Lemah

875 59 0
                                    

Shima membuka knok pintu rumahnya. Ia langsung menatap ke arah jam dinding yang ada di sudut ruangan. Ia menutup pintu kemudian melenggang ke kamarnya. Hari ini cukup menyenangkan baginya. Hari pertamanya bekerja di salah satu rumah sakit swasta di Jogjakarta. Tidak terlalu besar memang tapi cukup baginya. Ia cukup merasakan bagaimana rasanya di hormati sepenuh hati hanya karena title yang di sandang di depan namanya, dr. Diayu Ratu Shima. Indah bukan. Amat menakjubkan.

Ia tersenyum sendiri. Mengingat berapa banyak pasien yang ia hadapi tadi. Tapi semuanya cukup membuatnya bahagia. Bahkan ia ingin segera datang esok agar cepat pergi kembali ke rumah sakit. Menjalankan kewajibannya sebagai seorang dokter.

Setelah membersihkan tubuhnya, ia duduk di meja makan. Sebuah meja bundar dengan aksen kayu. Neneknya sangat mencintai hal-hal yang berbau antik. Wajar saja hampir seluruh rumah di beri ukiran kayu yang memberikan kesan antik.

Di raihnya sebuah bungkusan di meja makan itu. Ia terheran. Entah siapa yang meletakan itu di meja makannya. Bahkan seingatnya, pagi tadi ia tidak meletakan apapun di meja makan itu. Sekotak nasi rupanya. Ia tersenyum. Di tutup kotak itu ada sebuah surat kecil yang di tulis tangan.

Bon appetit dokter!
Maaf tidak memberitahu kau bahwa aku kerumah kau. Ku minta alamat dari mama Rose karna tadi aku mengunjunginya.
Aku tau kau belum makan jadi ku belikan makan.
Mama Rose dan aku juga belanja untuk kau. Tidak ada apapun di lemari es! Pantas kau terlihat semakin kurus!
Selamat makan ibu dokter
                                Letnan Maruli

Begitu pesannya. Singkat dan penuh dengan pengejekkan. Tapi surat itu membuat Shima tersenyum. Sungguh. Maruli tak pernah berubah. Selalu membuat gadis itu jengkel. Namun terkadang kejengkelannya menyesakkan rindu tersendiri untuk perwira muda itu.

"Terima kasih", gumam Shima.

Gadis itu mulai menyuapkan satu sendok pertama. Rasanya nikmat sekali. Terlebih perutnya memang sangat lapar. Ia belum makan apapun sejak siang tadi. Wajar nasi itu terasa begitu nikmat di lidahnya. Ia suapkan lagi. Suapan kedua lebih nikmat. Bahkan ia menikmati makan malamnya seorang diri. Hingga suapan yang ketiga, keempat dan kelima. Rasa mual mulai membuncah. Makanan itu mendesak keluar.

Shima berusaha menahannya. Ia pegang perutnya. Namun rasa mualnya tidak mau tahu. Seketika ia berlari ke wastafel. Menyalakan keran airnya dengan segera.

"Huek... Huek..."

Semua makanannya mendesak keluar. Rasanya mual sekali. Ingin terus memuntahkan semua yang ada dalam perutnya. Tubuhnya terasa lemah. Ia membersihkan bibirnya. Kemudian meneguk air dingin yang ada di meja makan. Nafsu makannya hilang begitu saja. Padahal beberapa menit yang lalu nafsu makannya begitu menggebu.

Shima melenggang pergi ke tempat tidurnya. Tubuhnya begitu lelah. Shima masih terduduk di tepi ranjangnya. Jam masih menunjukkan pukul delapan malam. Seharusnya ia tidak merasa begitu lelah seperti ini. Tapi memang itulah yang terjadi. Sejak akhir-akhir masa koasnya hingga hari ini ia selalu merasa lelah. Ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Telapak tangannya terlihat memerah. Itu sudah pasti bahwa dirinya memang sangat lelah akhir-akhir ini. Shima memutuskan untuk menidurkan dirinya. Ia harus segera beristirahat agar esok bisa menjalani harinya kembali.

                         ***.

Tak..
Tak..
Tak..

Love in OceanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang