Surat Terakhir

908 67 0
                                    

Orang-orang telah berkumpul di halaman rumah milik Nando. Rangkaian bunga ungkapan bela sungkawa menyesakkan pinggir-pinggiran jalan. Hari ini peti mati anak laki-laki keluarga itu akan tiba. Seorang laki-laki terduduk dengan menunduk. Raut wajahnya tak lagi sama dengan hari kemarin-kemarin. Perangainya yang humoris tidak lagi sama hari ini. Ia banyak terdiam. Ayah mana yang ingin melihat anaknya akan pergi lebih dulu daripadanya. Tentu tidak ada. Tapi takdir Tuhan mengatakan hal itu. Tuhan memberikan umur lebih singkat untuk putranya. Mau tak mau ia harus menerima dengan lapang.

Di dalam rumah terdengar lagu-lagu rohani. Orang-orang menyanyikan lagu kematian. Senandung yang begitu pilu. Rose ikut menyanyikannya bersama kakaknya Luciana. Dua orang wanita yang sangat dekat dengan Sangga. Tante Luci mungkin bukanlah ibu kandung bagi mendiang Sangga, tapi baginya Tante Luci adalah ibu kedua baginya. Begitupun untuk Luci sendiri. Jelas ia ikut terpukul dengan kepergian keponakan laki-lakinya. Sangga seperti putranya sendiri. Ia tak memiliki keturunan sama sekali mengingat ia adalah seorang biarawati, itu sebabnya pria itu amat di cintanya.

Sedangkan di sudut sana, terlihat kedua manik mata seorang gadis yang tampak sayu. Tatapannya kosong. Seakan tak ada jiwa dalam tubuhnya disana. Shima terdiam sejak tadi. Tak melakukan apapun atau berbuat apapun. Rambutnya tertutup rapi dengan jilbab yang di pakainya. Selaras dengan pakaiannya yang serba hitam. Ia genggam kalung Sangga kuat-kuat dalam tangannya. Hatinya sedih, sakit. Ikhlas memang mudah dikatakan, tapi sulit dilakukan karena butuh sabar dan tabah menjadi kawannya.

Pukul 10 pagi, sebuah mobil ambulance sampai di depan rumah itu. Beberapa tentara dan polisi mengangkat peti mati itu. Tangisan keluarga mulai pecah. Kini mayat yang mereka tunggu telah sampai. Tepat di tengah orang-orang yang tengah bernyanyi dan berdoa peti itu di letakan. Kemudian di buka begitu saja. Menampakan seorang pria berkulit hitam yang tertidur disana.

Setelan jas hitam yang di kirimkan keluarga beberapa hari kemarin rupanya telah di pakaikan padanya. Begitu tampan. Wajahnya tampak tersenyum. Rose menyentuh pipi putranya terakhir kalinya. Ia tersenyum. Air matanya tak mampu lagi menetes. Ia telah ikhlas dengan segala perkara yang di hadapinya. Tuhan begitu mencintai anaknya.

"Shima, kemari sayang", ujarnya.

Shima beranjak. Ia berjalan mendekati mama Rose. Matanya masih menatap kekosongan. Ia terpukul. Benar-benar terpukul. Sahabatnya telah pergi jauh untuk selamanya. Tak ada lagi canda. Tak ada lagi tawa. Dan yang paling parah lagi, tak ada lagi Sangga. Tak ada lagi pria itu. Pria yang selalu menjaganya. Pria yang selalu melindunginya. Pria yang selalu membelanya meskipun dunia selalu mengucilkan dirinya.

"Sangga, ma..", kata gadis itu. Suaranya parau. Seakan tercekat.

Mama Rose mengangguk. Membelai kepala Shima dengan lembutnya. Gadis itu menangis kembali. Entah berapa air mata yang ia habiskan untuk menangis. Gadis itu mendekati peti mati Sangga yang di letakan tepat diatas meja.

"Ngga..."

"Kamu pulang? Kamu kan belum sampai kesana?", Ia terhenti berkata-kata. Rasanya sesak. Ia hapus air matanya dengan kasar.

"Ini, milik kamu. Aku telah menjaganya. Aku harus mengembalikannya kan? Kamu pakai?"

Gadis itu memakaikan kalung yang Sangga titipkan kepadanya. Di bantu mama Rose. Di sentuhnya pipi pria itu. Kemudian tangannya. Terasa begitu dingin. Sangat. Tak ada lagi darah yang mengalir disana.

"Dingin. Kamu kedinginan? Kamu nggak papa kan? Heeee...", Ia terkekeh.

"Lucu yah? Kemarin-kemarin kamu yang selalu bilang gitu ke aku ngga. Tapi sekarang aku. Aku tau kamu kuat, kamu baik-baik aja. Kamu cuma tertidur. Mama Rose bilang, kamu akan kembali ke pelukan Tuhan mu dan tidur disana. Aku percaya itu kok. Jaga aku dari sana ya ngga. Aku bakal jaga mama Rose dan papa Nando dari sini"

Love in OceanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang