Sketsa

833 59 0
                                    

"Rescue zone! Rescue zone 112 degrees, southwest 112 degrees southwest, sea ​​depth 250 miles from the surface, sea ​​depth 250 miles from the surface, replace it!", Kata seorang pria berperawakan gagah.

Pria itu mematikan walkie talkie yang ia pegang. Meletakkannya pada kantung kecil di pinggangnya. Ia berdiri menatap laut. Begitu jelas matanya sebuah bangkai pesawat yang baru saja jatuh beberapa hari yang lalu. Ia sendiri pun baru saja sampai di tempat itu satu hari lalu.

Lalu lalang orang-orang sangat ramai. Mulai dari tentara, polisi, paramedis, relawan, SAR, sampai dengan warga sipil. Wartawan juga rupanya tak ingin ketinggalan berita terbaru yang akan mereka tulis di berbagai berita. Rasanya sesak sekali. Ratusan mayat telah berhasil di temukan. Berserakan di pesisir pantai.

Maruli menghela nafas. Sekeras-keras hatinya, Maruli paling tidak bisa melihat bergelimpangan orang-orang yang menderita. Tubuh mereka memang tidak lagi berjiwa tapi tetap saja wajah-wajah kaku disana sangatlah menyedihkan. Ia pun tidak tahu harus pergi jauh ke tempat ini untuk menjadi relawan. Tapi itulah tugasnya. Apapun demi negara. Maka ia siap kapanpun dan di manapun ia akan pergi.

"Lapor letnan! Jumlah korban tercatat 134 orang terdiri dari 1 pilot, 1 co-pilot, 12 awak kabin, 120 orang penumpang terdiri dari 60 orang pria, 50 orang wanita, 10 anak-anak dan balita. Semuanya dalam proses identifikasi. Total penumpang dan kru kabin 230 orang tersisa 100 orang belum di temukan. Laporan selesai!"

"Lanjutkan"

"Siap lanjutkan!"

Pria berkulit hitam gelap itu menghormat pada Maruli. Di balasnya hormatan itu. Kemudian pria itu berlalu dari hadapan letnan muda yang berdiam diri. Maruli mengambil walkie talkie miliknya lagi. Melaporkan keadaan terbaru saat ini. Setelah laporannya selesai, ia kembali menghela napas. Ia melenggang hendak ikut menolong korban yang belum di temukan.

Begitu terkejutnya pria itu. Ia dapati sebuah kertas yang ia injak. Maruli meraih kertas itu. Ia membulatkan matanya begitu saja. Sebuah sketsa. Ia kenal betul siapa yang ada dalam buku sketsa itu. Hatinya bergemuruh. Panik tak menentu. Shima! Itu sketsa wajah Shima. Ia melipat kertas itu. Menyimpannya dalam saku seragam lorengnya. Kemudian meraih ponsel genggam miliknya. Tangannya mulai menuliskan sebuah nomor.

Sambungan telepon telah terhubung. Ia harus bisa menghubungi Mosha. Bagaimanapun Mosha harus tau apa yang ia temukan disini. Dadanya bergemuruh tak menentu. Rupanya pemilik gelombang telepon di sebrang sana tak kunjung mengangkat ponselnya. Membuat pria itu semakin gusar. Keringat dingin mengucur deras di dahinya.

"Halo"

Suara Mosha terdengar berat seperti biasanya. Tangannya bergetar. Entah bagaimana ia harus memulai bicara. Tapi yang jelas ia harus tetap memberi kabar yang mungkin akan membuat Mosha cemas. Ia sendiri pun sedang cemas saat ini. Darahnya terus berdesir mengikuti detak jantung yang tak tentu arah.

"Mosha! Shima! Aku, Aku-"

"Kau kenapa? Katakan yang jelas!"

"Aku menemukan sketsa wajahnya. Kemungkinan besar Shima pasti naik pesawat ini! Aku tidak bisa memastikannya. Kau punya nomornya?"

"Apa?! Jangan bercanda!"

"Kau kenal aku! Apa nadaku yang seperti ini bercanda ha! Aku serius kau punya nomornya?!"

"Aku bodoh Rul, aku tak sempat memintanya dulu"

Maruli mulai frustasi. Ia meringis. Tak tahu apa yang akan ia lakukan lagi. Beberapa saat kemudian ia mematikan sambungan teleponnya. Pria itu berlari begitu saja. Ikut mencari korban yang berjatuhan. Apalagi ada yang ia harapkan disana. Bila Shima memang benar ikut di dalam pesawat itu, ia harus menemukan Shima dengan keadaan hidup. Yah, Shima harus tetap hidup!

Love in OceanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang