dalam pelukan Sangga. Ia rindu Sangga yang seperti ini.

"Ma, aku cinta sama kamu. Tapi aku nggak maksa kalo kamu nggak sama aku. Aku seneng kalo kamu bahagia sama pilihanmu nanti. Tapi yang jelas, kamu udah tau perasaanku kan? Aku udah cukup lega. Jangan ada kata renggang di antara kita walaupun kamu tahu aku cinta sama kamu. Kamu anggap aku kaya Sangga yang kamu kenal yah. Maaf juga udah buat kamu nangis. Aku nggak bermaksud"

"Aku sayang kamu ngga. Jangan pernah berubah yah"

"Iya ma. Aku bakal ada di samping kamu kapanpun kamu mau. Aku janji"

Ia melepaskan pelukannya. Menatap mata Shima dengan lekat. Mata tajamnya langsung menusuk ke dalam relung hati gadis di hadapannya. Sangga tersenyum. Begitu juga Shima.

"Untuk kali ini aja ya ma"

Sangga mendekatkan dirinya. Di kecupnya begitu saja kening gadis bermata jeli itu. Beberapa detik. Terasa begitu indah bagi Sangga. Cukup baginya. Hatinya telah lega sekarang. Tak ada lagi yang di sembunyikan dari Shima selama bertahun-tahun lalu.

"Aku janji ma. Akan jadi sahabat, kakak yang baik buat kamu. Jadi apa yang kamu mau"

"Aku nggak mau kamu jadi apa yang aku mau. Yang aku mau kamu jadi dirimu sendiri tanpa ada yang berubah"

Sangga tersenyum. Begitu manis. Ia mengerjap beberapa kali. Kemudian mengangguk. Ia bisa tenang sekarang. Tak ada lagi beban. Ia tahu Shima. Semuanya akan baik-baik saja meskipun ia telah mengakui segalanya.

Love in OceanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang